Minggu, 25 April 2010

Cerpan "Pertemuan Rahasia"

Cerpen
Pertemuan Rahasia
Karya Risa Rahayu
Guru SMAN 3 Surabaya


Senja selepas shalat ashar, aku menunggu kedatangan suamiku di teras. Mbok Ijah, rewangku, sedang mengajak Rino dan Rina berjalan-jalan. Dua bocah kakak beradik yang menjadi biji mataku.
Suara mobil tepat berhenti di depan pagar rumah. Keasyikanku membaca majalah kesayanganku buyar. Kupikir itu mobil suamiku. Aku bergegas menyambutnya. Kuintip lewat pintu pagar. Ternyata, bukan mobil suamiku. Tanpa melihat yang ada di mobil, aku segera membalikkan tubuh.
Baru empat langkah aku berjalan, terdengar suara tapak sepatu menuju ke arah pagar rumahku. Seketika itu kuurungkan niatku masuk rumah. Aku berbalik lagi. Aku berpikir, si empunya sepatu tentu pengendara mobil putih yang berhenti di depan pagar rumahku.
Dugaanku tak meleset. Sosok laki-laki bertubuh tegap, berpakaian rapi, dan berkaca mata hitam berdiri di depanku. Ia tersenyum dan berkata, “Selamat sore.”
“Selamat sore,” jawabku singkat sambil membukakan pintu pagar.
“Apakah benar ini rumah Nyonya Joko Pramono?”
“Ya, silakan masuk!”
Aku sedikit penasaran. Siapa laki-laki ini? Kulirik ia yang sedang berjalan di sampingku. Kaca mata hitamnya tak juga dilepas. Tiba-tiba aku merasa khawatir. Jangan-jangan …. Mengapa aku langsung menyuruhnya masuk, ya? Aku menyesal dengan keputusanku untuk langsung menyuruhnya masuk. Kuhentikaan langkahku dan kutanya maksud kedatangannya.
“Maaf, Anda siapa, ya?” tanyaku sambil menghentikan langkah.
“Saya teman kost Nyonya ketika di Jalan Mawar.”
Kuamati wajah itu sambil mengingat masa laluku. Tapi, tidak ada tanda kenanganku di gurat wajahnya.
“Boleh saya duduk, Nyonya?” tanyanya seolah-olah tahu gelisah hatiku.
“Silakan duduk!” kataku dengan hormat ketika sampai di teras.
Laki-laki itu pun duduk tepat di depanku. Saat itulah ia membuka kaca mata hitamnya. Seketika itu darahku berdesir. Jantungku berdegup cepat. Wajah itu mengingatkanku peristiwa sepuluh tahun yang lalu.
Apakah laki-laki yang duduk di depanku sekarang adalah…, ah tidak. Tidak mungkin bahwa itu … . Aku segera menguasai diriku.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku untuk menyembunyikan kegelisahanku
“Saya yakin kau mengenalku, Ayu?”
Ayu, … dia memanggil namaku. Sebuah panggilan lama yang sudah lama tak pernah kudengar. Hanya seorang yang memanggil “Ayu”. Ya, hanya seorang. Dia pasti …
“Bram”. Tanpa kusadari, apa yang tersimpan di hatiku keluar lewat mulut.
“Benar, kau Bram?” tanyaku untuk menepis ragu.
“Ya, aku Bramana Adicahya”, tegasnya . Ia tertawa senang menyambut ingatanku.
Sebersit ragu masih berkelebat di hatiku. Kuselidiki wajah itu. Mengapa banyak berubah? Apakah waktu sepuluh tahun mampu merubah wajah seseorang hingga aku tak mengenalinya sama sekali? Seharusnya, aku pasti mengingatnya. Bukankah ia …. Ah, aku tak mau mengingat hal itu lagi.
Aku mencoba mencari tanda khusus di badannya. Aha, aku ingat! Di punggung tangan kanannya, ada tahi lalat besar, nyaris seperti tompel. Pas sekali! Punggung tangan kanan itu, kebetulan menghadap aku. Tangan kanannya memegang dengkulnya. Di punggung telapak tangan itu, masih ada tahi lalat yang mirip tompel. Kini aku yakin. Ia betul-betul Bram.
“Ah, kenapa tidak dari tadi kau katakan, Bram. Kau membuat aku penasaran. Panggil nyonya segala.”
“Bagaimana kabarmu?”
“Baik, seperti yang kau lihat.”
“Ya, kau tampak bugar.Rupanya kau bahagia.”
“Oh, so pasti “ jawabku agak sombong.
“Mulai dari pintu pagar, aku sudah tertawa dalam hati. Aku yakin, kau pasti lupa.”
“Ya, kau banyak berubah. Perutmu agak buncit,” kataku sambil memandang perutnya. “Sekarang, kau berkumis, tidak seperti dulu.” “Sebagian wajahmu berubah,” kataku sambil membetulkan letak kaca mata minusku. Kemudian, lanjutku “Dari mana kau tahu aku tinggal di sini? Dari mana pula kau tahu kalau namaku sekarang Nyonya Joko Pramono?”
Ia hanya tersenyum menanggapi pertanyaanku. “Kok sepi rumah ini? Kau belum punya anak?”
“Anakku dua. Yang sulung laki-laki. Adiknya perempuan. Mereka sedang jalan-jalan dengan pembantuku.”



“Suamimu?”
“Dia dinas ke luar kota, ke Pasuruan.”
“Jadi, kau sendirian sekarang?”
“Ya, begitulah”, kataku sambil beranjak dari tempat dudukku. “Sebentar, aku buatkan minum”.
Aku betul-betul penasaran dengan kedatangan Bram yang tiba-tiba. Kenapa dia datang? Apakah dia ingin …
Peristiwa itu terjadi sepuluh tahun yang lalu. Sekarang aku sudah punya suami dan anak.
“Sebaiknya, aku merahasiakan hal ini kepada, Bram,” kataku dalam hati ketika mengingat peristiwa lama itu. Dia tidak boleh tahu.
“Bagaimana kabar istrimu, Asri?” tanyaku ketika meletakkan sirup di meja.
Dia tidak segera menjawab. Tapi, menatapku dengan pandangan sedih.
“Dia sudah meninggal”, jawabnya pendek.
Aku terkejut dengan jawabannya. “Maafkan aku, Bram. Aku ikut berduka,” kataku berempati.
“Tak apa, terima kasih.”
Rona wajahnya berubah cerah ketika melihat perubahan wajahku yang seperti orang bersalah. Lalu kami terdiam beberapa detik.
“Minum, Bram!”
“Ya, terima kasih.”
Tiba-tiba aku merasakan suasana kaku. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Sementara, hatiku berkecamuk rasa gelisah, khawatir, dan entah apa lagi. Mungkin rasa penasaran.
“Oh ya, ada berita duka untukmu.”
“Berita duka?” Dahiku berkerut. “Berita duka apa?” tanyaku serius.
“Tantri meninggal dunia.”
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Kapan dan mengapa dia meninggal?” tanyaku kaget.
“Dua minggu yang lalu. Tepatnya hari Rabu 7 Februari, jam empat pagi di rumah sakit Saiful Anwar, Malang.” Ia menelan ludah sambil mengangkat kaki kirinya kemudian meletakkan di atas paha kanaannya.”
Tantri Rusnawati, sahabat lamaku meninggal. Ia teman satu kamar ketika kami masih kuliah dulu. Dia wanita yang baik, cantik, dan berbudi pekerti. Kami satu fakultas, yaitu fakultas ekonomi. Hanya beda jurusan, Tantri jurusan management dan aku akuntansi. Dialah teman dalam suka dan duka
Oh Tantri, hanya kau yang mengerti tentang diriku dan penderitaanku waktu itu. Tanpa kusadari, mataku mulai berkaca-kaca. Aku ingat kebaikannya ketika aku mengalami masa-masa sulit dahulu. Aku menyesal, mengapa baru tahu berita duka ini. Sahabat macam apa aku ini. Sahabat yang belum bisa membalas kebaikannya.
“Kenapa dia meninggal?” tanyaku sambil menyesali kebodohanku.
“Karena kanker. Kanker leher rahim.”
“Kanker leher rahim?” tanyaku heran.
Dua tahun yang lalu, aku bertemu dia. Tantri tampak bugar dan sehat. Bahkan berencana menikah tiga bulan yang akan datang. Ia berjanji akan mengundang aku dan suamiku. Kutunggu-tunggu undangannya tak juga datang.
“Kau tak bercanda, Bram?” tanyaku memastikan.
“Aku serius, Yu. Bahkan aku ikut menangani operasinya.”
Aku bertambah heran. “Dua tahun yang lalu, aku bertemu Tantri. Katanya, kau dinas di Bandung.”
“Ya, itu dulu. Tapi. Sejak dua tahun lalu, aku dipindahkan di Malang. Tantri sendiri tidak tahu kalau aku ada di Malang.”
“Apakah dia sudah menikah?”
“Sudah.”
“Kapan?”
“Kapan ya? Aku lupa. Dia pernah kok bercerita.”
“Dengan siapa?”
“Orang Malang. Tebak, siapa dia?”
“Aku nggak tahu,” kataku karena malas mikir.
“Kau pasti terkejut. Ingat enggak, laki-laki yang kost di depan rumah kost-kostanmu?”
“Ya, ingat. Tapi yang mana? Yang kost kan banyak, Bram.”
“Yang paling tinggi, berkumis, dan bervespa.”
“Rudi Sutopo.”
“Ya, betul. Mulanya, aku tak percaya kalau dia menikah dengan Rudi. Aku baru percaya ketika bertemu Rudi di rumah sakit. Di rumah sakit itulah kami bereuni.”
“Kankernya stadium berapa, Bram”
“Stadium dua. Sudah beberapa kali dikemoterapi. Hasilnya sudah mengering. Kemudian, dia menjalani operasi pengangkatan rahim. Ia meninggal satu hari setelah menjalani operasi.”
“Dia sudah punya anak?”
“Belum. Dia sebenarnya ingin punya anak secepatnya. Tapi sayang, kinginannya tidak terkabul..”
Bram lalu menghela nafas panjang. Ia mengeluarkan sebungkus rokok dan korek api. Merk rokok yang sama dengan sepuluh tahun yang lalu. Rupanya, rokok favorit Bram masih sama dengan sepuluh tahun yang lalu. Ia menyalakan sebatang rokok. Dihisapnya rokok itu dalam-dalam. Kemudian, dikeluarkannya pelan-pelan.
“Kamu masih merokok, Bram?” lanjutku “Aku kira, setelah menjadi dokter kebiasaan tidak sehatmu itu akan pulih.”
“Dunia ini memang aneh,” katanya seolah tidak perduli dengan omonganku tadi. “Di satu sisi, ada orang yang sangat mendambakan anak. Di sisi lain, ada orang yang justru tidak menginginkan kehadiran anak yang dikandungnya,” katanya dengan mata menerawang jauh.
Blak! Kata-kata Bram seperti menampar mukaku. Hatiku juga terasa perih seperti tertusuk belati tajam.
“Apa maksudmu?” tanyaku ketus. Aku sangat tersinggung dengan kata-kata Bram.
“Ayu, aku datang ke sini untuk memenuhi pesan Tantri sebelum meninggal.. Ia menginginkan agar aku menemuimu. Ia juga memberikan buku harianmu padaku.”
Aku kaget. Tak kuduga Bram berkata demikian. Dalam buku harian itu, terdapat rahasia yang selama ini kusimpan. Kalau toh ada orang yang tahu, hanya Tantrilah.
Tak kusangka bahwa Tantri benar-benar memenuhi janjinya padaku sepuluh tahun yang lalu. Demi aku, dia akan mencari Bram. Dia akan memberikan buku harianku kepada Bram.
Buku harianku yang diminta Tantri sebelum aku meninggalkan kost-kostanku. Kini, ada di tangan Bram. Tantri memenuhi janjinya. Hingga detik akhir usianya, ia masih ingat janji itu. Betapa tulus dan setianya Tantri. Diam-diam aku berkirim doa sebagai ucapan terima kasihku kepada Tantri.
Kutatap wajah Bram. Laki-laki yang pernah aku cintai. Laki-laki yang pernah kuharapkan menjadi pendamping hidupku. Laki-laki yang pernah memberikan cinta dan harapan padaku. Sunggguh perih hati ini jika mengingat itu semua.
“Kenapa kau tidak mengatakan semua itu padaku, Ayu? Kenapa? Bukankah aku orang yang paling berhak mengetahui?”
“Berhak katamu?” tanyaku dengan nada marah.
Tiba-tiba bibirku bergetar dan tumpahlah air mataku. Air mata yang sama, sepuluh tahun yang lalu. Bedanya, Dulu aku menangis di hadapan Tantri. Sekarang, aku menangis di hadapan Bram.
Segala rasa berkecamuk di hatiku. Perasaan marah, kecewa, terhina, dibodohi, penyesalan, dan kegagalan serta rasa berdosa berbaur jadi satu. Perasaan yang sama seperti sepuluh tahun yang lalu.

