Minggu, 25 April 2010

Cerpan "Pertemuan Rahasia"

Cerpen
Pertemuan Rahasia
Karya Risa Rahayu
Guru SMAN 3 Surabaya


Senja selepas shalat ashar, aku menunggu kedatangan suamiku di teras. Mbok Ijah, rewangku, sedang mengajak Rino dan Rina berjalan-jalan. Dua bocah kakak beradik yang menjadi biji mataku.
Suara mobil tepat berhenti di depan pagar rumah. Keasyikanku membaca majalah kesayanganku buyar. Kupikir itu mobil suamiku. Aku bergegas menyambutnya. Kuintip lewat pintu pagar. Ternyata, bukan mobil suamiku. Tanpa melihat yang ada di mobil, aku segera membalikkan tubuh.
Baru empat langkah aku berjalan, terdengar suara tapak sepatu menuju ke arah pagar rumahku. Seketika itu kuurungkan niatku masuk rumah. Aku berbalik lagi. Aku berpikir, si empunya sepatu tentu pengendara mobil putih yang berhenti di depan pagar rumahku.
Dugaanku tak meleset. Sosok laki-laki bertubuh tegap, berpakaian rapi, dan berkaca mata hitam berdiri di depanku. Ia tersenyum dan berkata, “Selamat sore.”
“Selamat sore,” jawabku singkat sambil membukakan pintu pagar.
“Apakah benar ini rumah Nyonya Joko Pramono?”
“Ya, silakan masuk!”
Aku sedikit penasaran. Siapa laki-laki ini? Kulirik ia yang sedang berjalan di sampingku. Kaca mata hitamnya tak juga dilepas. Tiba-tiba aku merasa khawatir. Jangan-jangan …. Mengapa aku langsung menyuruhnya masuk, ya? Aku menyesal dengan keputusanku untuk langsung menyuruhnya masuk. Kuhentikaan langkahku dan kutanya maksud kedatangannya.
“Maaf, Anda siapa, ya?” tanyaku sambil menghentikan langkah.
“Saya teman kost Nyonya ketika di Jalan Mawar.”
Kuamati wajah itu sambil mengingat masa laluku. Tapi, tidak ada tanda kenanganku di gurat wajahnya.
“Boleh saya duduk, Nyonya?” tanyanya seolah-olah tahu gelisah hatiku.
“Silakan duduk!” kataku dengan hormat ketika sampai di teras.
Laki-laki itu pun duduk tepat di depanku. Saat itulah ia membuka kaca mata hitamnya. Seketika itu darahku berdesir. Jantungku berdegup cepat. Wajah itu mengingatkanku peristiwa sepuluh tahun yang lalu.
Apakah laki-laki yang duduk di depanku sekarang adalah…, ah tidak. Tidak mungkin bahwa itu … . Aku segera menguasai diriku.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku untuk menyembunyikan kegelisahanku
“Saya yakin kau mengenalku, Ayu?”
Ayu, … dia memanggil namaku. Sebuah panggilan lama yang sudah lama tak pernah kudengar. Hanya seorang yang memanggil “Ayu”. Ya, hanya seorang. Dia pasti …
“Bram”. Tanpa kusadari, apa yang tersimpan di hatiku keluar lewat mulut.
“Benar, kau Bram?” tanyaku untuk menepis ragu.
“Ya, aku Bramana Adicahya”, tegasnya . Ia tertawa senang menyambut ingatanku.
Sebersit ragu masih berkelebat di hatiku. Kuselidiki wajah itu. Mengapa banyak berubah? Apakah waktu sepuluh tahun mampu merubah wajah seseorang hingga aku tak mengenalinya sama sekali? Seharusnya, aku pasti mengingatnya. Bukankah ia …. Ah, aku tak mau mengingat hal itu lagi.
Aku mencoba mencari tanda khusus di badannya. Aha, aku ingat! Di punggung tangan kanannya, ada tahi lalat besar, nyaris seperti tompel. Pas sekali! Punggung tangan kanan itu, kebetulan menghadap aku. Tangan kanannya memegang dengkulnya. Di punggung telapak tangan itu, masih ada tahi lalat yang mirip tompel. Kini aku yakin. Ia betul-betul Bram.
“Ah, kenapa tidak dari tadi kau katakan, Bram. Kau membuat aku penasaran. Panggil nyonya segala.”
“Bagaimana kabarmu?”
“Baik, seperti yang kau lihat.”
“Ya, kau tampak bugar.Rupanya kau bahagia.”
“Oh, so pasti “ jawabku agak sombong.
“Mulai dari pintu pagar, aku sudah tertawa dalam hati. Aku yakin, kau pasti lupa.”
“Ya, kau banyak berubah. Perutmu agak buncit,” kataku sambil memandang perutnya. “Sekarang, kau berkumis, tidak seperti dulu.” “Sebagian wajahmu berubah,” kataku sambil membetulkan letak kaca mata minusku. Kemudian, lanjutku “Dari mana kau tahu aku tinggal di sini? Dari mana pula kau tahu kalau namaku sekarang Nyonya Joko Pramono?”
Ia hanya tersenyum menanggapi pertanyaanku. “Kok sepi rumah ini? Kau belum punya anak?”
“Anakku dua. Yang sulung laki-laki. Adiknya perempuan. Mereka sedang jalan-jalan dengan pembantuku.”



“Suamimu?”
“Dia dinas ke luar kota, ke Pasuruan.”
“Jadi, kau sendirian sekarang?”
“Ya, begitulah”, kataku sambil beranjak dari tempat dudukku. “Sebentar, aku buatkan minum”.
Aku betul-betul penasaran dengan kedatangan Bram yang tiba-tiba. Kenapa dia datang? Apakah dia ingin …
Peristiwa itu terjadi sepuluh tahun yang lalu. Sekarang aku sudah punya suami dan anak.
“Sebaiknya, aku merahasiakan hal ini kepada, Bram,” kataku dalam hati ketika mengingat peristiwa lama itu. Dia tidak boleh tahu.
“Bagaimana kabar istrimu, Asri?” tanyaku ketika meletakkan sirup di meja.
Dia tidak segera menjawab. Tapi, menatapku dengan pandangan sedih.
“Dia sudah meninggal”, jawabnya pendek.
Aku terkejut dengan jawabannya. “Maafkan aku, Bram. Aku ikut berduka,” kataku berempati.
“Tak apa, terima kasih.”
Rona wajahnya berubah cerah ketika melihat perubahan wajahku yang seperti orang bersalah. Lalu kami terdiam beberapa detik.
“Minum, Bram!”
“Ya, terima kasih.”
Tiba-tiba aku merasakan suasana kaku. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Sementara, hatiku berkecamuk rasa gelisah, khawatir, dan entah apa lagi. Mungkin rasa penasaran.
“Oh ya, ada berita duka untukmu.”
“Berita duka?” Dahiku berkerut. “Berita duka apa?” tanyaku serius.
“Tantri meninggal dunia.”
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Kapan dan mengapa dia meninggal?” tanyaku kaget.
“Dua minggu yang lalu. Tepatnya hari Rabu 7 Februari, jam empat pagi di rumah sakit Saiful Anwar, Malang.” Ia menelan ludah sambil mengangkat kaki kirinya kemudian meletakkan di atas paha kanaannya.”
Tantri Rusnawati, sahabat lamaku meninggal. Ia teman satu kamar ketika kami masih kuliah dulu. Dia wanita yang baik, cantik, dan berbudi pekerti. Kami satu fakultas, yaitu fakultas ekonomi. Hanya beda jurusan, Tantri jurusan management dan aku akuntansi. Dialah teman dalam suka dan duka
Oh Tantri, hanya kau yang mengerti tentang diriku dan penderitaanku waktu itu. Tanpa kusadari, mataku mulai berkaca-kaca. Aku ingat kebaikannya ketika aku mengalami masa-masa sulit dahulu. Aku menyesal, mengapa baru tahu berita duka ini. Sahabat macam apa aku ini. Sahabat yang belum bisa membalas kebaikannya.