“Kau memang laki-laki pengecut. Laki-laki tak bertanggung jawab!” tatapku nanar pada Bram.
Meskipun masih terisak, aku bermaksud mendamprat laki-laki itu habis-habisan.
“Aku tidak tahu kalau kau hamil, Ayu!” belanya.
“Bodoh sekali kau, Bram. Kau tak pantas menjadi dokter. Kehamilan itu selalu menjadi resiko bagi pasangan yang melakukan hubungan intim,” tegasku.
“Lalu kemana saja kau setelah semua yang pernah kita lakukan? Kau anggap apa aku ini? Pelacur?”
“Ayu!” sela Bram. Aku tidak pernah menganggapmu demikian. Aku sangat mencintai dan menyanyangimu. Kau ingat, hubungan yang kita lakukan atas dasar cinta. Kau waktu itu adalah kekasihku.”
“Kekasih dalam tipuan” kataku dengan sengit.
“Tidak, Ayu.”
“Kalau aku kekasihmu, seharusnya kau memenuhi janjimu untuk segera melamarku. Tapi, kau justru menghilang. Tidak ada kabar sama sekali. Kau meninggalkanku dan membiarkan aku menanggung dosa dan penyesalan. Terlebih-lebih, menanggung malu.”
Bram terdiam. Ada gurat penyesalan di kerut keningnya. Aku melihat matanya berkaca-kaca. Ia segera menyeka air mata itu sebelum bergulir di pipinya.
“Di mana anakku sekarang, Ayu?”
“Kuangkat wajahku demi mendengar pertanyaan Bram. Sekali lagi kutatap tajam wajah itu. Wajah laki-laki yang telah menebarkan benih dalam rahimku sepuluh tahun yang lalu.
Bram berdiri dan beranjak duduk di sampingku. Tiba-tiba aku merasa jijik dengan laki-laki itu. Di mana perasaanku yang dulu kepada Bram? Apakah sudah hilang? Hilang digerus rasa sakit hatiku padanya.
Diam-diam, aku membandingkan parasaanku ini terhadap Mas Pram, suamiku. Sungguh bertolak belakang. Aku merasa bahwa Mas Pram satu-satunya lelaki sejati untukku.
“Di mana anakku, Ayu?” tanyanya membuyarkan pikiranku.
“Anakmu?” nadaku mencemooh. “Baru sadar kau, Bram kalau punya anak.”
“Ayu, aku minta maaf. Aku bersalah. Aku mengakui semua itu kesalahanku.”
“Sepuluh tahun yang lalu, kau meninggalkan aku, Bram. Kau meninggalkan aku dalam keadaan hamil. Kau pikir, aku sanggup menanggung itu semua sendiri?”
Sebuah kemarahanku yang sudah basi. Kemarahan yang kusimpan selama sepuluh tahun.
“Ayu, aku ingin menebus kesalahanku. Aku ingin hidup dengan anakku.” Ia berucap dengan nada memelas.
“Kau tidak lagi dapat memiliki anak itu. Ada yang lebih berhak untuk memilikinya.” Aku berkata dengan nada tinggi.
“Apakah anakku ada di antara kedua anak yang kausebutkan tadi?” tanya Bram penuh selidik.
Aku tidak segera menjawab. Kubiarkan dia dengan segala pikiran-pikirannya. Biarkan saja dia berpikir dan bertanya-tanya. Itu semua sebagai hukuman bagi kepengecutannya.
“Ayu, betulkah dugaanku?”
“Dia kini sudah berumur sembilan tahun, Bram,” jawabku mempermainkan pikirannya. “Kau tebak sendiri jenis kelaminnya. Kau bayangkan sendiri wajahnya dan sosok tubuhnya. Yang jelas, dia tidak mirip kamu. Apalagi berjiwa pengecut sepertimu,” cemoohku padanya.
Aku sudah tidak peduli lagi dengan sopan santun dan tata krama. Setiap ada kesempatan untuk mendamprat Bram, aku ambil kesempatan itu. Kudamprat dia dengan semauku. Sesukaku dan semau kata loncat dari mulutku.
Bram tertunduk lesu. Seolah pesakitan yang divonis hukuman mati. Tidak ada pembelaan apapun. Ia menyerahkan nasibnya pada aku, jaksa penuntut umum.
“Ijinkan aku, mengenal anakku?” pintanya sekali lagi.
“ Mintalah ijin kepada Allah,” jawabku sambil berkacak pinggang.
Setelah mengucapkan kata-kata itu, ada perasaan kehilangan yang amat dalam di hatiku. Ketakutan yang kini selalu menghantuiku. Ketidaksanggupanku berpisah dengan anakku.
Aku merasakan geletar kehilangan itu lagi. Geletar itu menyeruak keluar dari dalam dada hingga hanya tangis yang sanggup kulakukan. Aku menangis untuk hal yang sama. Sepuluh tahun yang lalu, aku menangis di hadapan dokter kandungan. Sakit perutku ketika dikuret masih bisa kutahan. Tapi, sedih hatiku kehilangan anakku tidak dapat kutahan lagi. Tidak ada kesedihan yang melebihi kesedihan seorang ibu kehilangan anaknya.
Sebuah tangisan panjang yang harus kusimpan sendiri selama sepuluh tahun. Kini tangisan itu tumpah lagi di hadapan ayah janin itu.
“Dia meninggal dalam kandungan,” kataku terisak. Isak penyesalan karena kecerobohanku yang tidak bisa menjaga titipan Allah di perutku. Tapi di akal sehatku, aku merasa bersyukur bahwa akhirnya Allah berkenan untuk mengambil jabang bayi yang hendak dititipkan-Nya padaku. Allah lebih tahu, apa yang terbaik bagiku dan bagi anakku. Aku juga bersyukur bahwa Allah memberiku kesempatan untuk bertobat dan membangun hidupku kembali.
“Kau gugurkan?” tanya Bram.
“Aku bukan pengecut sepertimu,” jawabku tersinggung.

Terbayang dalam ingatanku sepuluh tahun yang lalu. Meskipun semua itu berat bagiku, aku tetap bertekad mempertahankan janin itu. Bahkan aku bermaksud akan menjadi single parent jika bayi itu lahir. Tidak pernah terlintas di benakku untuk menggugurkannya. Aku akan melakukan dosa yang kedua jika menggugurkan janin itu, pikirku waktu itu. Aku bahkan sudah menyiapkan skenario jika keluarga besarku tahu. Aku akan tetap hidup bersama anakku tanpa membebani keluarga besarku. Aku siap menanggung resiko kesalahanku, tekadku waktu itu.
“Aku mengalami keguguran ketika janin berusia tiga bulan. Aku kecapaian. Di tengah cobaan berat yang aku alami, aku tetap berusaha menyelesaikan skripsiku. Aku tidak ingin mengecewakan keluargaku untuk yang kedua kalinya. Aku bertekad harus lulus tepat waktu. Tapi aku juga harus bekerja untuk membiayai persalinanku. Aku tidak ingin keluargaku tahu kalau aku hamil di luar nikah. Aku tidak memberitahukan keluargaku. Aku bekerja siang hingga malam. Aku bekerja menjadi guru privat di tiga keluarga. Aku memberikan les privat semua pelajaran untuk siswa SD. Setiap hari aku mendatangi tiga keluarga tersebut secara bergiliran. Jarak rumah ketiga keluarga itu berjauhan. Aku tempuh dengan sepeda motor. Aku kecapaian. Tidak hanya capai fisik, tapi juga pikiran karena harus konsentrasi ke skripsi. Mentalku juga capai, Bram.”
Bram meneteskan air mata mendengar ceritaku. Tapi aku tidak peduli dengan air mata itu. Kuanggap dia yang telah menyebabkan aku kehilangan janin itu.
“Aku menglami pendarahan hebat sepulang memberikan les privat. Malam hari, jam sepuluh, ibu kost membawaku ke rumah sakit. Dokter mengatakan, janin itu tidak dapat dipertahankan. tidak ada pilihan lain, aku harus dikuret.”
“Andai kau memenuhi janjimu untuk segera menikahiku, aku tidak akan bekerja keras sendiri. Aku dan kamu tidak akan kehilangan bayi itu,” kataku dengan suara parau. Kemudian lanjutku, “Tapi, mungkin bayi itu sadar bahwa kelak jika lahir dia tidak akan berbapak.”
“Oh, …aku bapaknya, Ayu.”
“Bapak yang telah memilih menikah dengan wanita pilihan keluarganya? Bapak yang tidak punya pendirian? Bapak yang tidak punya nyali untuk mempertahankan cintanya kepada keluarganya?” Pertanyan bertubi-tubi yang kuderumkan pada Bram.
“Ayu, …”
“Bram, dengar baik-baik,” kataku sambil berdiri lalu bersandar pada jendela.
“Saat kutahu bahwa aku hamil, aku berkali-kali menghubungimu dengan datang ke rumahmu. Tapi, seluruh keluargamu selalu mengatakan bahwa kau tidak ada. Hingga Tantri mengabarkan padaku bahwa kau telah menikah dengan Asri, wanita pilihan ibumu, yang pernah kau ceritakan padaku.”

Bram menghela nafas panjang. Dari raut wajahnya kutahu bahwa dia sangat menyesal dan bersalah.
“ Maafkan aku, Ayu. Itu semua kesalahannku. Aku tidak punya nyali untuk memutuskanmu. Terlebih-lebih mengabarkan hal itu kepadamu.”
“Kau tidak hanya tidak punya nyali untukku. Tapi, juga tak bernyali berhadapan dengan ibumu sebagai tanggung jawab perbuatanmu, “ selaku.
“Aku mendapat tuntutan dari keluarga besar ibuku. Antara aku dan Asri, masih ada hubungan keluarga. Orang tua Asri dan orang tuaku telah menjodohkan kami. Aku tidak bisa mengelak karena ibuku sakit jantung dan komplikasi penyakit yang lain. Nyawa ibuku di ujung tanduk ketika menikahkanku.”
Aku masih tidak bisa menerima pembelaan Bram. Tapi aku juga merasa bahwa segalanya telah berlalu. Tidak ada gunanya diungkit lagi. Toh antara aku dan Bram sudah punya jalan hidup sendiri-sendiri.
“Bertahun-tahun aku mendambakan anak. Anak yang lahir dari benihku sendiri. Perkawinanku dengan Asri hampir retak gara-gara kami tidak punya anak. Dua tahun yang lalu, Asri minta cerai dengan alasan ia tidak bisa memberikan anak padaku. Dokter telah memvonis istriku bahwa rahimnya harus diangkat untuk menyelamatkan nyawanya akibat kecelakaan.”
“Kecelakaan?” tanyaku datar tanpa ekspresi. Aku jadi heran.
“Ya, kecelakaan yang mengakibatkan pendarahan yang sulit dihentikan. Pendarahan itu berasal dari sobeknya rahim Asri. Tidak hanya Asri yang menjadi korban , aku juga harus menjalani operasi plastik di wajahku.”
“Pantas aku tidak mengenalmu tadi, Bram” kataku di dalam hati.
Aku tidak lagi perduli dengan kehidupan Bram. Terlebih-lebih dengan nasib Asri. Aku tidak menaruh dendam dan sakit hati dengan wanita itu. Tapi, aku juga tidak merasa kasihan dan tidak perduli dengan nasib buruk yang dialaminya. Bagiku itu sudah lakon hidupnya. Toh aku juga pernah melakoni nasib buruk.
Bram tersenyum kecut, lalu ia melanjutkan.
“Satu tahun yang lalu, Asri meninggal dunia. Ia sangat menderita karena menyadari bahwa ia bukanlah wanita yang sempurna.”
Bram menghampiriku,” Aku dan Asri sudah menanggung semua kesalahanku padamu, maafkan aku, Ayu.”
Aku berpikir: bukankah karma telah menentukan jalannya sendiri. Ia telah menghunuskan pedangnya di hati orang yang ingin ia lukai.
“Sudahlah, Bram. Aku sudah menjelaskan kepadamu tentang anak kita. Kini, tidak ada lagi kenangan yang tersisa di antara kita. Kau tahu, aku sudah menemukan hidupku di antara Mas Pram dan kedua anak kami” kataku sambil melihat jam tangan di pergelangan kiriku.
“Maafkan aku jika aku harus menyuruhmu pulang. Sebentar lagi, anak-anakku dan suamiku pulang. Aku tidak ingin mereka mengenal kau. Aku juga tidak ingin, mereka mengenal aku seperti sepuluh tahun yang lalu.”
“Ayu, aku sungguh minta maaf padamu,” tegas Bram.
Jawabanku adalah melangkah menuju pagar dan membuka pagar lebar-lebar. Bram mengikuti langkahku. Ketika sampai di pintu pagar, aku berkata kepada Bram,” Bakar buku harianku itu Bram. Jangan pernah kembali untuk menemuiku lagi. Dan, jangan katakan apapun kepada anak dan suamiku,” kataku mantap.
Bram tidak menjawab dan segera membuka pintu mobil. Dengan cepat ia menyalakan mesinnya. Mobil itu pun melaju tanpa mengucapkan salam padaku.
Ketika mobil Bram menghilang di tikungan jalan, Rino dan Rina berlari menghampiriku. “Maama… teriak mereka berbarengan. Aku pun membuka kedua tanganku hendak memeluk mereka. Mereka berlomba memelukku. Kuraih erat dalam pelukanku. Kuciumi kedua bocah kesayanganku dan Mas Pram itu. Dalam hati aku berkata, aku tidak akan mengulang kesalahanku untuk yang kedua kalinya. Rumah tanggaku adalah sorgaku. Aku, suamiku, dan anakku adalah penghuni sorga nan indah itu. Aku akan menjaganya selamanya.
Pagar kututup. Aku berdoa semoga suami dan anak-anakku tidak pernah mengenal Bram dan mengetahui masa laluku sepuluh tahun yang lalu. Ini sebuah rahasiaku.