“Kenapa dia meninggal?” tanyaku sambil menyesali kebodohanku.
“Karena kanker. Kanker leher rahim.”
“Kanker leher rahim?” tanyaku heran.
Dua tahun yang lalu, aku bertemu dia. Tantri tampak bugar dan sehat. Bahkan berencana menikah tiga bulan yang akan datang. Ia berjanji akan mengundang aku dan suamiku. Kutunggu-tunggu undangannya tak juga datang.
“Kau tak bercanda, Bram?” tanyaku memastikan.
“Aku serius, Yu. Bahkan aku ikut menangani operasinya.”
Aku bertambah heran. “Dua tahun yang lalu, aku bertemu Tantri. Katanya, kau dinas di Bandung.”
“Ya, itu dulu. Tapi. Sejak dua tahun lalu, aku dipindahkan di Malang. Tantri sendiri tidak tahu kalau aku ada di Malang.”
“Apakah dia sudah menikah?”
“Sudah.”
“Kapan?”
“Kapan ya? Aku lupa. Dia pernah kok bercerita.”
“Dengan siapa?”
“Orang Malang. Tebak, siapa dia?”
“Aku nggak tahu,” kataku karena malas mikir.
“Kau pasti terkejut. Ingat enggak, laki-laki yang kost di depan rumah kost-kostanmu?”
“Ya, ingat. Tapi yang mana? Yang kost kan banyak, Bram.”
“Yang paling tinggi, berkumis, dan bervespa.”
“Rudi Sutopo.”
“Ya, betul. Mulanya, aku tak percaya kalau dia menikah dengan Rudi. Aku baru percaya ketika bertemu Rudi di rumah sakit. Di rumah sakit itulah kami bereuni.”
“Kankernya stadium berapa, Bram”
“Stadium dua. Sudah beberapa kali dikemoterapi. Hasilnya sudah mengering. Kemudian, dia menjalani operasi pengangkatan rahim. Ia meninggal satu hari setelah menjalani operasi.”
“Dia sudah punya anak?”
“Belum. Dia sebenarnya ingin punya anak secepatnya. Tapi sayang, kinginannya tidak terkabul..”
Bram lalu menghela nafas panjang. Ia mengeluarkan sebungkus rokok dan korek api. Merk rokok yang sama dengan sepuluh tahun yang lalu. Rupanya, rokok favorit Bram masih sama dengan sepuluh tahun yang lalu. Ia menyalakan sebatang rokok. Dihisapnya rokok itu dalam-dalam. Kemudian, dikeluarkannya pelan-pelan.
“Kamu masih merokok, Bram?” lanjutku “Aku kira, setelah menjadi dokter kebiasaan tidak sehatmu itu akan pulih.”
“Dunia ini memang aneh,” katanya seolah tidak perduli dengan omonganku tadi. “Di satu sisi, ada orang yang sangat mendambakan anak. Di sisi lain, ada orang yang justru tidak menginginkan kehadiran anak yang dikandungnya,” katanya dengan mata menerawang jauh.
Blak! Kata-kata Bram seperti menampar mukaku. Hatiku juga terasa perih seperti tertusuk belati tajam.
“Apa maksudmu?” tanyaku ketus. Aku sangat tersinggung dengan kata-kata Bram.
“Ayu, aku datang ke sini untuk memenuhi pesan Tantri sebelum meninggal.. Ia menginginkan agar aku menemuimu. Ia juga memberikan buku harianmu padaku.”
Aku kaget. Tak kuduga Bram berkata demikian. Dalam buku harian itu, terdapat rahasia yang selama ini kusimpan. Kalau toh ada orang yang tahu, hanya Tantrilah.
Tak kusangka bahwa Tantri benar-benar memenuhi janjinya padaku sepuluh tahun yang lalu. Demi aku, dia akan mencari Bram. Dia akan memberikan buku harianku kepada Bram.
Buku harianku yang diminta Tantri sebelum aku meninggalkan kost-kostanku. Kini, ada di tangan Bram. Tantri memenuhi janjinya. Hingga detik akhir usianya, ia masih ingat janji itu. Betapa tulus dan setianya Tantri. Diam-diam aku berkirim doa sebagai ucapan terima kasihku kepada Tantri.
Kutatap wajah Bram. Laki-laki yang pernah aku cintai. Laki-laki yang pernah kuharapkan menjadi pendamping hidupku. Laki-laki yang pernah memberikan cinta dan harapan padaku. Sunggguh perih hati ini jika mengingat itu semua.
“Kenapa kau tidak mengatakan semua itu padaku, Ayu? Kenapa? Bukankah aku orang yang paling berhak mengetahui?”
“Berhak katamu?” tanyaku dengan nada marah.
Tiba-tiba bibirku bergetar dan tumpahlah air mataku. Air mata yang sama, sepuluh tahun yang lalu. Bedanya, Dulu aku menangis di hadapan Tantri. Sekarang, aku menangis di hadapan Bram.
Segala rasa berkecamuk di hatiku. Perasaan marah, kecewa, terhina, dibodohi, penyesalan, dan kegagalan serta rasa berdosa berbaur jadi satu. Perasaan yang sama seperti sepuluh tahun yang lalu.

“Kau memang laki-laki pengecut. Laki-laki tak bertanggung jawab!” tatapku nanar pada Bram.
Meskipun masih terisak, aku bermaksud mendamprat laki-laki itu habis-habisan.
“Aku tidak tahu kalau kau hamil, Ayu!” belanya.
“Bodoh sekali kau, Bram. Kau tak pantas menjadi dokter. Kehamilan itu selalu menjadi resiko bagi pasangan yang melakukan hubungan intim,” tegasku.
“Lalu kemana saja kau setelah semua yang pernah kita lakukan? Kau anggap apa aku ini? Pelacur?”
“Ayu!” sela Bram. Aku tidak pernah menganggapmu demikian. Aku sangat mencintai dan menyanyangimu. Kau ingat, hubungan yang kita lakukan atas dasar cinta. Kau waktu itu adalah kekasihku.”
“Kekasih dalam tipuan” kataku dengan sengit.
“Tidak, Ayu.”
“Kalau aku kekasihmu, seharusnya kau memenuhi janjimu untuk segera melamarku. Tapi, kau justru menghilang. Tidak ada kabar sama sekali. Kau meninggalkanku dan membiarkan aku menanggung dosa dan penyesalan. Terlebih-lebih, menanggung malu.”
Bram terdiam. Ada gurat penyesalan di kerut keningnya. Aku melihat matanya berkaca-kaca. Ia segera menyeka air mata itu sebelum bergulir di pipinya.
“Di mana anakku sekarang, Ayu?”
“Kuangkat wajahku demi mendengar pertanyaan Bram. Sekali lagi kutatap tajam wajah itu. Wajah laki-laki yang telah menebarkan benih dalam rahimku sepuluh tahun yang lalu.
Bram berdiri dan beranjak duduk di sampingku. Tiba-tiba aku merasa jijik dengan laki-laki itu. Di mana perasaanku yang dulu kepada Bram? Apakah sudah hilang? Hilang digerus rasa sakit hatiku padanya.
Diam-diam, aku membandingkan parasaanku ini terhadap Mas Pram, suamiku. Sungguh bertolak belakang. Aku merasa bahwa Mas Pram satu-satunya lelaki sejati untukku.
“Di mana anakku, Ayu?” tanyanya membuyarkan pikiranku.
“Anakmu?” nadaku mencemooh. “Baru sadar kau, Bram kalau punya anak.”