Pengajaran Sastra Berbasis Strategi Strata

Pengajaran Sastra Berbasis Strategi Strata
Oleh : Risa Rahayu, S.Pd.
Guru Bahasa dan Sastra Indonesia, SMAN 3 Surabaya

Dalam Kurikulum 2004 SMA, Pedoman Khusus Silabus dan Penilaian, Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, pembelajaran sastra harus bersifat apresiatif. Muara akhir pengajaran sastra adalah terbinanya apresiasi dan kegemaran terhadap sastra yang didasari oleh pengetahuan dan keterampilan di bidang sastra. Dari pengamatan langsung di kelas dan hasil diskusi yang intens dengan guru-guru bahasa Indonesia, diketahui ada beberapa masalah yang berhubungan dengan pembelajaran sastra pada umumnya. Untuk mengatasi masalah tersebut, salah satu solusinya dengan menerapkan strategi strata. Strategi ini terdiri dari tiga langkah pokok, yaitu penjelajahan, interpretasi, dan re-kreasi. Strategi strata memungkinkan guru bekerja dengan siswa dalam kelompok-kelompok ataupun perseorangan dengan berbagai macam teknik yang disesuaikan dengan kondisi kelas. Strategi ini juga memberikan peluang diterapkannya empat aspek keterampilan berbahasa sebagai karakteristik pengajaran bahasa dan sastra Indonesia. Yang lebih penting lagi dari strategi ini adalah adanya kreativitas dari siswa untuk mengkreasikan kembali suatu karya sastra.

Latar Belakang

Sastra adalah suatu bentuk tanda seni yang bermediakan bahasa. Sastra hadir untuk dibaca dan dinikmati, serta selanjutnya dimanfaatkan, antara lain untuk mengembangkan wawasan kehidupan. Jadi, pembelajaran sastra seharusnya ditekankan pada kenyataan bahwa sastra merupakan salah satu tanda bentuk seni yang dapat diapresiasi. Oleh karena itu, dalam Kurikulum 2004 SMA, Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian, Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, pembelajaran sastra harus bersifat apresiatif. Muara akhir pengajaran sastra adalah terbinanya apresiasi dan kegemaran terhadap sastra yang didasari oleh pengetahuan dan keterampilan di bidang sastra.
S. Efendi dalam Pengantar Apresiasi Karya Sastra mengatakan bahwa apresiasi adalah kegiatan menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra. Dari pendapat ini dapat disimpulkan bahwa kegiatan apresiasi dapat tumbuh dengan baik apabila pembaca mampu menumbuhkan rasa akrab dengan teks sastra yang diapresiasinya, menumbuhkan sikap sungguh-sungguh serta melaksanakan kegiatan apresiasi itu sebagai bagian dari hidupnya, sebagai suatu kebutuhan yang mampu memuaskan rohaninya.
Dari pengamatan langsung di kelas dan hasil diskusi yang intens dengan guru-guru bahasa Indonesia, ada beberapa masalah yang berhubungan dengan pembelajaran sastra pada umumnya, antara lain: a) kesulitan guru sastra dalam memperkenalkan karya sastra klasik maupun modern, kemudian menghubungkan dengan karya sastra kegemaran siswa dengan cara yang wajar dan menyenangkan ; b) kesulitan membicarakan sastra tanpa kehilangan sentuhan kepekaan reaksi, memberikan kegairahan dalam membaca; c) kesulitan menolong siswa bereaksi secara perorangan dengan kehalusan dan kerumitan yang berkembang, dan tidak hanya bergantung pada kedewasaan dan kematangan persepsi guru atau kritikus sastra.
Salah satu solusi untuk mengatasi masalah-masalah dalam pembelajaran sastra adalah dengan menerapkan strategi strata.

Strategi Strata

Strategi ini dinamakan strategi strata karena idenya didapatkan dari tulisan Leslie Strata dalam bukunya Pattern of Language . Strategi ini terdiri dari tiga langkah pokok yaitu penjelajahan, interpretasi, dan re-kreasi.

a. Penjelajahan
Apresiasi sastra sebenarnya bukan merupakan konsep abstrak yang tidak pernah terwujud dalam tingkah laku, melainkan pengertian yang di dalamnya menyiratkan adanya suatu kegiatan yang harus terwujud secara konkret. Perilaku kegiatan itu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu secara langsung dan secara tidak langsung.
Dalam kaitannya dengan tahap penjelajahan, dalam strategi strata siswa melakukan kegiatan penjelajahan terhadap cipta sastra yang disukainya atau yang disarankan oleh guru dengan perilaku kegiatan secara langsung dan perilaku kegiatan secara tidak langsung.
Apresiasi sastra secara langsung adalah kegiatan membaca atau menikmati cipta sastra berupa teks maupun performansi secara langsung.
Dalam kaitannya dengan apresiasi langsung dalam tahap penjelajahan ini, siswa dapat melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut.
1. Membaca karya sastra (puisi, cerpen, novel, roman, naskah drama) baik dengan membaca diam maupun membaca lisan.
2. Mendengarkan penyajian karya sastra, misal mendengarkan sandiwara radio, mengamati/menyaksikan pementasan drama/film/puisi dan sebagainya.
Selain dilakukan kegiatan apresiasi langsung, juga dilakukan apresiasi
sastra secara tidak langsung. Kegiatan apresiasi sastra secara tidak langsung itu dapat ditempuh dengan cara sebagai berikut.
1. Siswa mempelajari teori sastra.
2. Siswa membaca artikel yang berhubungan dengan kesusastraan, baik di majalah maupun koran.
3. Siswa mempelajari buku-buku maupun esai yang membahas dan memberikan penilaian terhadap suatu karya sastra serta mempelajari sejarah sastra.
4. Siswa bertanya tentang karya sastra yang sedang dijelajahinya kepada orang-orang yang dapat dijadikan narasumber karya sastra tersebut.
Kegiatan apresiasi sastra secara tidak langsung bukan hanya mengembangkan pengetahuan siswa tentang sastra melainkan juga akan meningkatkan kemampuan dalam rangka mengapresiasi cipta sastra . Yang perlu diperhatikan dalam kegiatan tidak langsung ini adalah relevansi sastra yang sedang dijelajahinya. Misalnya, dalam materi puisi siswa dengan kompetensi dasar mengungkapkan isi suatu puisi. Dalam hal ini siswa tidak hanya membaca teks puisi saja tetapi juga membaca buku-buku teori sastra tentang puisi, buku-buku esai yang membahas puisi tersebut, dan biografi pengarang tersebut.
Hal lain yang harus diperhatikan dalam kegiatan tidak langsung ini bahwa pembelajaran tentang teori-teori sastra hanyalah dimaksudkan untuk mendukung atau sebagai kontribusi untuk mengapresiasi karya sastra tersebut. Mengapa demikian? Dalam pembelajaran apresiasi sastra ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan sebagai berikut.
1. Pembelajaran sastra dapat meningkatkan kepekaan rasa terhadap budaya bangsa, khususnya bidang kesenian.
2. Pembelajaran sastra merupakan pembelajaran untuk memahami nilai kemanusiaan dari karya-karya sastra.
3. Pembelajaran sastra memberikan kepuasan batin dan keterampilan pengajaran karya estetis melalui bahasa.
4. Pembelajaran sastra bukan merupakan pengajaran sejarah sastra , aliran, dan teori tentang sastra ( Ambang, 1999. Petunjuk Guru : Penuntun terampil berbahasa Indonesia 3).
Hal yang perlu diperhatikan juga dalam tahapan ini, untuk memahami dan menghayati karya sastra siswa diharapkan langsung membaca karya sastra dan bukan ringkasannya. Mengapa demikian? Kegiatan mengapresiasi sastra berkaitan erat dengan pelatihan mempertajam perasaan, penalaran, dan daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup. Hal-hal tersebut tidak terlaksana apabila siswa tidak membaca secara utuh karya sastra tersebut. Siswa tidak akan mendapat kontribusi tentang nilai-nilai keindahan serta paparan peristiwa yang mampu memberikan kepuasan batin pembacanya ,dan pandangan yang berhubungan dengan renungan atau kontemplasi batin ( baik yang berhubungan dengan keagamaan, filsafat, politik, budaya, dan sebagainya). Kandungan makna sastra yang begitu kompleks serta berbagai macam keindahan sastra tergabung lewat media kebahasaan, media tulis, dan struktur wacana yang utuh.

b. Interpretasi
Setelah penjelajahan, dilakukan penafsiran terhadap karya sastra yang sedang dijelajahi. Penafsiran dapat dilakukan dengan tanya jawab dan diskusi dengan temannya atau guru tentang karya sastra yang dibacanya. Dapat pula dilakukan dengan menganalisis unsur-unsur yang membangun karya sastra tersebut.

c. Re-kreasi
Tahapan ini merupakan langkah pendalaman. Siswa diminta untuk mengkreasikan kembali hal-hal yang telah dipahaminya dalam tahapan interpretasi.
Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam tahapan ini adalah sebagai berikut.
1. Siswa memerankan isi puisi sesuai dengan daya imajinasi mereka.
2. Siswa mengubah bentuk puisi menjadi cerita narasi.
3. Siswa mengubah bentuk cerita ke dalam bentuk drama.
4. Siswa menuliskan kembali bagian dalam sastra klasik dengan gaya bahasa masa kini.
5. Siswa menuliskan bagian tertentu dari cerpen/novel dari sudut pandang yang berbeda (misal dari salah satu seorang pelaku cerita).
6. Mengubah gaya bahasa penulisan karya sastra, dan sebagainya.
Cara untuk melaksanakan setiap langkah dalam strategi strata bergantung pada teknik yang ingin dipergunakan oleh pengajar dan kondisi kelas. Strategi ini memungkinkan guru bekerja dengan siswa dalam kelompok atau pun perseorangan.
Penerapan strategi strata juga memberikan peluang diterapkannya empat aspek keterampilan berbahasa sebagai karakteristik dalam pengajaran bahasa dan sastra Indonesia. Empat aspek keterampilan berbahasa tersebut adalah membaca, menulis, berbicara, menyimak. Yang tak kalah menariknya lagi dari strategi ini adalah adanya tahapan kreativitas dari siswa dalam mengkreasikan kembali suatu karya sastra.


**********

Sastra Sebuah Tinjauan

SASTRA SEBUAH TINJAUAN
Oleh : Risa Rahayu
S-2 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UNMUH Surabaya


1. SOSIOLOGI

Pendapat Aristoteles tentang seni “Ars Imitatur Naturam”, yaitu seni adalah miniatur kehidupan. Terkait dengan hal tersebut, sastra bagian dari seni, bolehlah dikatakan bahwa karya sastra merupakan miniatur kehidupan.
Tinjauan sastra secara sosiologis berpijak pada teori Aristoteles tersebut di atas dan paham bahwa sastra merupakan “imitation of reality” atau “reflection reality”. Sastra merupakan imitasi sebuah realita hidup. Sastra juga dikatakan cermin kenyataan hidup.
Sejalan dengan hal tersebut di atas, Lucian Goldman (2002:189) mengatakan bahwa sastra merupakan sebuah fakta kemanusiaan, fakta kejiwaan, dan fakta kesadaran kolektif sosiokultural yang muncul sebagai produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang selalu ada dalam masyarakat
Karena berangkat dari fakta kemanusiaan itulah, A.Teew (2002:189) menegaskan bahwa sastra tak pernah berangkat dari kekosongan. Karya sastra tak jatuh dari langit begitu saja, namun lahir sebagai sebuah refleksi dari realitas sosial dan refleksi kesejarahan. Senada dengan pendapat di atas, Rolnad Tanaka mengatakan bahwa karya sastra tidak mungkin hadir dengan tiba-tiba tanpa peranan faktor-faktor di luar sastra. Sistem sastra berjalan erat sekali dengan sistem sosial budaya sehingga baik eksplisit maupun implisit, sastra selalu menggambarkan konstruksi realitas sosial budaya yang sedang terjadi.
Sastra sebagai refleksi dari kenyataan hidup di masyarakat, sulit diingkari kebenarannya. Hal ini dikarenakan hal-hal berikut.
a. Sastra lebih mudah mengeksplorasi, memotret, dan memindahkan kenyataan sosial ke dalam kenyataan imajinatif sastra.
b. Sastrawan tidak mungkin hidup terasing dari masyarakat. Ia hidup dalam sebuah realitas sosial. Ia mengalami pergulatan-pergulatan dengan realitas sosial tersebut. Semua pergulatan-pergulatan yang dialaminya itu menjadi bahan inspirasi yang menarik bagi sastrawan. Bentuk sastra yang absurd sekali pun merupakan hasil pergulatan pergulatan sastrawan dengan realitas sosial yang dihadapinya.
Sebagai lahan persemaian bagi kelahiran karya sastra, masyarakat menyediakan berbagai ragam kehidupan. Dari kehidupan yang profan hingga kehidupan yang penuh kemuliaan; dari kehidupan di kampung kumuh hingga meropolitan. Di mana pun sastrawan dapat memilih angle kehidupan masyarakat yang menarik perhatiannya
Bukti bahwa karya sastra merupakan refleksi dari kenyataan hidup dapat ditemukan dalam berbagai karya sastra. Novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer dan Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari merupakan contoh karya sastra yang merefleksikan kehidupan masyarakat tempat/lingkungan sosial pengarang hidup.
Kedua novel tersebut menjadi “reflection reality” nasib wanita Indonesia pada zamannya (zaman dibuatnya karya sastra tersebut). Mariane Katopo (dalam Hutomo, 1993:240) mengatakaan sebagai berikut:
“Adalah kenyataan bahwa lebih dari lima puluh persn penduduk Indonesia adalah perempuan, dan lebih dari sembilan puluh persen hidup dalam lingkungan pertanian. Yang hidup dalam lingkungan perkotaan pada umumnya hidup dalam keadaan yang kurang menggembirakan. Sejauh mana derita dan juang manusia seperti ini, apalagi yang perempuan, diungkapkan dalam sastra kita? Suatu sumber yang amat kaya, yang belum cukup ditimba. Gadis Pantai (Pramudya Ananta Toer), atau Pariyem (Linus) cukup membuktikannya”.
Yang dikatakan oleh Mariane Katopo adalah benar. Nasib yang menimpa Gadis Pantai , nama simbolik gadis nelayan di daerah Rembang (dari lingkungan abangan Jawa), sama nasibnya dengan Pariyem (dari lingkungan Kristen Jawa). Gadis Pantai menjadi selir piaraan Bupati Rembang. Pariyem menjadi selir piaraan bangsawan Yogyakarta. Kedua novel ini merupakan refleksi hidup di lingkungan bangsawan Jawa pada umumnya laki-laki memiliki istri lebih dari satu. Istri-istri kedua, ketiga, dan seterusnya merupakan selir, yang kedudukannya tentunya tidak sederajat dengan istri pertama. Baik Gadis Pantai maupun Pariyem, keduanya mengalami nasib yang sama. Mereka mengalami hidup yang tidak berbahagia. Hal ini tentunya sama dengan kenyataan hidup yang ada. Selir-selir bangsawan memang mendapat materi yang cukup dan bahkan bagi sebagian wanita, ketika pertama kali dijadikan selir oleh sang bangsawan adalah kebanggaan. Mereka merasa naik derajat atau status sosial. Tetapi ketika menjalani kenyataan hidup bahtera berumah tangga, barulah mereka sadar, bahwa mereka hanyalah wanita kesekian dari suaminya. Terlebih-lebih, mereka tidak memiliki derajat dan status sosial yang sama dengan istri pertama. Di lingkungan keraton, istri pertama merupakan permaisuri, sedangkan selir tetaplah selir. Materi bukan segala-galanya untuk menjamin kebahagiaan hidup. Hal inilah yang tentunya dirasakan oleh para wanita yang menjadi selir. Hal seperti ini terefleksi dalam diri tokoh Gadis Pantai dan Pariyem.
Di dalam Ronggeng Dukuh Paruk, realitas sosial dan adat istiadat Jawa, terutama di desa juga terekflesi dalam diri tokoh Srintil, sang ronggeng. Peri hidup Srintil adalah cermin hidup wanita desa yang diterkam adat istiadat untuk menjadi ronggeng. Ronggeng adalah jenis pekerjaan di desa. Ronggeng adalah penari tradisional, dilengkapi dengan selendang di leher sebagai kelengkapan menari. Yang menjadi ronggeng adalah wanita. Selain mendapatkan upah dari pihak yang menyewa , ronggeng juga mendapatkan bonus uang dari laki-laki yang ingin menari berpasangan bersama ronggeng. Peri hidup ronggeng dalam realitas sosial terefleksi dalam diri tokoh Srintil Ronggeng Dukuh Paruk.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa karya sastra merupakan refleksi kenyataan hidup di masyarakat. Akan tetapi, walaupun begitu, pendirian bahwa karya sastra adalah “dunis rekaan” tetap menjadi bahan pertimbangan kita dalam menangkap realitas sosial yang tercermin dalam karya sastra. Hutama (1993:243) mengatakan bahwa kebenaran karya sastra harus dicocokkan dengan kenyataan di lapangan, dengan data konkret hasil penelitian.

2. BUDAYA
Kebudayaan ialah hasil kegiatan dan pencitaan budi atau akal manusia, seperti kepercayaan, ilmu pengetahuan, adat istiadat, kesenian, dan sebagainya. Jadi, kesenian ialah cabang kebudayaan sehingga dapat dikatakan pula bahwa kesusastraan itu cabang kebudayaan.
Namun demikian, orang cenderung menyebut seni dan sastra sebagai dua fenomena budaya yang terpisah. Secara intuitif orang akan maklum bahwa sastra bukan sepenuhnya seni, atau mungkin lebih tepat dikatakan bahwa sastra adalah seni tetapi juga lebih dari seni. Sastra adalah suatu kecakapan menggunakan kata-kata berbentuk dan bernilai seni.
Terkait antara sastra dan budaya, khususnya Indonesia, Mursal Esten (dalam Sastrawardoyo, 1992:71) mengatakan bahwa sastrawan Indonesia hidup dalam dua dunia, yaitu dunia budaya etnis dan dunia budaya Indonesia. Kreativitas sastrawan adalah dunia yang kompleks yang menyangkut lingkungan sosio-kultural.
Dalam kaitan sosio-budaya ada dua jalur perkembangan sastra Indonesia. Jalur pertama berorientasi pada kebudayaan Barat, yang diwakili oleh Sutan Takdir Alisyahbana dan Surat Kepercayaan Gelanggang. Kesusastraan dalam jalur ini memperlihatkan penolakan terhadap konvensi-konvensi sastra yang dikenal sebelumnya. Kesusastraan dalam jalur ini dinamakan “sastra kota”
Sedang pada jalur sastra yang kedua terdapat bentuk sastra yang lahir melalui pertemuan dan konsensus antarbudaya etnis dengan budaya lain ( seperti budaya agama) dan bahkan dengan budaya Barat. Bentuk sastra ini berbicara tentang masyarakat yang “di bawah” dibandingkan dengan bentuk sastra pada jalur pertama.
Proses perkembangan kesusastraan Indonesia pada jalur kedua ini dimulai pada tahun 1960 setelah generasi yang tadinya beroleh pendidikan Barat diganti oleh generasi baru, yang penghayatan terhadap nilai-nilai budaya tradisional masih cukup mendalam.
Mursal esten juga mengatakan bahwa sastrawan dalam proses kreatifnya dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya tradisional. Nilai budaya yang terdapat dalam karya sastra adalah warna, yang tidak hanya pada kulit tetapi pada hal yang menyangkut esensi sastra.
Beberapa karya sastra yang menunjukkan adanya perpaduan budaya etnis dan budaya lain, misalnya sajak-sajak karya Sutardji Calzoum Bachri yang bertolak pada mantra, Ibrahim Sattah dan Hamid Jabbar dari dzikir, sajak-sajak Husni Djamaludin yang tertolak dari konvensi sastra Toraja, Rusli A, Malem dari sastra Aceh dan sebagainya.
Aspek budaya yang yang terdapat dalam karya sastra tampak dalam pemakaian bahasa, cara berpakaian dan tingkah laku tokoh, adat istiadat para tokoh, cara berpikir para tokoh, lingkungan hidup, kepercayaan tokoh, sejarah, cerita rakyat dan kepercayaan yang khas bagi suatu daerah.
Seperti Atheis yang kisahnya berlaku di Bandung, maka gejala kehidupan masyarakat Sunda di kota itu memberikan warna budaya dalam novel tersebut. Tidak hanya gejala kehidupan masyarakat Sunda tetapi juga pemakaian bahasa/ kata-kata Sunda yang juga banyak diselipkan dalam penuturan kisahnya. Demikian juga, Burung-Burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya yang menampilkan budaya Jawa Tengah pada cara hidup dan perilaku tokoh-tokoh seperti Larasati, terutama kata-kata yang khas yang dipakai pada daerah tersebut. Adanya pemakaian bahasa daerah memang disengaja oleh pengarang untuk membangkitkan jagad khas budaya daerah dengan segala segi dan suasana budayanya.

3. PSIKOLOGI
Ada beberapa alasan pokok mengapa psikologi masuk ke dalam studi sastra.
1. Untuk mengetahui perilaku dan motivasi para tokoh dalam karya sastra yang langsung maupun tidak langsung mencerminkan perilaku dan motivasi manusia. Psikolog Freud melahirkan teori psikoanalisa dengn cara banyak menggali persoalan jiwa manusia dari karya-karya sastra, antara lain dari novel pengarang Rusia abad ke-19 Fyodor Dostoevsky. Psikolog Carl Gustav Jung yang melahirkan teori psikologi arkitipal dan avatisme juga menggunakan karya sastra sebagai rujukannya, yaitu novel pengarang Amerika abad ke-19 Herman Melville, Moby Dick.
2. Untuk mengetahui proses kreatif pengarang. Pengarang pada dasarnya memang awam dalam hal psikologi, tetapi mereka memiliki intuisi yang tajam mengenai psikologi dan filsafat. Oleh karena itu, karya-karya pengarang dapat memberikan inspirasi kepada para psikolog untuk melahirkan teori-teori mereka dan untuk melakukan diagnose serta terapi kejiwan.
3. Untuk mengetahui berapa jauh pembaca menangkap karya sastra dan bagaimana sikap serta reaksi psikologis pembaca terhadap karya sastra.