“Ayu, aku minta maaf. Aku bersalah. Aku mengakui semua itu kesalahanku.”
“Sepuluh tahun yang lalu, kau meninggalkan aku, Bram. Kau meninggalkan aku dalam keadaan hamil. Kau pikir, aku sanggup menanggung itu semua sendiri?”
Sebuah kemarahanku yang sudah basi. Kemarahan yang kusimpan selama sepuluh tahun.
“Ayu, aku ingin menebus kesalahanku. Aku ingin hidup dengan anakku.” Ia berucap dengan nada memelas.
“Kau tidak lagi dapat memiliki anak itu. Ada yang lebih berhak untuk memilikinya.” Aku berkata dengan nada tinggi.
“Apakah anakku ada di antara kedua anak yang kausebutkan tadi?” tanya Bram penuh selidik.
Aku tidak segera menjawab. Kubiarkan dia dengan segala pikiran-pikirannya. Biarkan saja dia berpikir dan bertanya-tanya. Itu semua sebagai hukuman bagi kepengecutannya.
“Ayu, betulkah dugaanku?”
“Dia kini sudah berumur sembilan tahun, Bram,” jawabku mempermainkan pikirannya. “Kau tebak sendiri jenis kelaminnya. Kau bayangkan sendiri wajahnya dan sosok tubuhnya. Yang jelas, dia tidak mirip kamu. Apalagi berjiwa pengecut sepertimu,” cemoohku padanya.
Aku sudah tidak peduli lagi dengan sopan santun dan tata krama. Setiap ada kesempatan untuk mendamprat Bram, aku ambil kesempatan itu. Kudamprat dia dengan semauku. Sesukaku dan semau kata loncat dari mulutku.
Bram tertunduk lesu. Seolah pesakitan yang divonis hukuman mati. Tidak ada pembelaan apapun. Ia menyerahkan nasibnya pada aku, jaksa penuntut umum.
“Ijinkan aku, mengenal anakku?” pintanya sekali lagi.
“ Mintalah ijin kepada Allah,” jawabku sambil berkacak pinggang.
Setelah mengucapkan kata-kata itu, ada perasaan kehilangan yang amat dalam di hatiku. Ketakutan yang kini selalu menghantuiku. Ketidaksanggupanku berpisah dengan anakku.
Aku merasakan geletar kehilangan itu lagi. Geletar itu menyeruak keluar dari dalam dada hingga hanya tangis yang sanggup kulakukan. Aku menangis untuk hal yang sama. Sepuluh tahun yang lalu, aku menangis di hadapan dokter kandungan. Sakit perutku ketika dikuret masih bisa kutahan. Tapi, sedih hatiku kehilangan anakku tidak dapat kutahan lagi. Tidak ada kesedihan yang melebihi kesedihan seorang ibu kehilangan anaknya.
Sebuah tangisan panjang yang harus kusimpan sendiri selama sepuluh tahun. Kini tangisan itu tumpah lagi di hadapan ayah janin itu.
“Dia meninggal dalam kandungan,” kataku terisak. Isak penyesalan karena kecerobohanku yang tidak bisa menjaga titipan Allah di perutku. Tapi di akal sehatku, aku merasa bersyukur bahwa akhirnya Allah berkenan untuk mengambil jabang bayi yang hendak dititipkan-Nya padaku. Allah lebih tahu, apa yang terbaik bagiku dan bagi anakku. Aku juga bersyukur bahwa Allah memberiku kesempatan untuk bertobat dan membangun hidupku kembali.
“Kau gugurkan?” tanya Bram.
“Aku bukan pengecut sepertimu,” jawabku tersinggung.

Terbayang dalam ingatanku sepuluh tahun yang lalu. Meskipun semua itu berat bagiku, aku tetap bertekad mempertahankan janin itu. Bahkan aku bermaksud akan menjadi single parent jika bayi itu lahir. Tidak pernah terlintas di benakku untuk menggugurkannya. Aku akan melakukan dosa yang kedua jika menggugurkan janin itu, pikirku waktu itu. Aku bahkan sudah menyiapkan skenario jika keluarga besarku tahu. Aku akan tetap hidup bersama anakku tanpa membebani keluarga besarku. Aku siap menanggung resiko kesalahanku, tekadku waktu itu.
“Aku mengalami keguguran ketika janin berusia tiga bulan. Aku kecapaian. Di tengah cobaan berat yang aku alami, aku tetap berusaha menyelesaikan skripsiku. Aku tidak ingin mengecewakan keluargaku untuk yang kedua kalinya. Aku bertekad harus lulus tepat waktu. Tapi aku juga harus bekerja untuk membiayai persalinanku. Aku tidak ingin keluargaku tahu kalau aku hamil di luar nikah. Aku tidak memberitahukan keluargaku. Aku bekerja siang hingga malam. Aku bekerja menjadi guru privat di tiga keluarga. Aku memberikan les privat semua pelajaran untuk siswa SD. Setiap hari aku mendatangi tiga keluarga tersebut secara bergiliran. Jarak rumah ketiga keluarga itu berjauhan. Aku tempuh dengan sepeda motor. Aku kecapaian. Tidak hanya capai fisik, tapi juga pikiran karena harus konsentrasi ke skripsi. Mentalku juga capai, Bram.”
Bram meneteskan air mata mendengar ceritaku. Tapi aku tidak peduli dengan air mata itu. Kuanggap dia yang telah menyebabkan aku kehilangan janin itu.
“Aku menglami pendarahan hebat sepulang memberikan les privat. Malam hari, jam sepuluh, ibu kost membawaku ke rumah sakit. Dokter mengatakan, janin itu tidak dapat dipertahankan. tidak ada pilihan lain, aku harus dikuret.”
“Andai kau memenuhi janjimu untuk segera menikahiku, aku tidak akan bekerja keras sendiri. Aku dan kamu tidak akan kehilangan bayi itu,” kataku dengan suara parau. Kemudian lanjutku, “Tapi, mungkin bayi itu sadar bahwa kelak jika lahir dia tidak akan berbapak.”
“Oh, …aku bapaknya, Ayu.”
“Bapak yang telah memilih menikah dengan wanita pilihan keluarganya? Bapak yang tidak punya pendirian? Bapak yang tidak punya nyali untuk mempertahankan cintanya kepada keluarganya?” Pertanyan bertubi-tubi yang kuderumkan pada Bram.
“Ayu, …”
“Bram, dengar baik-baik,” kataku sambil berdiri lalu bersandar pada jendela.
“Saat kutahu bahwa aku hamil, aku berkali-kali menghubungimu dengan datang ke rumahmu. Tapi, seluruh keluargamu selalu mengatakan bahwa kau tidak ada. Hingga Tantri mengabarkan padaku bahwa kau telah menikah dengan Asri, wanita pilihan ibumu, yang pernah kau ceritakan padaku.”

Bram menghela nafas panjang. Dari raut wajahnya kutahu bahwa dia sangat menyesal dan bersalah.
“ Maafkan aku, Ayu. Itu semua kesalahannku. Aku tidak punya nyali untuk memutuskanmu. Terlebih-lebih mengabarkan hal itu kepadamu.”
“Kau tidak hanya tidak punya nyali untukku. Tapi, juga tak bernyali berhadapan dengan ibumu sebagai tanggung jawab perbuatanmu, “ selaku.
“Aku mendapat tuntutan dari keluarga besar ibuku. Antara aku dan Asri, masih ada hubungan keluarga. Orang tua Asri dan orang tuaku telah menjodohkan kami. Aku tidak bisa mengelak karena ibuku sakit jantung dan komplikasi penyakit yang lain. Nyawa ibuku di ujung tanduk ketika menikahkanku.”
Aku masih tidak bisa menerima pembelaan Bram. Tapi aku juga merasa bahwa segalanya telah berlalu. Tidak ada gunanya diungkit lagi. Toh antara aku dan Bram sudah punya jalan hidup sendiri-sendiri.