Sastra sebagai refleksi dari kehidupan, secara langsung atau tidak langsung dapat berperan sebagai foto bagi fenomena kemanusiaan. Perilaku tokoh-tokoh dalam karya sastra merupakan refleksi dari perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari. Novel Burung-Burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya adalah salah satu contoh novel yang merefleksikan kondisi psikologis manusia , yaitu agresivitas, yang tercermin dalam tokoh utamanya, Setadewa.
Bentuk agresivitas tokoh Setadewa (Teto) dalam novel-novel Burung Manyar dapat ditinjau secara psikoanalisa teori Freud. Sejak masa kanak-kanak, Setadewa telah mengakui bahwa dirinya mirip dengan maminya. Namun, karena lingkungan “anak kolong” di tangsi Magelang yang terkenal dengan keagresifannya, dan papinya yang seorang tentaralah hingga menyebabkan Setadewa menolak identifikasi sepenuhnya dengan maminya. Lalu pengalaman hidup yang ditinggalkan oleh maminya yang dijadikan gundik Jepang serta papinya yang juga ditangkap oleh Jepang, telah memotivasi dan membuat Setadewa tetap dan terus menerus dihantui oleh frustasi dan kecemasan. Akibat adanya hal-hal itu maka Setadewa akhirnya berusaha menggunakan alat kepribadian pemindahan dan alat kepribadian mekanismee pertahanan ego.
Kemudian, menjelang akhir cerita Setadewa menggunakan alat kepribadian sublimasi sebagai usaha untuk menebus kesalahan dan rasa bersalah yang ditekankan oleh kata hatinya. Cerita pun berakhir melalui penerimaan Setadewa pada identifikasi sepenuhnya terhadap maminya, yang sekaligus pula telah meredakan agresivitas diri dan berhentinya penggunaan mekanisme pertahanan ego pembentukan reaksi yang sempat mengkristal dalam perwatakan tokoh.
Terkait dengan alasan kedua dan ketiga bahwa psikologi masuk ke dalam kajian sastra adalah bukti adanya psychopoetry. Psychopoetry diterapkan dalam kelompok-kelompok yang bergerak di bawah ahli jiwa di tengah masyarakat. Tujuannya adalah mengusahakan penyembuhan lewat puisi kepada angota-anggotanya yang terganggu kehidupan jiwanya.
Di tengah kelompok itu puisi atau sajak menjadi sarana untuk penyehatan jiwa, suatu usaha penyembuhan atau terapi. Terapi seperti ini sudah dilakukan di Amerika.
Di dalam kelompok terapi puisi, yang menjadi bahan perbincangan antaranggota adalah sajak-sajak yang diakarang oleh ahli jiwa atau terapis, atau sajak-sajak oleh pengarang-pengarang yang terkenal, atau yang dibuat oleh si penderita penyakit sendiri. Dengan sajak-sajak jenis pertama, si sakit dapat menyadari bahwa orang lain pun, bahkan yang memimpin kelompok pun, memenuhi kesulitan dan harus bergulat untuk mengekspresikan diri. Dalam mendengar dan menghapalkan sajak-sajak penyair terkenal, pasien dapat mengidentifikasikan dirinya dengan keadaan jiwa yang dialami juga olehnya; kesamaan nasib dapat mengembalikan semangat hidup kepadanya. Ia mungkin malahan akan berusaha meniru mengucapkan dirinya seperti penyair besar itu dalam sajak. Karya-karya puisi yang dikarang oleh penderita sakit lebih efektif lagi dalam menghilangkan gangguan jiwanya. Kemampuan dalam mengekspresikan dirinya dan menciptakan sesuatu terbukti membangkitkan kembali kepercayaan pada dirinya dan kesadaran bahwa dirinya punya harga dan kehormatan.
Gangguan jiwa yang menjelma dalam kecenderungan lekas marah, sedih, terhina, kecewa, bingung, ragu-ragu, tegang, tertekan, ingin menyendiri, merasa disalahkan selalu, lambat laun hilang lewat penulisan puisi.
Selain itu, bagi pembaca umum, sastra memiliki kegunaan. Kegunaan membaca karya sastra selain sebagai media informasi/pengetahuan, sastra juga sebagai hiburan. Hal ini berarti sastra dapat memenuhi kebutuhan psikis dan emosi pembaca. Segala bentuk perasaan akan mampu dibangkitkan sastra ketika pembaca membaca sebuah karya sastra. Perasaan senang/gembira, sedih, takjub, marah atau geram dan sebagainya merupakan bentuk pemenuhan kebutuhan psikologis manusia. Lewat sastra pula naluri kemanusiaan seseorang dapat terasah dengan baik. Sastra mengajarkan kepada pembacanya untuk lebih peka terhadap bentuk nilai-nilai kemanusiaan.


DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. 2002. Tegak Lurus Dengan Langit Potret Keterasingan Manusia
Modern.
Harumi, Endah. “Handout Kritik Sastra Baru (New Criticism)”.
Hutomo, Suripan Sadi. 1993. Merambah Matahari Sastra dalam Perbandingan.
Surabaya: Gaya Masa.
Sastrowardoyo, Subagio. 1992. Sekilas Soal Sastra dan Budaya. Jakarta: Balai
Pustaka.
Surana. 2001. Pengantar Sastra Indonesia. Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri.












Empat Prinsip Komunikasi Ampuh Quantum Teaching

The Four Principles of The Powerful Communication of Quantum Teaching for Creating The Effective Comunication between Teacher and Students at Class X3
of SMAN 3 Surabaya
(Empat Prinsip Komunikasi Ampuh Quantum Teaching untuk Menciptakan Komunikasi Efektif antara Guru dan Siswa di Kelas X3 SMAN 3 Surabaya)




Oleh: Risa Rahayu, S.Pd.
Nip : 132230488
Guru SMAN 3 Surabaya













Makalah Disajikan Dalam “INTERNASIONAL SEMINAR ON GLOBAL EDUCATION” On Mei 11Th 2008



ABSTRACT

Quantum Teaching gives four powerful communication principles between teacher and students in the class. Those principles can be used by teacher when he teaches, gives clues, arrange teaching and learning, or give feed-back. The four principles are: (1) arising positive impression ; (2) directing the focus ; (3) creating inclusive words ; (4) producing specific thing. Communication based on those four principles creates the effective communication between teacher and students in the classroom. The result shows the followings: (1) Positive impression can arise the process of teaching and learning and it can be done through the conversation which support the process, create challencing impression, curiousity , and the competence to analyse errors. (2) Directing the focus can be done through conversation which has the purpose of communication. The more focused conversation the clearer communication to create acts. (3) Unclusive can be done through the words which motivate the togetherness. (4) Specific production can be done through the avoidance of the words focus to the general topic, teachers are to use the specific words or phrases as the communication steps. The clearness creats acts. Using the four principles teachers can maximize the process of teaching ang learning because the principles contains four reasons: (1) maximize the whole brain to increase the quality of learning and the quantity of learning; (2) avoid the misunderstanding in the communication because of the generalization and the opening of the earger association; (3) creating good attitude and behavior which support the process of teaching and learning, and (4) increase the result of process of teaching and learning.

Key words : The four principles of the powerful communication of Kuantum Teaching,
effective communication.


ABSTRAK

Quantum teaching memberikan empat prinsip komunikasi ampuh antara guru dan siswa di kelas. Keempat prinsip ini dapat dipakai oleh guru ketika mengajar, memberikan petunjuk, menata konteks dalam pembelajaran, atau memberikan umpan balik. Keempat prinsip tersebut adalah : (1) munculkan kesan ;(2) arahkan fokus; (3) inklusif; (4) spesifik. Komunikasi yang berdasarkan keempat prinsip tersebut akan menciptakan komunikasi efektif antara guru dan siswa di kelas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan keempat prinsip tersebut sebagai berikut. (1) Kesan positif yang dapat memacu pembelajaran dapat dilakukan dengan penggunaan percakapan yang mendukung pembelajaran , menciptakan kesan tantangan, penasaran, dan kemampuan untuk mengkaji kembali suatu kesalahan. (2) Arahkan fokus dapat dilakukan dengan penggunaan percakapan yang langsung mengarah pada perhatian yang dituju dalam tujuan komunikasi. Semakin fokus percakapan akan semakin melahirkan kejelasan dan mewujudkan tindakan. (3) Inklusif dapat dilakukan dengan penggunaan kata-kata yang mengajak dalam kebersamaan. (4) Spesifik dapat dilakukan dengan penghindaran kata-kata yang berkesan umum/general. Gunakan kata /frase yang secara khusus mengarah pada kejelasan sebagaimana yang dimaksud dalam komunikasi. Kejelasan melahirkan tindakan. Dengan menggunakan keempat prinsip tersebut, guru dapat memaksimalkan PBM karena prinsip tersebut (1) terkait dengan teori otak triune yang memaksimalkan daya otak keseluruhan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas belajar; (2) menghindari kesalahpahaman dalam komunikasi akibat generalisasi dan terbukanya asosiasi yang luas; (3) melahirkan sikap/perilaku yang dapat mendukung PBM; (4) meningkatkan hasil PBM.

Kata Kunci: empat prinsip komunikasi ampuh Quantum Teaching, komunikasi efektif



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Ketika guru berada di depan kelas dan berbicara kepada siswa pada waktu proses belajar mengajar, sering terjadi kesalahpahaman komunikasi antara guru dan siswa. Tujuan komunikasi yang berada di benak dan pikiran guru tidak sama dengan yang berada di benak dan pikiran siswa. Hal ini terlihat dari respon perilaku siswa setelah guru menyampaikan beberapa dialog, misalnya, guru bermaksud agar siswa merapikan meja dan memasukkan buku ke dalam tas karena pelajaran selesai dan akan isrirahat. Dialog yang diucapkan guru “Anak-anak, sebentar lagi istirahat! Bersiap-siaplah kalian!” Maka respon siswa adalah para siswa ramai, bersorak-sorak, dan berjalan ke sana ke mari untuk siap-siap istirahat. Respon ini tentu tidak sesuai dengan yang dimaksud dalam benak dan pikiran guru ketika menyampaikan informasi tersebut. Hal ini sering terjadi tanpa disadari oleh guru.
Selain itu, ada beberapa dialog yang tanpa disadari oleh guru, ternyata dialog tersebut tidak memberikan kontribusi yang positif kepada siswa. Dikatakan tidak memberikan kontribusi yang positif kepada siswa karena dialog tersebut ternyata , menurut siswa, justru melemahkan semangat siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar. Dialog tersebut, misalnya, “Anak-anak, jangan ramai! Kalian harus konsentrasi terhadap materi ini karena materi ini sulit. Banyak kakak kelas kalian yang tidak tuntas dalam materi ini.” Dialog tersebut, ternyata menurut siswa, justru melemahkan minat siswa untuk mampu meningkatkan prestasi dalam materi tersebut. Di benak siswa materi tersebut sulit dan tidak menarik untuk dipelajari. Oleh karena itu, siswa mengikuti proses belajar mengajar dengan setengah hati karena gambaran kesulitan dan ketidakmampuan terhadap materi tersebut. Alhasil, prestasi siswa dalam materi tersebut kurang memuaskan. Hal ini terlihat dari hasil ulangan dan kemampuan siswa menjawab soal-soal dalam tahap refleksi yang dilakukan oleh guru.
Salah satu alternatif solusi untuk mengatasi berbagai masalah di atas, diterapkan empat prinsip komunikasi ampuh Quantum Teaching. Empat prinsip ini dapat menciptakan komunikasi efektif antara guru dan siswa di kelas karena hasil penelitian De Porter (2000:117) empat prinsip komunikasi ampuh Quantum Teaching tersebut dapat memperbaiki interaksi komunikasi guru dan siswa di kelas.
Empat prinsip komunikasi ampuh Quantum Teaching tersebut meliputi: (1) munculkan kesan;(2) . arahkan fokus; (3)c. inklusif; (4) spesifik.
Berkaitan dengan hal di atas, dalam makalah ini akan dikupas tentang penerapan empat prinsip komunikasi ampuh Quantum Teaching untuk menciptakan komunikasi efektif di kelas X3 SMAN 3 Surabaya dan alasan-alasan diterapkannya keempat prinsip tersebut dalam proses belajar mengajar di kelas.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah tersebut sebagai berikut.
a. Bagaimana menerapkan empat prinsip komunikasi ampuh Quantum Teaching untuk menciptakan komunikasi efektif antara guru dan siswa di kelas X3 SMAN 3 Surabaya?
b. Mengapa empat prinsip komunikasi ampuh Quantum Teaching dapat menciptakan komunikasi efektif antara guru dan siswa di kelas X3 SMAN 3 Surabaya?

1.3.Tujuan
Tujuan yang akan dicapai dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut.
Mendeskripsikan penerapan empat prinsip komunikasi ampuh Quantum Teaching untuk menciptakan komunikasi efektif antara guru dan siswa di kelas X3 SMAN 3 Surabaya.
Mendeskripsikan alasan diterapkannya empat prinsip komunikasi ampuh Quantum Teaching untuk menciptakan komunikasi efektif antara guru dan siswa di kelas X3 SMAN 3 Surabaya.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Empat Prinsip Komunikasi Ampuh Quantum Teaching untuk Menciptakan Komunikasi Efektif antara Guru dan Siswa di Kelas X3 SMAN 3 Surabaya
2.1.1 Quantum Teaching
Quantum Teaching dimulai di SuperCamp. SuperCamp adalah sebuah program percepatan Quantum Learning yang ditawarkan Learning Forum, yaitu sebuah perusahaan pendidikan internasional yang menekankan perkembangan keterampilan akademis dan keterampilan pribadi. Strategi mengajar ini diciptakan berdasarkan teori-teori pendidikan seperti Accelerated Learning, Multiple Intellegences, Neuro-Linguistic Programming, Experiential Learning, Sociatic Inquiry, Cooperatif Learning, dan Elements of Effective Instructrion. Teori-teori tersebut menawarkan model-model pembelajaran yang meninggalkan metode-metode belajar konvesional.
Salah satu karakteristik model pembelajaran baru tersebut adalah pelatihan untuk era belajar. Pelatihan tersebut ditandai dengan keterlibatan penuh pembelajar, motivasi internal, adanya kegembiraan dan kesenangan dalam belajar, dan integrasi belajar yang lebih menyeluruh ke dalam segenap kehidupan organisasi. Asumsi dasarnya adalah belajar bukan lagi persiapan untuk bekerja, belajar adalah bekerja (Meier; 2002:24).
Hasil di Supercamp menunjukkan bahwa murid-murid yang mengikuti Supercamp mendapatkan nilai yang lebih baik, lebih banyak berpartisipasi, dan merasa lebih bangga akan diri mereka sendiri. Secara khusus hasil-hasil di Supercamp menunjukkan:
68% meningkatkan motivasi;
73% meningkatkan nilai;
81% meningkatkan rasa percaya diri;
84% meningkatkan harga diri;
98% melanjutkan penggunaan keterampilan.
Adapun Quantum Teaching adalah penggubahan belajar yang meriah, dengan segala nuansanya. Quantum Teaching juga menyertakan segala kaitan, interaksi, dan perbedaan yang memaksimalkan momen belajar. Quantum Teaching berfokus pada hubungan dinamis dalam lingkungan kelas. Interaksi yang mendirikan landasan dan kerangka untuk belajar (De Porter, 2000:3).
Asas utama Quantum Teaching adalah “Bawalah Dunia Mereka ke Dunia Kita, dan Antarkan Dunia Kita ke Dunia Mereka”. Maksud asas tersebut adalah langkah pertama seorang guru mendapatkan hak mengajar dari murid. Oleh karena itu, ia harus memasuki dunia murid agar keberadaannya diterima murid. Hal ini penting karena dengan memasuki dahulu dunia mereka akan memberikan izin untuk memimpin, menuntun, dan memudahkan perjalanan mereka menuju kesadaran dan ilmu pengetahuan yang lebih luas. Bagaimana caranya? Dengan mengaitkan materi yang guru ajarkan dengan sebuah peristiwa, pikiran, atau perasaan yang diperoleh dari kehidupan rumah, sosial, etletik, musik, seni, rekreasi, atau akademis mereka. Setelah kaitan itu terbentuk, guru dapat membawa murid ke dalam dunia kita dan memberi pemahaman mengenai isi dunia itu. Di sinilah kosa kata baru, model rumus, konsep, dan sebagainya dapat dibeberkan.
Quantum Teaching memiliki beberapa prinsip. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut.
Segalanya berbicara
Segalanya dari lingkungan kelas hingga bahasa tubuh guru sampai pada kertas yang dibagikan dan rancangan pelajaran mengirimkan pesan tentang belajar.
Segalanya bertujuan
Semua yang terjadi dalam penggubahan pengajaran mempunyai tujuan.
Pengalaman sebelum pemberian nama
Proses belajar paling baik terjadi ketika siswa telah mengalami informasi sebelum mereka memperoleh nama untuk hal yang mereka pelajari.

Akui setiap usaha
Belajar mengandung resiko. Belajar berarti melangkah keluar dari kenyamanan. Pada saat siswa mengambil langkah ini mereka patut mendapat pengakuan atas kecakapan dan kepercayaan diri mereka.
Jika layak dipelajari layak pula dirayakan
Perayaan memberikan umpan balik mengenai kemajuan dan meningkatkan asosiasi emosi positif dengan belajar.
Model Quantum Teaching terdiri dari dua seksi utama, yaitu konteks dan isi. Konteks adalah latar dalam pembelajaran. Konteks terdiri dari beberapa bagian, yaitu suasana yang memberdayakan, landasan yang kukuh, lingkungan yang mendukung, dan rancangan belajar yang dinamis. Adapun isi adalah keterampilan penyampaian untuk kurikulum dan strategi yang dibutuhkan siswa untuk bertanggung jawab terhadap hal yang mereka pelajari. Isi meliputi penyajian yang prima, fasilitas yang luwes, keterampilan belajar- untuk-belajar, dan keterampilan hidup.

2.1.2 Empat Prinsip Komunikasi Ampuh Quantum Teaching
Guru adalah penyampai kurikulum. Oleh karena itu, perkataan guru dan cara guru mengatakan sangat berpengaruh terhadap siswa dalam menerima pelajaran yang terdapat dalam kurikulum.
Setiap interaksi yang dilakukan guru dengan siswa sama pentingnya dengan perkataan guru, bahkan mungkin lebih penting. Oleh karena itu, Quantum Teaching memberikan empat prinsip komunikasi ampuh. Komunikasi ampuh ini dapat dipakai oleh guru ketika mengajar, memberikan petunjuk, menata konteks, atau memberikan umpan balik (De Porter 2000:118). Komunikasi ampuh ini dapat dilakukan dengan mudah dan disengaja.
Keempat komunikasi ampuh tersebut sebagai berikut.




2.1.2.1 Munculkan Kesan
Kesan yang dimaksud dalam komunikasi ampuh Quantum Teaching adalah citra (De Porter, 2000:119). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:216) ada beberapa makna tentang citra. Makna yang tepat dalam kaitannya dengan maksud di sini yaitu kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase, atau kalimat.
Perkataan guru diharapkan mampu menimbulkan kesan yang dapat memacu belajar siswa. Secara sadar, guru diharapkan memilih perkataan yang menimbulkan citra positif , memacu pelajaran, dan meningkatkan komunikasi. Jangan sampai perkataan guru menimbulkan citra negatif yang dapat melemahkan pembelajaran, misal, menimbulkan kesan kesulitan, kebosanan, bahaya, kegagalan dan sebagainya.

2.1.2.2. Arahkan Fokus
Fokus adalah unsur yang menonjolkan suatu bagian kalimat sehingga perhatian pendengar tertarik pada bagian itu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001:319). Dalam kaitannya dengan interaksi siswa-guru di kelas, diharapkan perkataan guru mampu langsung mengarahkan perhatian siswa kepada asosiasi yang mendukung belajar. Oleh karena itu, pilihlah kata-kata yang langsung mengarah pada asosiasi yang dimaksud dalam pesan itu. Jangan sampai membuka peluang bagi siswa untuk menciptakan berbagai macam asosiasi yang dapat menimbulkan hal-hal yang tidak mendukung belajar.
Langkah pertama yang dapat dilakukan oleh guru agar prinsip arahkan fokus ini dapat terpakai yaitu “tanyalah kepada diri sendiri: di mana guru ingin memusatkan perhatian siswa”. Lalu, pilihlah kata-kata yang langsung mengarahkan fokus mereka.

2.1.2.3 Inklusif
Semua perkataan guru diharapkan memacu terciptanya dinamika yang positif dan memacu hubungan kerja sama yang menyeluruh. Setiap orang diajar terlibat dalam proses pembelajaran.
Sebagai Quantum Teacher, guru diharapkan menciptakan sebuah suasana kerja sama, kerja tim, dan keterlibatan, terutama mengingat adanya asosiasi negatif yang dimiliki beberapa siswa mengenai dinamika guru dan siswa. Memilih kata secara sadar dan sengaja dapat memperkuat rasa kebersamaan dan menimbulkan asosiasi positif. Untuk menciptakan lingkungan belajar yang penuh kerja sama, gunakanlah bahasa yang mengajak semua orang. “Mari kita” dan “kita” menciptakan kesan keterpaduan dan kesatuan. Perkataan seperti itu berarti, “Kita berjuang bersama-sama” (De Porter, 2000:122).

2.1.2.4 Spesifik
De Porter (2000:122) mengatakan bahwa kesalahan komunikasi sering terjadi karena generalisasi. Generalisasi memungkinkan orang lain mengisi kekosongan dengan pemahamannya sendiri. Semakin spesifik perkataan, akan semakin membawa kejelasan. Kejelasan mendorong lahirnya tindakan yang diinginkan dalam komunikasi.
Keempat prinsip komunikasi ampuh tersebut merupakan komunikasi verbal, yaitu komunikasi yang dilakukan secara lisan melalui suatu percakapan.
Komunikasi verbal harus didukung oleh komunikasi nonverbal, yaitu mengarah kepada komunikasi tanpa kata seperti sikap, gerakan tubuh, gerak isyarat, dan ekspresi wajah (Darmawan, 2006:4).
Mengapa komunikasi verbal harus didukung oleh kamunikasi nonverbal? Karena pesan dan bahasa tubuh itu sama dan sebangung atau kongruen (De Porter, 2000:124). Tubuh dan suara adalah kurir yang membawakan pesan. Dengan dukungan komunikasi nonverbal yang efektif, guru dapat menyampaikan pesan kongruen yang akan memperkuat komunikasi. Pesan yang kongruen adalah pesan yang memiliki perkataan, ekspresi wajah, gerak tubuh, dan postur yang selaras. Wajah mengatakan hal yang sama dengan perkataan tubuh dan pikiran otak.
Hal-hal yang merupakan komunikasi nonverbal dalam Quantum Teaching yaitu kontak mata, ekspresi wajah, nada suara, gerak tubuh, dan postur.


2.1.3 Komunikasi Efektif
Ada banyak definisi tentang komunikasi. Salah satu definisi tersebut adalah yang dikemukakan oleh Rachmadi (1994:65). Ia mengatakan bahwa komunikasi itu merupakan proses penyampaian atau pengiriman pesan dari sumber kepada satu atau lebih penerima dengan maksud untuk mengubah perilaku dan sikap penerima pesan.
Pada dasarnya, orang berkomunikasi itu memiliki tujuan. Tujuan proses komunikasi sebagai berikut.
Menciptakan pengertian yang sama terhadap setiap pesan dan lambang yang disampaikan.
Merangsang pemikiran pihak penerima untuk memikirkan pesan dan rangsangan yang ia terima.
Melakukan suatu tindakan yang selaras dengan pesan yang diterima sebagaimana diharapkan dengan adanya penyampaian pesan tersebut, yaitu untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (Darmawan, 2006:2).
Jadi, berdasarkan hal-hal di atas, ukuran bahwa komunikasi itu efektif adalah informasi disampaikan dan hubungan dibangun (Ludlow,1996:7). Informasi tersampaikan apabila pesan yang berada dalam benak dan pikiran komunikan dapat diterima secara sama oleh komunikator. Hubungan dibangun apabila tujuan-tujuan komunikasi di atas dapat tercapai.
Tidak semua komunikasi itu efektif. Pesan yang dikirim oleh satu pihak kepada pihak lain terkadang tidak diterima dengan baik seperti yang dimaksud pengirim pesan. Hal ini terjadi karena pesan yang disampaikan terhambat oleh berbagai kendala yang muncul saat komunikasi berlangsung. Pembatas komunikasi muncul saat adanya gangguan-gangguan dalam komunikasi sehingga mangacaukan dn menghambat pesan pengirim.
Ludlow (1996:16) mengelompokan kendala komunikasi ke dalam tiga kelompok.
Kendala dalam penerimaan yang meliputi: rangsangan dari lingkungan, sikap dan nilai-nilai penerima, kebutuhan dan harapan penerima.
Kendala-kendala dalam pemahaman yang meliputi: bahasa, masalah semantik, kemampuan penerima untuk mendengar dan menerima, panjang komunikasi, perbedaan status.
Kendala dalam penyambutan: praduga, konflik pribadi antara pengirim dan penerima.
Salah satu cara untuk mengurangi akibat kendala-kendala tersebut adalah selama proses komunikasi memeriksa terus-menerus isi berita yang dikirim dan yang diterima. Hal ini dapat dilakukan melalui umpan balik antara komunikan dan komunikator.

2.1.4 Penerapan Empat Prinsip Komunikasi Ampuh Quantum Teaching di Kelas X3 SMAN 3 Surabaya
Penelitian ini termasuk penelitian deskripsi. Menurut Arikunto (1990:309), penelitian deskripsi merupakan penelitian untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada, keadaan atau gejala apa adanya pada saat penelitian dilakukan. Adapun tujuan penelitian deskripsi (Ndraha, 1981:125) berusaha menemukan pengetahuan seluas-luasnya tentang objek pada suatu masa atau saat tertentu.
Populasi penelitian ini adalah siswa-siswa kelas X3 SMAN 3 Surabaya tahun ajaran 2008/2009. Jumlah siswa 40. Karena subjek penelitian kurang dari seratus, semua populasi diambil sebagai sampel penelitian sehingga penelitian ini merupakan penelitian populasi.
Adapun variabel penelitian yang menjadi objek pengamatan penelitian ada dua, yaitu: (1) penerapan empat prinsip komunikasi ampuh Quantum Teaching untuk menciptakan komunikasi efektif antara guru dan siswa di kelas X3 SMAN 3 Surabaya dan (2) alasan diterapkannya empat prinsip komunikasi ampuh Quantum Teaching untuk menciptakan komunikasi efektif antara guru dan siswa di kelas X3 SMAN 3 Surabaya.
Prosedur pengambilan data dalam penelitian ini sebagai berikut.
1. Data percakapan guru kepada siswa di kelas diperoleh dengan cara pengamatan/observasi di lapangan ketika beberapa guru mengajar di kelas X3.
2. Data percakapan guru tersebut dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu sebagai berikut.
a. Kategori pertama: data percakapan guru kepada siswa yang efektif atau tidak efektifnya komunikasi tersebut dapat dilihat secara langsung dari reaksi perilaku siswa. Kemudian data tersebut dianalisis apakah mengandung prinsip ampuh Quantum Teaching atau tidak.
b. Ketegori kedua: data percakapan guru kepada siswa yang efektif atau tidak efektifnya komunikasi tersebut tidak dapat dilihat secara langsung dari reaksi perilaku siswa. Efektif atau tidak efektifnya komunikasi tersebut ditentukan melalui survei. Instrumen survei berupa kuisioner.
Jenis pertanyaan kuisioner tentang pendapat dengan bentuk berstruktur. Kuisioner berisi 17 percakapan guru. Masing-masing percakapan memiliki dua model, yaitu mengandung prinsip komunikasi ampuh Quantum Teaching (dengan kode b ) dan tidak mengandung prinsip komunikasi ampuh Quantum Teaching (dengan kode a). Siswa dimintai pendapat tentang keefektifan komunikasi tersebut.
Untuk kategori pertama menghasilkan data yang terdapat dalam tabel 1.

Tabel l: Hasil Pengamatan Percakapan Guru dan Reaksi Perilaku Siswa
No
Percakapan Guru
Reaksi Perilaku Siswa
Keterangan
1.
a. “Anak-anak, tolong bersihkan kelas”.
Tidak ada yang membersihkan. Siswa-siswa diam dan seolah-olah tidak peduli dengan instruksi guru
Komunikasi tidak efektif







b.“Siswa-siswa yang piket hari ini : Leny, Lukman, Rizka, mari membersihkan kelas”.
Siswa-siswa yang bersangkutan beranjak dari bangku dan membersihkan kelas
Komunikasi efektif karena menghasilkan tindakan yang diinginkan. Menghasilkan tindakan karena perintah spesifik dan jelas dengan menyebutkan nama siswa yang dimaksud.
2.
a. “Ada pertanyaan?”
guru bertanya lagi,” sudah jelas?”.
Siswa diam.
Siswa menjawab “jelas”, tetapi ketika dites pertanyaan, siswa tidak ada yang menjawab
Komunikasi tidak efektif

b.“bagaimana dengan keterangan ibu tadi, ada pertanyaan” ?.
Kemudian guru langsung mengecek pemahaman siswa terhadap materi tersebut dengan memberikan pertanyaan: “Aisyah, buatlah contoh kalimat mayor!”
Siswa yang bersangkutan menjawab, kemudian guru melempar jawaban tersebut kepada siswa yang lain untuk menentukan kebenaran jawaban siswa tersebut.
Komunikasi efektif karena guru langsung mendapat informasi tentang kondisi pemahaman siswa yang baru disajikan.
3.
“Tulis nomor absen di tempat yang disediakan pada lembar jawaban”.
“Tulis nomor peserta dengan kode awal seperti di papan tulis”
Siswa menulis tanpa ada pertanyaan
Komunikasi efektif karena menghasilkan tindakan yang diinginkan. Menghasilkan tindakan karena perintah jelas disertai contoh yang ditulis/visual.

4.
“Sekarang kalian buka Surat Al-Zalzalah 99; 1-8”
Siswa membuka-buka buku dan mencari surat tersebut
Komunikasi tidak efektif karena tidak spesifik menyebutkan halaman.

Guru bertanya lagi “sudah ditemukan?”
Siswa menjawab “belum”.
Komuniasi tidak efektif

5.
a. “Sekarang Jaelani baca terjemahannya!”
Siswa yang bersangkutan langsung menjawab.
Komunikasi efektif karena menghasilkan tindakan dengan menyebutkan nama siswa {Franklin D. Roosevelt (dalam carnegie, 1993:78) tahu bahwa cara yang paling sederhana dalam memperoleh kehendak yang baik adalah mengingat nama orang dan membuat mereka merasa penting

“Peni simpulkan isi Surat Al-Zalzalah tersebut”
Guru melemparkan kebenaran jawaban kepada siswa lain. “Wieke, kamu setuju dengan simpulan itu?”
Pertanyaan guru dijawab siswa dengan tepat.
Komunikasi efektif.

b. “Apa simpulannya?”.
Siswa menjawab sendiri-sendiri dengan ramai. Jawaban siswa tidak terkontrol.
Komunikasi tidak efektif karena guru tidak mendapatkan informasi secara jelas dari siswa.



6.

“Jadi kesimpulannya di hari kiamat bumi akan digoncangkan, seperti saat ini yang sudah kiamat kecil, gempa bumi dengan skala …..R. itu contoh kiamat kecil”.
Siswa paham tentang kiamat.
“o, begitu kiamat”.
Komunikasi efektif karena disertai contoh berupa metafora.

Kategori kedua menghasilkan data yang terdapat dalam tabel 2 dan tabel 3.

Tabel 2 : Analisis Kuisioner Percakapan Guru
Nomor Kode Kuisioner
Pilihan Percakapan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
1 X3
B
B
B
B
A
A
A
A
B
B
B
A
B
B
B
B
A
2 X3
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
3 X3
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
4 X3
B
B
B
A
B
A
A
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
5 X3
B
A
B
A
B
A
A
A
B
B
A
A
B
B
B
B
B
6 X3
B
B
A
B
B
A
A
B
B
B
B
B
B
B
B
B
A
7 X3
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
A
B
B
B
B
B
8 X3
B
A
B
B
B
B
A
A
B
A
B
B
B
B
B
A
B
9 X3
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
A
B
A
A
B
A
10 X3
B
B
A
B
B
B
B
B
B
B
A
B
B
B
B
B
A
11 X3
B
B
A
B
B
A
B
B
A
B
B
B
B
B
A
B
B
12 X3
B
A
B
B
A
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
13 X3
B
B
A
B
B
B
A
B
B
A
B
B
B
B
A
B
B
14 X3
B
B
B
A
B
B
A
A
B
B
B
A
A
B
B
B
B
15 X3
B
B
B
B
B
B
A
B
B
A
B
A
B
B
B
B
B
16 X3
B
B
B
B
B
B
A
B
B
B
B
A
B
B
B
B
B
17 X3
B
A
A
A
B
B
A
A
B
B
B
B
B
A
B
B
A
18 X3
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
A
B
B
B
B
B
19 X3
B
A
A
B
B
A
A
A
B
B
B
B
B
B
B
B
B
20 X3
B
A
A
A
B
B
A
A
B
B
A
B
B
A
B
B
A
21 X3
B
B
A
B
B
B
A
B
B
B
B
A
A
A
B
B
B
22 X3
B
B
B
B
B
B
A
A
B
B
A
A
B
B
B
B
B
23 X3
B
B
B
B
A
B
B
A
B
B
A
A
B
B
B
B
B
24 X3
B
A
B
B
A
B
A
B
A
B
B
A
B
B
A
B
B
25 X3
B
A
B
B
B
B
A
B
A
B
A
A
B
A
B
B
B
26 X3
B
A
A
A
B
B
A
A
B
B
A
B
B
A
B
B
A
27 X3
B
A
B
B
B
B
B
B
B
B
A
A
B
A
B
B
A
28 X3
B
B
B
B
A
B
A
B
B
B
B
A
B
B
A
B
A
29 X3
B
A
A
A
A
B
A
A
B
B
A
B
B
B
B
B
A
30 X3
B
B
B
B
A
B
B
A
B
B
B
B
B
B
B
B
A
31 X3
B
B
B
B
B
B
A
A
B
B
B
B
B
B
B
B
B
32 X3
B
B
B
B
B
B
A
A
B
A
B
A
B
B
B
B
A
33 X3
B
B
B
B
B
B
A
A
A
B
A
B
B
B
A
B
A
34 X3
B
B
B
B
A
B
A
A
B
B
B
B
B
B
B
B
B
35 X3
B
B
B
A
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
A
B
B
36 X3
B
B
B
B
B
B
A
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
37 X3
B
B
B
B
A
B
B
A
B
B
A
B
B
B
A
B
B
38 X3
B
B
B
B
B
B
A
B
B
B
B
A
A
A
B
B
B
39 X3
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
A
B
B
B
40 X3
B
B
B
B
B
A
A
A
B
B
B
B
B
B
A
B
B
Jumlah A
2
11
11
8
9
7
26
18
5
4
12
17
3
10
10
1
13
B
38
29
30
32
31
33
13
22
35
36
28
23
37
30
30
39
27




Tabel 3 : Simpulan Analisis Kuisioner Percakapan Guru
Dalam %
Nomor Percakapan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0
11
12
13
14
15
16
17
A
5
27,5
25
20
22,5
17,5
65
45
12,5
10
30
42,5
7,5
25
25
2,5
32,5
B
95
72,5
75
80
77,5
82,5
35
55
87,5
90
70
57,5
92,5
75
75
97,5
67,5


Keterangan Tabel 2 dan 3 :

A = Menyetujui keefektifan percakapan yang tidak mengandung prinsip komunikasi ampuh QT.
B = Menyetujui keefektifan percakapan yang mengandung prinsip komunikasi ampuh QT.
1 – 4 = Percakapan yang mengandung kesan / citra.
5 – 9 = Percakapan yang inklusif.
10 – 14 = Percakapan yang inklusif dan spesifik.
15 – 17 = Percakapan yang mengarah pada fokus.

2.2 Alasan- Alasan Diterapkannya Empat Prinsip Komunikasi Ampuh Quantum Teaching untuk Menciptakan Komunikasi Efektif
2.2.1 Pentingnya Kesan
Mengapa kesan/citra itu penting dalam pembelajaran? Hal ini terkait dengan otak. Menurut teori otak triune (Meier, 2002:83), otak manusia terdiri dari tiga bagian: neokorteks, sistem limbik, dan otak reptil.
Neokorteks adalah topi otak, penutup yang melilit berupa zat berwarna kelabu yang merupakan 80-85% dari massa otak. Otak ini mempunyai banyak fungsi tingkat tinggi seperti berbahasa, berpikir abstrak, memecahkan masalah, merencanakan ke depan, bergerak dengan baik, dan berkreasi.
Sistem limbik adalah otak tengah yang memainkan peranan besar dalam hubungan manusia dan emosi. Ini adalah otak sosial dan emosional. Di otak ini juga terkandung sarana yang penting untuk ingatan jangka panjang.
Otak reptil adalah bagian otak paling sedehana. Tugas otak reptil adalah mempertahankan diri. Otak ini menguasai fungsi otomatis seperti degupan jantung dan sistem peredaran darah. Di sini adalah pusat perilaku naluriah dan reseptif yang cenderung mengikuti contoh dan rutinitas secara membuta dan ritualistis.
Kaitan citra dengan otak adalah bahwa belajar harus melibatkan fungsi limbik otak. Emosi (yang difungsikan oleh sistem limbik otak) dan akal sehat berpengaruh besar pada kualitas dan kuantitas belajar. Menurut teori Accelerated Learning bahwa tidak ada apapun yang dapat mempercepat pembelajaran selain rasa gembira (Meier, 2002:85). Citra negatif akan memperlambat belajar bahkan menghentikan sama sekali. Citra yang positif akan membuat pembelajar berada dalam keadaan santai dan terbuka. Mereka dapat “naik tingkat” ke area neokorteks. Jika citra negatif dan pembelajar merasa tertekan, mereka cenderung “turun tingkat” ke otak reptil dengan tujuan bukan untuk belajar melainkan untuk bertahan. Belajar jadi lambat atau bahkan terhenti.
Hal ini juga dibuktikan dari hasil survei di kelas X3 SMAN 3 Surabaya. Berdasarkan hasil
survei yang terdapat dalam tabel 3 , percakapan guru yang mengandung kesan/citra adalah nomor 1-4. Citra positif ditunjukkan b dan citra negatif ditunjukkan a. Tabel tersebut menunjukkan hal-hal sebagai berikut.
1. 95% Siswa memilih B karena percakapan 1(b) menimbulkan kesan positif yang memacu pembelajaran dan mengajak semua siswa untuk terlibat sungguh-sungguh dalam belajar. “Anak-anak, bagian ini paling menantang. Mari kita simak sungguh-sungguh supaya kalian betul-betul memahaminya.” Daripada percakapan “Anak-anak, bagian bab ini paling sulit dan membosankan. Jadi, kalian harus waspada kalau tidak mau gagal.” Percakapan ini menimbulkan kesan kesulitan, kebosanan, kewaspadaan, dan kegagalan.
2. 72,5% Siswa memilih percakapan B karena percakapan 2(b) menimbulkan kesan tantangan tetapi siswa mampu menguasainya. Menurut Cornegie (1993:190), tantangan merupakan satu cara sempurna untuk menarik manusia menjadi bersemangat. “Ini bagian yang paling menantang yang telah kalian kuasai sejauh ini.”Daripada “Sekarang kita sampai pada bagian tersulit pelajaran ini.”
3. 75% Siswa memilih percakapan B karena percakapan 3(b) menimbulkan kesan penasaran untuk menaklukkan tantangan dalam pelajaran tersebut. “Materi ini mengandung banyak tantangan.” Daripada percakapan “Materi ini paling sulit.” Percakapan ini menimbulkan kesan pelajaran sulit.
4. 80% Siswa memilih percakapan B karena percakapan 4(b) menimbulkan kesan memacu siswa untuk mengkaji kembali tugas rumah. “Marilah kita mulai dengan melihat kesenangan rumah kemarin. Silakan keluarkan, kemudian dioper kepada teman di sebelah kananmu,” (setelah mengumpulkan dan melihat hasil PR …)
Tampaknya kita perlu mengulang konsep kemarin dengan cepat. Ibu benar tidak?” (jeda). “Bagus. Keluarkan catatan kalian dan mari kita ulang dengan menggunakan contoh kemarin.”
Daripada percakapan
“Marilah kita mulai dengan melihat kesenangan rumah kemarin. Silakan keluarkan ,kemudian dioper kepada teman di sebelah kananmu,” (setelah mengumpulkan dan melihat hasil PR …) “Tampaknya kita perlu mengulang konsep kemarin dengan cepat. Ibu benar tidak?” (jeda). “Bagus. Keluarkan catatan kalian dan mari kita ulang dengan menggunakan contoh kemarin.”

2.2.2 Pentingnya Arahkan Fokus
Ilmuwan memperkirakan bahwa otak manusia menerima lebih dari 10.000 pecahan informasi setiap detik saat manusia terjaga (De Porter, 2000:120). Lalu bagaimana otak bekerja dan kaitannya dengan prinsip arahkan fokus? Prinsip arahkan fokus memanfaatkan kemampuan otak yang mampu memilih banyaknya input dan memusatkan perhatian otak. Otak memiliki kemampuan pemroresan –ganda. Setelah masuk ke otak, informasi indrawi diproses pada tingkat sadar atau tidak sadar. Informasi yang tidak dibutuhkan akan disimpan di bawah tidak sadar. Informasi yang mengarah pada fokus akan dibawa pada tingkat sadar dan melahirkan tindakan. Oleh karena itu, percakapan yang mengarahkan fokus ke pusat perhatian yang dimaksud dalam komunikasi akan menciptakan komunikasi yang efektif.
Hal ini dibuktikan hasil pengamatan percakapan guru dan reaksi siswa seperti dalam tabel 1. Percakapan yang fokus langsung pada hal yang dimaksud dalam komunikasi akan melahirkan tindakan siswa, misal pada nomor 3.
Terbukti juga hasil survei dalam tabel 3, untuk percakapan guru yang mengarah pada fokus nomor 5, 15, 16, 17. Percakapan mengarahkan pada fokus ditunjukkan B dan yang tidak mengarahkan pada fokus ditunjukkan A. Hasil tabel tersebut sebagai berikut.
1. 77,5% Siswa memilih percakapan B karena percakapan 5 (b) bersifat fokus membatasi waktu untuk menyelesaikan pekerjaan. “Marilah kita selesaikan pekerjaan itu dalam waktu lima belas menit. Setelah itu, kumpulkan di meja guru.” Daripada percakapan “Cepat selesaikan pekerjaan kalian. Saya menunggu untuk dikumpulkan.”
2. 75% Siswa memilih percakapan B karena percakapan 15 (b) menimbulkan kejelasan untuk melakukan tindakan yaitu mengerjakan PR. “Ingatlah, kerjakan PR kalian.”Daripada percakapan “Jangan lupa besok ulangan.”
3. 97,5% Siswa memilih percakapan B karena percakapan 16 (b) menimbulkan kejelasan untuk belajar nanti malam tentang materi ulangan besok. “Ingatlah, nanti malam kalian belajar materi argumentasi karena besok ulangan materi tersebut.” Daripada percakapan “Jangan lupa besok ulangan.”
4. 67,5% Siswa memilih percakapan B karena percakapan 17(b) menimbulkan kejelasan agar datang sepuluh menit sebelum pelajaran dimulai. “Datanglah sepuluh menit sebelum pelajaran dimulai.” Daripada percakapan “ Usahakan agar datang tidak terlambat.”


2.2.3. Pentingnya Inklusif
Memanfaatkan seluruh otak merupakan kunci untuk membuat belajar lebih cepat, lebih menarik, dan lebih efektif (Meier, 2002:84). Terkait dengan hal tersebut, belajar harus melibatkan fungsi sistem limbik. Pelibatan sistem limbik yang positif akan merangsang penggunaan fungsi otak naik tingkat ke area otak neokorteks yaitu otak belajar.
Seperti telah dijelaskan dalam 2.1.2.1 , sistem limbik adalah otak tengah yang memainkan peranan besar dalam hubungan manusia dan emosi. Oleh karena itu, pembelajaran harus bersifat sosial. Kerjasama di antara pelajar melibatkan lebih banyak daya otak keseluruhan dan meningkatkan kualitas dan kuantitas belajar. Agar tercipta lingkungan belajar yang penuh kerja sama, gunakan bahasa yang mengajak semua orang dan menciptakan kesan keterpaduan dan kesatuan.
Hal ini juga terbukti dari hasil survei dalam table 3, untuk percakapan guru yang bersifat inklusif nomor 6, 9, 10, 11, 13, 14. 82,5%, 87,5%, 90%, 70%, 92,5%, 75% siswa memilih percakapan B karena percakapan tersebut menimbulkan asosiasi positif yaitu mengajak dalam kebersamaan.
“Ingatlah, kerjakan PR kalian.”
“Kita akan mempelajari langkah-langkah ini!”
“Anak-anak, mari pahami keterangan saya ini.”
“Kita akan memperhatikan grafik halaman 134. Mari keluarkan buku kalian.”
“Kalian ingin mendapatkan nilai bagus? Ayo, kita bersungguh-sungguh belajar agar mendapat nilai lebih baik dari SKM.”
“Anak-anak, mari pusatkan perhatian kalian pada soal-soal ini. Hindari hal-hal yang dapat mengganggu konsentrasi kalian terhadap soal tersebut.”
Daripada percakapan:
“Yang harus kalian lakukan berikutnya adalah mengeluarkan pekerjaan rumah kemarin.”
“Ibu akan mengajarkan langkah-langkah ini!”
“Anak-anak, perhatikan!”
“Selanjutnya, Bapak ingin kalian mengeluarkan buku dan grafik pada halaman 134.”
“Kalian harus mendapatkan nilai yang lebih baik.”
“Anak-anak jangan mengobrol saja. Jangan ramai! Kerjakan soal-soal itu secepatnya.”

2.2.2 Pentingnya Spesifik
Berdasarkan tabel l percakapan nomor 2, 5, 9 bahwa semakin spesifk perkataan akan semakin memberikan kejelasan. Kejelasan melahirkan tindakan yang diinginkan dalam komunikasi. Kespesifikan dapat diciptakan dengan penggunaan kata-kata yang spesifik, menggunakan metafora(nomor 6), contoh visual (nomor 3), menyebut nama siswa (nomor 5. a).
Tabel 3 juga membuktikan bahwa kespesifikan menciptakan komunikasi efektif, seperti pada nomor percakapan 10 (b), 11 (b), 13 (b), 14 (b). Masing-masing 90%, 70%, 92,5%, dan 75% siswa memilih percakapan tersebut karena bersifat spesifik dan jelas.
“Anak-anak, mari pahami keterangan saya ini.”
“Kita akan memperhatikan grafik halaman 134. Mari keluarkan buku kalian.”
“Kalian ingin mendapatkan nilai bagus? Ayo, kita bersungguh-sungguh belajar agar mendapat nilai lebih baik dari SKM.”
“Anak-anak, mari pusatkan perhatian kalian pada soal-soal ini. Hindari hal-hal yang dapat mengganggu konsentrasi kalian terhadap soal tersebut.”
Daripada percakapan:
“Anak-anak, perhatikan!”
“Selanjutnya, Bapak ingin kalian mengeluarkan buku dan grafik pada halaman 134.”
“Kalian harus mendapatkan nilai yang lebih baik.”
“Anak-anak, jangan mengobrol saja. Jangan ramai. Kerjakan soal-soal itu secepatnya.”




BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
3.1.3 Penerapan Empat Prinsip Komunikasi Ampuh Quantum Teaching untuk Menciptakan Komunikasi Efektif antara Guru dan Siswa di Kelas X3 SMAN 3 Surabaya
Penerapannya sebagai berikut.
Untuk menimbulkan kesan/citra positif yang dapat memacu pembelajaran dapat dilakukan dengan menggunakan percakapan yang mendukung pembelajaran (misal, kemudahan, keasyikan, kemanfaatan dan sebagainya), menciptakan kesan tantangan, penasaran, dan kemampuan untuk mengkaji kembali suatu kesalahan.
Untuk mengarahkan fokus dapat dilakukan dengan penggunaan percakapan yang langsung mengarah pada fokus yang dituju dalam tujuan komunikasi tersebut. Semakin fokus percakapan akan melahirkan kejelasan. Semakin jelas komunikasi akan melahirkan tindakan.
Untuk menciptakan percakapan yang inklusif dapat dilakukan dengan menggunakan kata-kata yang mengajak dalam kebersamaan dan menimbulkan asosiasi positif, misalnya dengan menggunakan kata “mari” dan “kita”.
Untuk menciptakan percakapan yang spesifik dapat dilakukan dengan menghindari kata-kata yang berkesan umum/general tetapi dengan kata-kata yang lebih spesifik mengarah pada kejelasan sebagaimana yang dimaksud dalam komunikasi. Kespesifikan akan membawa kejelasan. Kejelasan mendorong lahirnya tindakan.


3.1.4 Alasan-Alasan Diterapkannya Empat Prinsip Komunikasi Ampuh Quantum Teaching untuk Menciptakan Komunikasi Efektif antara Guru dan Siswa di Kelas X3 SMAN 3 Surabaya
Terkait dengan teori otak bahwa belajar harus melibatkan fungsi sistem limbik otak. Sistem ini berfungsi mengatur emosi dan sosial. Jika pembelajaran melibatkan emosi positif dan kerja sama yang baik hal ini akan melibatkan lebih banyak daya otak keseluruhan, meningkatkan kualitas dan kuantitas belajar.
Menghindarai kesalahan dalam komunikasi akibat generalisasi dan terbukanya asosiasi yang luas.
Melahirkan tindakan sikap/perilaku siswa yang dapat mendukung proses pembelajaran.
Meningkatkan hasil belajar siswa,

3.2 Saran
Guru dalam pembelajaran di kelas diharapkan menerapkan empat prinsip komunikasi ampuh Quantum Teaching agar :
a. tercipta komunikasi yang efektif antara guru dan siswa di kelas;
b. memperbaiki interaksi guru dan siswa di kelas;
c. mendukung dan meningkatkan hasil belajar-mengajar.
Pengembangan/modifikasi untuk prinsip-prinsip komunikasi ampuh Quantum Teaching tersebut disesuaikan dengan kondisi kelas masing-masing.









DAFTAR PUSTAKA


Cornegie, Dale. 1993. Bagaimana Mencari Kawan dan Mempengaruhi Orang lain. Jakarta: Binarupa
Aksara.
Daniar, Sudarwan. 2007. Metode Penelitian untuk Ilmu-Ilmu Perilaku. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Darmawan, Didit. 2006. Komunikasi dan Presentasi. Surabaya: Mahardika.
Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
De Porter, Bobbi. 2000. Quantum Teaching:Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-Ruang Kelas.
Bandung: Kaifa.
Ludlow, Ron & Fergus Panton. 1996. The Essence of Effective Communication Komunikasi Efektif.Yogyakarta: Andi.
Meier, Dave. 2002. The Accelereted Learning Hand Book. Bandung: Kaifa.
Ndraha, Taliziduhu. 1981 . Research (Teori Metodologi Administrasi). Jakarta: Bina Aksara.
Rachmadi, F. 1994. Public Relation dalam Teori dan Praktik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Suharsimi, Arikunto. 1989. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan. Jakarta: Bina Aksara.