“Bertahun-tahun aku mendambakan anak. Anak yang lahir dari benihku sendiri. Perkawinanku dengan Asri hampir retak gara-gara kami tidak punya anak. Dua tahun yang lalu, Asri minta cerai dengan alasan ia tidak bisa memberikan anak padaku. Dokter telah memvonis istriku bahwa rahimnya harus diangkat untuk menyelamatkan nyawanya akibat kecelakaan.”
“Kecelakaan?” tanyaku datar tanpa ekspresi. Aku jadi heran.
“Ya, kecelakaan yang mengakibatkan pendarahan yang sulit dihentikan. Pendarahan itu berasal dari sobeknya rahim Asri. Tidak hanya Asri yang menjadi korban , aku juga harus menjalani operasi plastik di wajahku.”
“Pantas aku tidak mengenalmu tadi, Bram” kataku di dalam hati.
Aku tidak lagi perduli dengan kehidupan Bram. Terlebih-lebih dengan nasib Asri. Aku tidak menaruh dendam dan sakit hati dengan wanita itu. Tapi, aku juga tidak merasa kasihan dan tidak perduli dengan nasib buruk yang dialaminya. Bagiku itu sudah lakon hidupnya. Toh aku juga pernah melakoni nasib buruk.
Bram tersenyum kecut, lalu ia melanjutkan.
“Satu tahun yang lalu, Asri meninggal dunia. Ia sangat menderita karena menyadari bahwa ia bukanlah wanita yang sempurna.”
Bram menghampiriku,” Aku dan Asri sudah menanggung semua kesalahanku padamu, maafkan aku, Ayu.”
Aku berpikir: bukankah karma telah menentukan jalannya sendiri. Ia telah menghunuskan pedangnya di hati orang yang ingin ia lukai.
“Sudahlah, Bram. Aku sudah menjelaskan kepadamu tentang anak kita. Kini, tidak ada lagi kenangan yang tersisa di antara kita. Kau tahu, aku sudah menemukan hidupku di antara Mas Pram dan kedua anak kami” kataku sambil melihat jam tangan di pergelangan kiriku.
“Maafkan aku jika aku harus menyuruhmu pulang. Sebentar lagi, anak-anakku dan suamiku pulang. Aku tidak ingin mereka mengenal kau. Aku juga tidak ingin, mereka mengenal aku seperti sepuluh tahun yang lalu.”
“Ayu, aku sungguh minta maaf padamu,” tegas Bram.
Jawabanku adalah melangkah menuju pagar dan membuka pagar lebar-lebar. Bram mengikuti langkahku. Ketika sampai di pintu pagar, aku berkata kepada Bram,” Bakar buku harianku itu Bram. Jangan pernah kembali untuk menemuiku lagi. Dan, jangan katakan apapun kepada anak dan suamiku,” kataku mantap.
Bram tidak menjawab dan segera membuka pintu mobil. Dengan cepat ia menyalakan mesinnya. Mobil itu pun melaju tanpa mengucapkan salam padaku.
Ketika mobil Bram menghilang di tikungan jalan, Rino dan Rina berlari menghampiriku. “Maama… teriak mereka berbarengan. Aku pun membuka kedua tanganku hendak memeluk mereka. Mereka berlomba memelukku. Kuraih erat dalam pelukanku. Kuciumi kedua bocah kesayanganku dan Mas Pram itu. Dalam hati aku berkata, aku tidak akan mengulang kesalahanku untuk yang kedua kalinya. Rumah tanggaku adalah sorgaku. Aku, suamiku, dan anakku adalah penghuni sorga nan indah itu. Aku akan menjaganya selamanya.
Pagar kututup. Aku berdoa semoga suami dan anak-anakku tidak pernah mengenal Bram dan mengetahui masa laluku sepuluh tahun yang lalu. Ini sebuah rahasiaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar