Minggu, 10 Oktober 2010

Apresiasi Sastra Indonesia dalam Pendidikan Karakter

Esai ini memenangkan juara I lomba esai Pendidikan Karakter yang diselenggarakan Dinas Pendidikan dan Himpsi Jawa Timur

Penulisan Esai Guru Kategori SMA

Pengajaran Apresiasi Sastra Indonesia dalam Pendidikan Karakter
Oleh : Risa Rahayu, S.Pd.
Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMAN 3 Surabaya

Pendidikan Karakter
Konsep pendidikan karakter, pertama kali dicetuskan dalam pertemuan di Aspen Colorado tahun 1992. Pendidikan karakter (character education) didasarkan kenyataan bahwa Amerika mengalami kegagalan dalam pengelolaan moral anak didik. Kegagalan ini ditandai dengan demoralisasi yang semakin mengkhawatirkan. Semenjak itu, di AS diberlakukan pendidikan karakter sebagai solusi untuk mengatasi demoralisasi yang terjadi di negara tersebut.
Bagaimana halnya dengan fenomena demoralisasi di Indonesia? Pada tahun 1990-2000, ancaman teror, kekerasan dan konflik berdarah berlatar belakang etnik dan agama telah mengoyak kehidupan bangsa Indonesia. Begitu banyak orang kehilangan harta dan nyawa di Sampit, Aceh, Ambon, Papua, Jakarta, Banyuwangi, Bali dan berbagai daerah yang lain. Dunia pendidikan Indonesia juga tercoreng. Pada hari Senin, 3 November 2009, ratusan mahasiswa Universitas 45 Makasar terlibat tawuran dengan aksi lempar batu sesama mahasiswa. Tidak hanya itu, pada 17 November 2009 terjadi bentrok mahasiswa Universitas Muhammadiyah Makasar. Fenomena lain juga tampak di kalangan anggota dewan yang terhormat. Kita lihat bagaimana kalangan elit intelektual politik menyelesaikan masalah dalam sidang paripurna kasus Bank Century yang ditayangkan di media elektronik. Bagaimana mereka bersilang pendapat yang akhirnya berbuntut pada konflik yang anarkhis. Tidak hanya itu, kita lihat kasus Tanjung Priok. Warga sekitar bentrok dengan satpol PP. Kemarahan warga dipicu oleh adanya kebijakan penggusuran makam Mbah Priok dengan dalih untuk mempermudah akses jalan menuju ke terminal peti kemas. Satpol PP menjadi sasaran kemarahan warga karena merekalah yang mengamankan proses penggusuran tersebut. Korban tidak hanya menimpa warga sipil tetapi juga anggota satpol PP.
Tampaknya dari berbagai kasus yang ada di negeri ini, tindakan-tindakan anarkis untuk melampiaskan emosi dan ide tidak hanya terjadi di kalangan preman. Kalangan pelajar dan mahasiswa, elite intelektual politik, jajaran pemerintahan pun menggunakan cara-cara anarkis untuk melampiaskan emosi dan idenya. Sikap kekanak-kanakan yang tidak mengedepankan hati nurani dan akal pikiran yang jernih serta emosi yang mudah meledak karena provokasi telah menjadi mental bangsa Indonesia. Dulu, dengan bangga kita mengatakan sebagai negeri yang ramah; negeri yang penduduknya hidup di kepulauan nusantara yang indah laksana untaian zamrud di katulistiwa. Orang Jawa menyebutnya gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja (kaya raya tentram sentosa). Akan tetapi, sekarang kita hidup di negeri bak potongan “neraka” di katulistiwa. Colombijn dan Lindblad ( dalam Maliki, 2010:257) menyebut Indonesia is a violent country. Benarkah mental bangsa yang seperti ini merupakan produk kegagalan pendidikan di Indonesia? Benarkah pendidikan kita selama ini hanya mengedepankan aspek intelektual dan ranah kognisi tanpa menyentuh aspek moral, budi pekerti, akhlak, emosi, dan hati nurani atau ranah afeksi? Benarkah pendidikan kita selama ini tidak membangun karakter positif anak didik?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu tahu terlebih dahulu tentang pengertian pendidikan karakter dan konsep pendidikan nasional kita.
Dr. Thomas Lickona dalam bukunya Educating for Character (dalam http:// topatopeng.smamda.org/2009/09/21) mendefinisikan “pendidikan berkarakter adalah usaha sengaja untuk membantu orang memahami, peduli, dan bertindak berdasarkan nilai-nilai etika inti.” Ditegaskan pula bahwa jenis karakter yang diinginkan adalah anak didik bisa menilai apa yang benar, peduli secara mendalam tentang apa yang benar, dan kemudian melakukan apa yang mereka yakini untuk menjadi benar-- bahkan dalam menghadapi tekanan dari luar dan godaan dari dalam. Pendidikan berkarakter yang dikemukakan oleh Dr. Lickona menggambarkan proses perkembangan yang melibatkan pengetahuan, perasaan, dan tindakan. Guru harus terlibat dalam kegiatan anak didik dan membantu mereka berpikir kritis tentang moral dan etika. Guru harus dapat mengilhami mereka menjadi berkomitmen untuk tindakan moral dan etika serta memberi kesempatan kepada mereka untuk mempraktikkan perilaku moral dan etika.
Pendidikan nasional kita juga mengandung ruh pendidikan berkarakter. Dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal (1) ayat (2) disebutkan bahwa “Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD RI Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan zaman.” Dalam pasal (3) dikatakan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab.” Berdasarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional kita tersebut bahwa nilai-nilai etika inti – sebagaimana yang dikonsepkan oleh Dr. Lickona dalam pendidikan berkarakter -- yang ditanamkan kepada peserta didik dalam pendidikan kita adalah nilai-nilai yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, nilai-nilai agama, dan kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan zaman. Komitmen pendidikan berkarakter juga dipertegas dalam pasal (3) di atas. Bahkan secara eksplisit ditegaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak peradaban bangsa yang bermartabat. Jelas bahwa konsep pendidikan berkarakter juga terdapat dalam sistem pendidikan nasional kita.

Pengajaran Sastra dalam Pendidikan Karakter
Sastra adalah suatu bentuk tanda seni yang bermediakan bahasa. Sastra hadir untuk dibaca dan dipahami serta selanjutnya dimanfaatkan, antara lain untuk mengembangkan wawasan kehidupan. Oleh karena itu, pembelajaran sastra seharusnya ditekankan pada kenyataan bahwa sastra merupakan salah satu bentuk seni yang dapat diapresiasi. Pembelajaran sastra haruslah bersifat apresiatif (Kurikulum 2004 SMA, Pedoman Khusus Silabus dan Penilaian, Mata Pelajaran Bahasa dan sastra Indonesia).
Dari maksud pembelajaran sastra di atas, dapat diketahui bahwa muara akhir pengajaran sastra adalah terbinanya apresiasi dan kegemaran terhadap sastra yang didasari oleh pengetahuan dan keterampilan di bidang sastra.
S. Effendi (dalam Aminudin, 2004:35) mengatakan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga menumbuhkan pengertian penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan apresiasi dapat tumbuh dengan baik apabila pembaca mampu menumbuhkan rasa akrab dengan teks sastra yang diapresiasinya, menumbuhkan sikap sungguh-sungguh serta melaksanakan kegiatan apresiasi itu sebagai bagian dari hidupnya.
Pembelajaran apresiasi sastra merupakan bagian integral dari pembelajaran komponen pemahaman bahasa. Artinya, pembelajaran sastra terpusat pada pemahaman, penghayatan, dan penikmatan atas karya sastra. Prinsip-prinsip pembelajaran apresiasi sastra yang perlu diperhatikan sebagai berikut: (1) pembelajaran sastra dapat meningkatkan kepekaan rasa terhadap budaya bangsa, khususnya bidang keseniaan; (2) pembelajaran sastra memberikan kepuasan batin dan keterampilan pengajaran karya estetis melalui bahasa; (3) pembelajaran sastra bukan merupakan pengajaran sejarah sastra, aliran, dan teori tentang sastra; (4) pembelajaran sastra merupakan pembelajaran untuk memahami nilai kemanusiaan dari karya-karya tersebut.
Pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa mengapresiasi karya sastra. Kegiatan mengapresiasikan karya sastra berkaitan erat dengan pelatihan mempertajam perasaan, penalaran, dan daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup.
Berdasarkan atas prinsip-prinsip pengajaran sastra di atas dapat disimpulkan bahwa pengajaran sastra memberikan kontribusi yang positif terhadap pendidikan karakter. Dengan catatan, guru dalam mengajarkan sastra Indonesia harus tetap bermuara pada apresiasi sastra. Ratna (2003:235) mengatakan bahwa karya sastra memberikan sumbangan terhadap motivator pengalaman emosional dan intelektual dan sebagai motivator kesadaran sosial. Sumbangan karya sastra dalam dunia pendidikan meliputi dimensi-dimensi kemanusiaan sebagai pengalaman terbagi. Fungsi pengalaman tersebut tidak terbatas dalam skop etis estetis, filsafat religius, dan berbagai apresiasi yang lain, melainkan telah memasuki wilayah intelektual, termasuk logika, meskipun bukan dalam pengertian positivistik.
Jika kita perhatikan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dalam kaitannya dengan pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dengan memperhatikan muatan Kompetensi dasar untuk Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah –sebagaimana juga yang terdapat dalam Kurikulum 2004 SMA – untuk kemampuan bersastra dari kelas X sampai dengan Kelas XII terdapat 23 Kompetensi Dasar (KD) yang harus dimiliki oleh siswa. Dalam KD tersebut tersebar materi sastra yaitu puisi, cerita rakyat, cerita pendek, sastra melayu klasik, pementasan drama, novel, bermain drama, biografi, resensi, novel, gurindam, esai, dan kritik. Materi-materi tersebut tersebar dalam empat keterampilan berbahasa yaitu membaca, menulis, menyimak, berbicara. Kegiatan mempelajari materi-materi sastra tersebut harus tetap bermuara pada apresiasi sastra. Dalam mengapresiasi karya sastra, siswa harus membaca karya sastra yang asli, bukan sinopsisnya. Jika siswa hanya membaca sinopsis dan sama sekali tidak menggauli karya sastranya, malapetaka nasional dalam dunia pendidikan Indonesia (khususnya pelajaran sastra) akan terjadi. Ini juga yang menjadi faktor penyebab gagalnya pendidikan karakter karena implikasi pengajaran sastra dalam pendidikan karakter menuntut siswa untuk menggauli karya sastra.
Salah satu metode pengajaran apresiasi sastra yaitu strategi strata. Strategi strata terbukti menarik, menyenangkan, dan efektif , serta berkontribusi positif terhadap pendidikan karakter. Keunggulan strategi ini di antaranya adalah memungkinkannya diterapkan keempat aspek keterampilan berbahasa, yaitu membaca, menyimak, menulis, dan berbicara sekaligus dalam satu pembahasan genre karya sastra. Penerapan strategi strata terdiri dari tiga langkah pokok, yaitu penjelajahan, interpretasi, dan re-kreasi.
Dalam tahap penjelajahan, siswa melakukan penjelajahan terhadap cipta sastra. Penjelajahan dapat dilakukan dengan membaca, bertanya, mengamati/menyaksikan/mendengarkan pementasan, dan kegiatan lain yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman tentang cipta sastra yang sedang dijelajahinya. Jika dalam tahap penjelajahan kegiatan dilakukan dengan membaca, yang dibaca adalah karya sastranya dan bukan sinopsisnya. Jika yang diamati pementasan drama, yang diamati pementasan drama secara utuh dan bukan penggalannya. Dalam hal ini , guru dituntut untuk jeli dalam menentukan karya sastra yang harus dibaca atau ditonton/didengar oleh siswa. Guru harus pandai menentukan karya sastra yang baik, bermutu, dan layak dibaca peserta didik. Aspek keragaman tema, nilai-nilai estetika dan etika, budaya, moral, dan nilai-nilai humanisme yang lain menjadi bahan pertimbangan guru dalam menentukan karya sastra. Aspek-aspek tersebut penting karena hal-hal itulah yang hendak ditanamkan kepada peserta didik dalam pendidikan berkarakter melalui pengajaran sastra. Siswa diberi kesempatan untuk membaca atau menonton/mendengarkan karya-karya sastra sebanyak-banyaknya. Oleh karena itu, guru dapat menugaskan siswa dalam bentuk kelompok. Masing-masing kelompok mendapatkan tugas membaca atau menonton karya sastra yang berbeda. Semakin bervariasi karya sastra yang digauli siswa, semakin luaslah khazanah pengetahuan dan pemahaman siswa tentang kehidupan. Guru dapat membagi kelompok berdasarkan tipe siswa. Siswa bertipe visual dan gemar membaca dapat berkelompok sendiri untuk menggauli karya sastra dengan membaca. Siswa bertipe visual dan gemar menonton dapat menggauli karya sastra dengan menonton pementasan karya sastra, baik secara langsung, ataupun melalui media elektronik. Siswa auditori dapat menggauli karya sastra dengan mendengarkan kaset pementasan drama. Guru dapat memberikan kelonggaran kepada siswa sesuai dengan kemampuan dasar yang dimilikinya untuk menggauli karya sastra. Beberapa karya sastra, baik dalam bentuk buku ataupun rekaman dapat menjadi alternatif bahan pembelajaran. Memang dibutuhkan waktu yang cukup untuk menggauli karya sastra. Oleh karena itu, kegiatan ini dapat diberikan dalam bentuk penugasan di rumah secara berkelompok.
Setelah penjelajahan, dilakukan kegiatan penafsiran cipta sastra yang dijelajahi melalui kegiatan interpretasi. Di sinilah terjadi proses penafsiran karya sastra yang telah dibaca atau ditonton/didengar. Siswa mendiskusikan karya sastra tersebut dengan menggali nilai-nilai estetika, budaya, moral, dan berbagai nilai-nilai humanisme yang terdapat dalam karya sastra. Unsur- unsur psikologis yang terdapat dalam diri tokoh dan motif-motif yang mendasari perbuatan tokoh pun diulas dalam tahapan ini. Guru bertindak sebagai motivator dan moderator dalam diskusi. Jawaban salah dan benar tidak berlaku karena yang penting dari jawaban itu adalah alasan yang mendasari jawaban. Dari karya sastra yang telah dibaca atau ditonton oleh siswa itulah, guru menanamkan nilai-nilai moral, estetika dan etika, budaya, dan nilai-nilai humanisme yang lain kepada siswa. Guru dapat menyentuh hati nurani siswa melalui perasaan simpati dan empati kepada tokoh-tokoh protagonis. Kepada tokoh antogonis pun guru dapat menyentuh hati nurani siswa dengan mengajak memahami aspek psikis dan motif-motif tokoh berbuat jahat. Tokoh-tokoh protagonis dapat menjadi motivator untuk cermin diri dan teladan. Sementara itu, terhadap tokoh yang antagonis pun dapat dipakai sebagai cermin diri dan wahana berpikir kritis dalam menghadapi tokoh seperti itu yang terdapat dalam masyarakat. Nilai-nilai budaya yang terdapat dalam karya sastra tidak hanya berfungsi sebagai pengetahuan bagi siswa tetapi yang terpenting adalah memberikan kontribusi terhadap pembentukan karakter atau watak siswa. Di sinilah diperlukan keterampilan dan keprofesionalan guru dalam menanamkan nilai-nilai positif yang terdapat dalam karya sastra kepada peserta didik. Dalam tahapan inilah proses pendidikan berkarakter dalam pengajaran apresiasi sastra Indonesia berlangsung.
Setelah tahapan interpretasi adalah tahapan re-kreasi. Tahapan ini adalah tahapan pendalaman terhadap karya sastra yang telah dibaca atau ditonton. Siswa dapat mengkreasikan kembali yang telah dipahaminya dengan jalan menukar peran pengarang, misalnya penulisan kembali bagian tertentu dari sudut pandang salah satu pelaku, mengubah bentuk cerita ke dalam bentuk drama atau sebaliknya, menuliskan suatu bagian dalam sastra klasik dengan gaya bahasa masa kini, dan sebagainya. Dalam tahapan ini guru bertindak sebagai motivator bagi siswa untuk menghasilkan produk karya sastra sesuai dengan pemahaman dan analisa berpikirnya terhadap isi karya sastra tersebut. Siswa dapat mengaplikasikan nilai-nilai etika inti dalam kehidupan, yang menjadi dasar karakter – sebagaimana yang dimaksud dalam pendidikan karakter—ke dalam karya sastra yang diciptakannya.
Membentuk karakter positif kepada peserta didik memang bukan hal yang mudah. Dengan kata lain, pendidikan karakter harus dilakukan secara kontinu, berkesinambungan, konsisten, dan melalui proses pembiasaan agar menjadi pemahaman yang menyatu dalam perasaan dan terefleksi dalam tindakan/ perilaku. Apa yang telah diuraikan di atas hanyalah sekelumit kontribusi yang dapat diberikan pengajaran apresiasi sastra ke dalam pendidikan karakter. Mudah-mudahan guru memahami substansi dari pengajaran sastra sehingga memberikan kontribusi positif terhadap pendidikan karakter. Mari bersama-sama kita lakukan di sekolah kita.

DAFTAR PUSTAKA
Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://topatopeng. Smamda. Org/ 2009/09/21. “Pendidikan Berkarakter”.
Maliki, Zainudin. 2010. Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta: UGM University Press.
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum 2004 SMA Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
Aminudin. 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar baru Algesindo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Fokus Media.

Lampiran 1


BIODATA PESERTA LOMBA PENULISAN ESAI GURU
TAHUN 2010

Nama : Risa Rahayu, Spd.
Jenis kelamin : perempuan
Tempat, tanggal lahir : Surabaya, 18 Maret 1970
NIP : 19700318 199903 2 005
Pangkat/ golongan : III-d
Jabatan : guru bahasa dan sastra Indonesia
Unit kerja : SMAN 3 Surabaya
Alamat kantor : Jalan Memet Sastrowiryo Kompleks TNI-AL Kenjeran,
Surabaya, 60421
Telepon 3812356
Alamat rumah : Keputih Permai Asri V Blok 2/D-3 Surabaya
Telepon 71950036




Surabaya, 20 Mei 2010
Mengetahui,
Kepala SMAN 3 Surabaya Penulis



Drs. Bambang Agus Santoso Risa Rahayu, S.Pd.
NIP. 19610826 198603 1 011 19700318 199903 2 005



Lampiran 2

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Risa Rahayu, S.Pd.
Jabatan : guru bahasa dan sastra Indonesia
Unit kerja : SMAN 3 Surabaya
NIP : 19700318 199903 2 005
Menyatakan bahwa esai yang saya tulis dengan judul “Pengajaran Apresiasi Sastra Indonesia dalam Pendidikan Karakter” adalah asli tulisan saya yang saya ikutkan dalam lomba penulisan esai guru tahun 2010 dan belum pernah dimuat di media massa cetak/elektronik dan saat ini tidak sedang diikutkan dalam lomba sejenis.
Demikian surat pernyataan ini yang saya buat dengan sebenar-benarnya.


Penulis,


Risa Rahayu, S.Pd.

Agresivitas Perwatakan Lumang: Kajian Psikoanalis Tokoh Utama Novel Sendalu

Disusun Oleh: Risa Rahayu

Tugas Mata Kuliah Ilmu Sastra
Dosen: DR. Endah Harumi, M.Pd.



PROGRAM PASCASARJANA S-2
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURABAYA
2009











KATA PENGANTAR


Alhamdulillaahirabbil ’Alamin. Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah S.W.T yang telah melimpahkan segala rahmat-Nya sehingga penulisan makalah ini dapat terselesaikan.
Ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini, terutama kepada Dosen Pembina Mata Kuliah Ilmu Sastra .
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, segala saran dan kritik motivatif konstruktif demi perbaikan makalah ini kami harapkan. Dengan segala kekurangan yang terdapat dalam makalah ini pun, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan kontribusi yang positif kepada kita semua. Amin.




Surabaya, 23 Januari 2010 Penulis


Risa Rahayu










BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendapat Aristoteles tentang seni “Ars Imitatur Naturam”, yaitu seni adalah miniatur kehidupan. Terkait dengan hal tersebut, sastra bagian dari seni, bolehlah dikatakan bahwa karya sastra merupakan miniatur kehidupan. Pendapat Aristoteles tersebut sejalan dengan paham yang menyatakan bahwa sastra merupakan “imitation of reality” atau “reflection reality”. Sastra merupakan imitasi sebuah realita hidup. Sastra juga dikatakan cermin kenyataan hidup.
Sejalan dengan hal tersebut di atas, Lucian Goldman mengatakan bahwa sastra merupakan sebuah fakta kemanusiaan, fakta kejiwaan, dan fakta kesadaran kolektif sosiokultural yang muncul sebagai produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang selalu ada dalam masyarakat.
Karena berangkat dari fakta kemanusiaan itulah, A.Teew menegaskan bahwa sastra tak pernah berangkat dari kekosongan. Karya sastra tak jatuh dari langit begitu saja, namun lahir sebagai sebuah refleksi dari realitas sosial dan refleksi kesejarahan.
Jadi dengan meneliti karya sastra pada hakikatnya kita meneliti fenomena kehidupan kemanusiaan kita sendiri.
Karena sastra adalah cermin fakta kehidupan, dalam meneliti karya sastra dibutuhkan teori-teosi di luar sastra untuk menginterpretasikan sebuah karya sastra. Teori-teori di luar sastra itu, misalnya psikologi. Salah satu alasan mengapa psikologi masuk ke dalam studi sastra adalah untuk mengetahui perilaku dan motivasi para tokoh dalam karya sastra yang langsung maupun tidak langsung mencerminkan perilaku dan motivasi manusia. Beberapa psikolog, misalnya Freud melahirkan teori psikoanalisa dengan cara banyak menggali persoalan jiwa manusia dari karya-karya sastra, antara lain dari novel pengarang Rusia abad ke-19 Fyodor Dostoevsky. Psikolog Carl Gustav Jung yang melahirkan teori psikologi arkitipal dan avatisme juga menggunakan karya sastra sebagai rujukannya, yaitu novel pengarang Amerika abad ke-19 Herman Melville, Moby Dick.
Makalah ini akan mengkaji aspek agresivitas perwatakan tokoh utama dalam novel Sendalu karya Chavchay Syaifullah dengan menggunakan teori psikoanalisa.
Pemilihan kajian terhadap novel Sendalu ini dilakukan karena novel tersebut merupakan novel fenomenal. Novel ini mengangkat fenomena pemerkosaan dari dekat versi negara kita, dengan bahasa dan alur cerita yang menohok getir serta memburu kejujuran cara mengada seks kita. Novel ini juga menjadi godam hitam bagi dinding tabu yang dibangun orang-orang tak melek kenyataan. Kajian terhadap novel ini dapat pula dimaknai sebagai upaya untuk membuat suatu kajian terhadap novel yang mengangkat fenomenal serupa dengan novel Sendalu.
Aspek yang dikaji dalam novel ini adalah agresivitas tokoh utama karena aspek inilah yang mendominasi perilaku tokoh utama dalam isi cerita, terutama dengan agresivitas seksual yang dilakukannya.

1.2 Batasan Masalah
Kajian tentang agresivitas perwatakan tokoh Lumang dalam novel Sendalu ini dibatasi pada;
1. Penyebab agresivitas Lumang
2. Bentuk-bentuk agresivitas Lumang
3. Mekanisme pertahanan diri Lumang /Defense Mechanism Lumang

1.2 Metode Pembahasan
Metode yang dipakai dalam mengkaji novel Sendalu ini adalah metode studi pustaka dan metode analisis. Teori yang dipakai dalam menganalisis menggunakan teori psikoanalisa, berdasarkan pandangan tokoh psikologi yaitu Sigmund Freud.



















BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Pandangan Psikoanalis Mengenai Agresivitas
Pada umumnya ‘agresi’ diartikan sebagai perilaku menyerang atau merusak benda hidup maupun benda mati. Agresi dapat dibedakan menurut sifat fisiknya, seperti memukul, menendang, atau yang bersifat verbal, seperti mengumpat, memaki, atau mengancam. Agresivitas sendiri dijelaskan oleh Leonard Berkowitz sebagai keinginan atau kecenderungan yang relatif tetap untuk menjadi agresif dalam berbagai situasi yang berbeda. Orang yang memiliki agresivitas tinggi dalam artian ini, tidak lantas berarti ia selalu marah. Karena orang itu mungkin tidak mempunyai perasaan marah yang tampak pada saat mereka bertindak agresif.
Agresivitas telah dipelajari dengan dua pendekatan utama, yakni pendekatan belajar (behaviorisme) dan pendekatan biologis (naluriah). Tulisan ini akan menyandarkan diri pada pandangan tokoh psikoanalis, yakni Sigmund Freud. Dalam hal ini, meskipun Freud tokoh dalam pendekatan biologis, namun dirinya tidak menyangkal adanya pengaruh stimulus eksternal dalam kondisi tertentu. Misalnya, perlakuan traumatis pada tahap perkembangan individu (tahap psikoseksual) dapat berakibat buruk dan berperan pula dalam pembentukan perwatakan seseorang.
Freud dalam psikoanalisisnya berusaha memberikan penjelasan bersistem mengenai agresi sebagai bentuk naluriah tingkah laku. Psikoanalisis dirumuskan oleh Freud sebagai ilmu jiwa yang menekankan dinamika kepribadian pada psoses yang lebih banyak bersifat tak sadar. Freud menganggap bahwa kesadaran hanya merupakan sebagian kecil saja daripada seluruh kehidupan psikis. Freud memisalkan psikis itu sebagai gunung es di tengah lautan. Yang ada di permukaan laut itu menggambarkan kesadaran, sedangkan yang di bawah permukaan air laut itu – yang merupakan bagian terbesar – menggambarkan ketidaksadaran. Di dalam ketidaksadaran itulah terdapat kekuatan-kekuatan dasar yang mendorong pribadi.
Ketaksadaran adalah kawasan terbesar dari kehidupan psikis yang di dalamnya terdapat suatu unsur-unsur atau sistem yang berisikan naluri-naluri. Menurut Freud, sebagian tingkah laku manusia diatur oleh naluri dan disebabkan oleh kebutuhan fisik yang memotivasi orang untuk memuaskannya, sehingga proses fisik itu mencapai keseimbangan. Dalam hal ini, karena naluri dapat berubah, maka objek naluri pun dapat berpindah dari satu objek ke objek lain, dalam usahanya meraih kenikmatan atau menghilangkan ketegangan.
Freud mengklasifikasikan naluri ke dalam dua kelompok, yakni naluri kehidupan (libido atau eros) dan naluri kematian (thanatos). Pengungkapan naluri kematian tidak lain adalah agresi diri. Pada tingkat yang parah, agresi diri bila diarahkan ke dalam menjadi tingkah laku masokhis, yakni berusaha untuk menyakiti diri, atau bahkan membunuh diri sendiri. Sedangkan bila diarahkan keluar, atau ke objek-objek substitusi, akan menjadi tindakan agresi. Tindakan agresi yang diikuti perasaan senang disebut sadistik, sedangkan bila agresi menjadi perilaku yang merusak atau menghancurkan disebut destruktif.
Pada dasarnya tiap individu memiliki keinginan untuk mengekspresikan naluri kematian dalam bentuk impuls agresi. Akan tetapi, masyarakat melarangnya, bahkan akan menghukumnya jika ia tidak patuh. Dalam hal ini, tiap individu berusaha memecahkan konflik diri dan sosial tersebut dengan jalan realistis untuk memuaskan kebutuhannya. Ini berarti, individu harus mengikuti aturan tingkah laku yang telah digariskan oleh masyarakat dalam pendidikan moral. Jika individu tidak dapat mengekspresikan dorongan naluriahnya maka ia akan mengalami frustasi.
Frustasi dijelaskan oleh Freud sebagai sesuatu yang menghalangi bekerjanya “prinsip kesenangan”. Selain karena tidak tersalurkannya dorongan naluri serta dikarenakan kecemasan, frustasi dapat disebabkan pula akibat adanya beberapa hal antara lain: pengurangan (jika benda yang merupakan tujuan tidak ditemukan), penghilangan ( jika benda yang merupakan tujuan disembunyikan atau diambil), pertentangan (jika ada suatu tenaga penentang dalam diri yang mencegah untuk mencapai kepuasan), kekurangan pribadi (jika orang itu kurang memiliki kecakapan yang diperlukan, pengertian, intelegensi atau pengalaman untuk mengadakan penyesuaian yang memuaskan).
Cara seseorang menghadapi dan mengatasi atau menyesuaikan diri terhadap penyebab frustasi, membentuk ciri khas kepribadian atau perwatakan. Cara tersebut disebut alat-alat kepribadian. Ada beberapa alat kepribadian yang disodorkan oleh Freud dan para pengikutnya. Namun, untuk keperluan kajian ini yang diajukan hanya tiga, yakni identifikasi, pemindahan, dan mekanisme pertahanan ego.
Identifikasi adalah metode yang dipergunakan orang dalam mengahadapi orang lain dan membuatnya menjadi bagian kepribadiannya (Suryabrata, 1983: 168). Penyatuan dari sifat-sifat objek luar. Biasanya dimiliki oleh orang lain ke dalam kepribadian seseorang. Identifikasi ada empat macam. Pertama identifikasi narsisisme. Kedua identifikasi ke arah tujuan atau penyatuan individu dengan seseorang yang telah mencapai tujuan individu. Ketiga, identifikasi objek yang hilang atau penyatuan individu dengan objek kesukaan yang telah hilang. Kemudian keempat, identifikasi dengan penyerang, penyatuan, atau penghayatan individu terhadap larangan-larangan yang didesakkan oleh orang lain (otoritas) yang berkuasa atas diri individu.
Pemindahan adalah proses penyaluran energi rohani dari suatu objek ke lain objek tanpa mengubah sumber dan tujuan suatu naluri. Jadi, yang berubah hanyalah objek yang menjadi tujuan. Misalnya, pemindahan yang terjadi dalam pemuasan mulut yang diawali dengan menggigit, kemudian setelah dewasa menjadi pengejek atau orang yang ketus. Sublimasi sendiri dijelaskan sebagai bentuk pemindahan, namun objek penggantinya merupakan tujuan kultural yang lebih tinggi. Seorang yang memilih untuk menjadi penegak hukum, pengacara, politikus adalah contoh dari sublimasi ini.
Mekanisme pertahanan ego adalah cara irasional untuk menghadapi kecemasan dengan tindakan menyangkal kecemasan (represi). Sungguh aku tidak pernah tahu, apakah aku harus merangkul mengeluarkan kecemasan diri dengan menimpakannya ke objek luar diri (proyeksi), menyembunyikan kecemasan dengan menggunakan emosi yang berlawanan (pembentukan reaksi), serta menjadi tertahan pada suatu tahap perkembangan psikologis (fiksasi) atau penyurutan diri ke tahap perkembangan psikologis sebelumnya (regresi).
Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa meskipun agresi diakui oleh para psikoanalis sebagai suatu bawaan, namun dalam perkembangannya (tahap psikoseksual) individu tidak terlepas dari faktor eksternal yang mengelilinginya. Seseorang yang terjebak dalam keagresifan (misalnya karena pengalaman traumatis), bila ia gagal dalam mengungkapkan, memindahkan atau menyublimasikan keagresifannya maka ia dapat mengalami neurosis, psikosomatis bahkan skizofrenia. Gangguan kejiwaan sendiri diterangkan sebagai bentuk dari frustasi yang parah ketika seseorang tidak mampu menghadapinya. Dalam hal ini, agresivitas perwatakan individu dapat dipahami melalui alat-alat kepribadian yang bekerja untuk mengatasi frustasi dan juga membentuk khas perwatakan.

















BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Penyebab Agresivitas Tokoh Utama Lumang
A. Rentannya Kepribadian Tokoh Lumang
Kepribadian Lumang yang rentan/rapuh terbentuk karena ketika masih kecil ia melihat realitas eksternal persetubuhan orang tuanya. Realitas eksternal dalam bentuk persetubuhan kedua orang tuanya ini sering dilihat oleh Lumang.
Pernah suatu hari aku pulang dari sekolah, aku langsung menuju kamar. Begitu kubuka pintu kamarku tiba-tiba aku melihat Bapak dan Ibu sedang dalam keadaan bugil dan bergumul seperti sepasang kucing yang pernah kulihat. Tapi Bapak dan Ibu tidak marah kepadaku yang telah memergoki mereka tanpa busana itu. Mereka seperti layaknya pasangan yang angat senang bila permainannya disaksikan oleh anaknya sendiri. Sambil tersenyum simpul melihat aku yang terbengong-brngong di bibir pintu, mereka pun terus saja melanjutkan permainannya itu sampai tuntas setuntas-tuntasnya (halaman 18).

Realitas eksternal yang sering ia lihat itu menimbulkan perasaan yang yang tidak menyenangkan dalam diri Lumang. Ia menolak realitas eksternal tersebut.
Perasaan-perasaa menolak realitas eksternal itu dalam bentuk:
1. sikap serba salah;
2. penderitaan batin;
3. keinginan untuk protes/berontak tetapi tidak tersampaikan;
4. gelisah;
5. kecewa dan kesal dalam diri sendiri.

Entah apa yang diinginkan dengan perlakuan orangtuaku seperti itu. Aku selalu dibuat serba salah dengan peristiwa adu daging kedua orang tuaku. Aku benar-benar menjadi orang yang serba salah! ( halaman 18).

... . Uh, betapa menderitanya aku dibuat oleh persetubuhan Bapak dan ibu. (halaman 18)

Kadangkala ada juga keinginanku untuk protes, agar kedua orang tuaku tidak usah mendesah kuat-kuat di saat bersetubuh. (halaman 19)

... . Aku yang semula di kamar cemas dengan cekcok mulut itu, dibuat gelisah dengan desahan dan rintihan Bapak dan Ibu yang bercumbu mesra. (halaman 21)

... . Aku melihat ibu sedang berada dalam posisi di atas sambil menggoyang-goyangkan pinggulnya. Aku jadi kecewa. Aku jadi kesal pada diri sendiri. (halaman 23)

Realitas eksternal yang dilihat dan didengar Lumang betul-betul ia akui sebagai penyiksan batin.
... . Mungkin karena mereka ingin mencoba medan pergumulan yang baru. Lubang telingaku bagai diserang mesin kereta. Batinku bagai dilindas palu baja. Khayalku melayang ke negeri yang sangat jauh. Aku menderita kembali. (halaman 34)

Lebih parah lagi, Lumang tidak memiliki tempat untuk berbagi rasa terhadap perasaan-perasaan yang menyiksa batinnya tersebut.
Inilah bagian cerita kamarku. Memiliki kamar sempit, setelah diri ini mengetahui tak mungkin memiliki seorang adik untuk berbagi rasa, memang mengharukan hati. (halaman 19)

B. Upaya memenuhi hasrat karena dorongan faktor eksitasi
Eksitasi adalah sesuatu yang membuat keadaan kepribadian yang semula equilibrium (seimbang) menjadi disequilibrium (tidak seimbang). Eksitasi akan memunculkan hasrat (Arif 2006:9).
Munculnya hasrat perkosaan pertama dalam diri Lumang adalah adanya faktor eksitasi dari luar. Ingatannya kepada Lastri dan pengalaman yang tidak ia sengaja melihat persetubuhan Lastri dan Burhan di lubang dinding kamarnya membangkitkan hasrat untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya. Pada puncak hasrat itu, ia mengintip Lastri yang telanjang lewat lubang dinding kamarnya.
Aku langsung teringat Lastri. Kuhampiri lubang tempat aku biasa mengintip Lastri. Mataku kudempetkan pada papan yang membatasi rumah kami.
Oh, alangkah terkejutnya diriku. Ternyata Lastri tidak sedang mengenakan sepotong pakaian pun. Ia baru saja selesai mandi. Ia seperti sedang mencari baju yang akan ia kenakan.
Aku terus mengamaati tubuh indah Lastri. Tubuhku bergetar. Jantungku berdebar. Tiba-tiba aku berpikir untuk tidak lagi kalah dalam pertarungan ini. Tak kuasa aku menahan bentuk kekalahan ini. Aku tak ingin lagi menjadi manusia kalah. Kinilah saatnya Lumang menang.
Dalam seketikaa, aku langsung bergerak. Keberingasan telah menutup wajah hatiku. Aku bergegas menuju rumah sebelah. Kubuka pintu rumah Lastri yang rapat namun tidak terkunci. Kututup kembali pintu itu dan cepat kukunci. Aku langsung menuju Lastri.(halaman 74-75)

Berdasarkan cuplikan-cuplikan di atas juga dapat disimpulkan bahwa pemenuhan hasrat tersebut melalui mekanisme secondary process. Secondary process adalah upaya individu untuk memenuhi hasratnya setelah ia mengenal realitas eksternal. Prinsip yang menggerakkannya adalah reality principle. Caranya adalah sebagai berikut: bilamana ia menginginkan sesuatu, ia akan melakukan penilaian tentang ketersediaan dan keterjangkauan objek tersebut dalam realitas eksternal. Bilamana objek tersebut memang tersedia dan dapat dijangkaunya, maka ia akan melanjutkan upayanya dengan melakukan tindakan nyata untuk memperoleh objek tersebut (Arif 2006:11).

C. Trauma
Trauma terjadi manakala individu menerima eksitasi yang jauh melampaui kapasitasnya untuk mengatasinya, sehingga sebagai akibatnya, individu “terlempar” jauh, menjauhi kondisi equilibrium (seimbang). Individu mengalami disequilibrium (tidak seimbang) yang sangat besar, dan ia menghayati anxiety yang sangat tinggi. Trauma akan semakin besar dampaknya bilamana eksitasi yang besar tersebut dialami oleh pribadi yang masih rentan (misalnya: anak-anak atau pribadi yang belum matang) dan terjadinya secara mendadak (Arif 2006:27).
Trauma yang dialami Lumang karena ia menerima eksitasi yang tidak enak dan tidak menyenangkan baginya ketika ia masih rentan (masih anak-anak dan pribadinya belum matang). Eksitasi yang membuat trauma itu seperti tampak dalam cuplikan berikut.
Entah apa yang diinginkan dengan perlakuan orang tuaku seperti itu. Aku selalu dibuat serba salah dengan peristiwa adu daging kedua orang tuaku. (halaman 18)
Belum lagi dengan rumah yang semi permanen yang semakin membuatku tak bisa lari dari baying-bayang persetubuhan Bapak dan Ibu. (halaman 18)

Kadangkala ada juga keinginanku untuk protes, agar kedua orang tuaku tidak usah mendesah kuat-kuat di saat bnersetubuh. (halaman 19)

… . Aku yang semula di kamar cemas dengan cekcok mulut itu, dibuat gelisah dengan desahan dan rintihan Bapak dan Ibu yang bercumbu mesra. (halaman 21)

… . Aku melihat ibu sedang berada dalam posisi di atas sambil menggoyang-goyangkan pinggulnya. Aku jadi kecewa. Aku jadi kesal pada diri sendiri. (halaman 23)

Dari cuplikan di atas tampak bahwa Lumang tidak sanggup menerima eksitasi eksternal, yaitu melihat persetubuhan kedua orang tuanya. Eksitasi yang tidak menyenangkan itu terlalu sering dilihat Lumang sehingga melampaui kapasitasnya untuk mengatasinya. Lumang betul-betul berada dalam kondisi disequilibrium yang terjadi dalam sistem kepribadiannya. Dampak dari keguncangan itu adalah kepribadian Lumang mengalami kerusakan yang tidak kecil. Dampaknya terlihat kemudian hari ketika Lumang berkenalan dengan Lastri dan timbul rasa cintanya kepada Lastri.

D. Kepribadian Yang Terganggu
Akibat trauma di masa kecil Lumang, kepribadiannya mengalami gangguan. Dalam teori psikoanalisis (Arif 2006:23) kepribadian yang terganggu mengalami kesulitan untuk dapat mencapai keinginan secara memuaskan. Dalam mencapai keinginan ia perlu “membayar jauh lebih mahal” berupa konflik yang menimbulkan kecemasan-kecemasan.
Kesulitan untuk mencapai keinginan secara memuaskan tampak pada diri Lumang. Walaupun ia sudah memperkosa Lastri dan ibunya, ia tetap belum merasa tuntas kepuasannya. Oleh karena itu, timbul keinginan barunya untuk menikmati Lastri dan ibunya sekaligus.
… . Yang terbetik malah keinginanku untuk membandingkan kenikmatan yang kudapati dari ibu dan dari Lastri. Alangkah indahnya bila dapat kubandingkan secara detail. Pikiranku mengatur siasat agar dapat menuntaskan keinginan baruku ini. (halaman 81)

Setelah menikmati Lastri dan ibunya sekaligus, timbul keinginan barunya yaitu membalas dendan kepada Burhan dan bapaknya.
Lalu muncul keinginan baruku, yaitu keinginan membalas dendamku pada Burhan dan Bapak. (halaman 82)

Hasrat untuk mengulangi perkosaan terus berkecamuk dalam diri Lumang seolah-olah ia tak pernah puas dengan apa yang telah dilakukannya.

Tapi perkosaan itu telah menjadi sendalu di hatiku. Kini keinginan untuk mengulangi perkosaan it uterus berkecamuk hebat di dadaku. Aku kian sesak. Aku tak bisa lari dari keinginanku itu, sebab mencona lari sama halnya membinih diri sendiri. (halaman 87-88)

Sementara itu aku pun belum bisa meninggalkan pemerkosaan sebagai baagian dari kenikmatan yang harus kutuntaskandemi hidupku. Aku tang sanggup membayangkan hari-hari tanpa pemerkosaan. (halaman 107-108)

E. Dendam kepada Bapaknya Akibat Cemburu
Seorang anak laki-laki sejak kecil sudah mulai membangun rasa sayang terhadap ibunya yang dilihatnya sebagai salah satu miliknya dan menganggap ayahnya sebagai pesaing yang berusaha merebut atau berbagi kepemilikan. Hubungan seperti ini disebut Oedipus Complex, berdasarkan kisah mitos Oedipus yang mempunyai dua keinginan yang sangat ekstrem, yaitu membunuh ayahnya dan menikahi ibunya (Freud 200:227-228).
Ada benih kebencian yang tumbuh menjadi dendam pada diri Lumang kepada Bapaknya.
Benih kebencian yang tumbuh menjadi dendam tersebut dikarenakan dia mencintai ibunya dan tidak rela jika ibunya disakiti oleh Bapaknya.
Aku pikir saat itu Ibu dibuat kesakitan oleh Bapak. Ingin rasanya kudobrak dinding yang membatasi antara kamarku dan kamar kedua orang tuaku, dan sekaliaan kuhajar Bapak yang tak tahu diri itu. Namun setelah kuintip dari lubang kamarku, ternyata rintihan itu adalah rintihan yang lahir dari mulut ibu yang sedang semangat merambah titik-titik kenikmatannya. Aku melihat ibu sedang berada dalam posisi di atas sambil menggoyang-goyangkan pinggulnya. Aku jadi kecewa. Aku jadi kesal pada diri sendiri. (halaman 23)

Lumang ternyata juga mengidap Oedipus Complex. Akibat seringnya melihat persetubuhan orang tuanya, ia jatuh cinta kepada ibunya dan menganggap Bapaknya sebagai pesaingnya. Freud (2009:229) mengatakan bahwa terkait dengan hasrat seksual, seorang anak sudah menampakkan kehidupan seksual yang kaya, meski berbeda dengan saat mencapai kehidupan dewasa yang dianggap sebagai kondisi normal bila mempunyai kehidupan seksual.
Hasrat seksual semasa kanak-kanak sudah tumbuh dalam diri Lumang akibat faktor eksitasi melihat persetubuhan orang tuanya. Hasrat seksual itu juga melahirkan inses yaitu keinginan berhubungan seksual dengan orang tua. Menurut Freud (2009:231) inses adalah cinta pertama dan bisa terjadi pada semua orang dan pada perkembangan selanjutnya barulah muncul usaha menentang keterwujudan cinta seperti itu.

F. Penyimpangan Seksual
Penyebab agresivitas Lumang, salah satunya karena ia mengidap penyimpangan seksual. Freud (2009:229) mengkondisikan kehidupan seksualitas sebagai penyimpangan dari normal apabila: (1) mengabaikan batas antarspesies (perbedaan antara manusia dan binatang); (2) ketidakpedulian terhadap batas-batas itu berusaha untuk menyamarkan; (3) pelanggaran batas-batas inses (larangan memenuhi kepuasan seksual dengan orang yang mempunyai hubungan darah dekat); (4) homoseksualitas; (5) mengalihkan fungsi yang seharusnya dimainkan oleh organ kelamin kepada organ lain dan bagian tubuh lain.
Kelima kondisi penyimpangan seksualitas yang dikemukakan oleh Feud di atas terdapat dalam diri Lumang. Penyimpangan pertama dan kedua, ia menganggap korban perkosaannya tidak lagi sebagai manusia tetapi binatang. Hal itu berarti ia telah mengabaikan batas-abatas antarspesies (perbedaan binatang dan manusia) serta menyamarkannya.

Lastri pun menangis. Itulah yang kutunggu-tunggu, Oh, binatangku sudah pasrah! (halaman 75)

“Selamat tinggal, wahai binatang-binatang burukku!” (halaman 85)

Tak perlu banyak waktuku menemukan calon binatangku. (halaman 91)

Uh, lucu sekali. Kini perempuan dan laki-laki sama saja di mataku, semuanya hanyalah binatang santapanku.
Binatang! (halaman 109)

Lumang tidak hanya menganggap korbannya binatang tetapi ketika memperkosa ia juga menganggap dirinya binatang.

Oh, aku menjelma sebagai kucing lapar! (halaman 78)

Uh, aku melebihi kebuasan srigala! (halaman 81)

Penyimpangan yang berikutnya adalah inses, yaitu jatuh cinta kepada ibunya bahkan kemudian ia memperkosa ibunya.
Tubuh ibu habis kulumat. Kujilati seluruh kebeningan itu, sambil kulepaskan seluruh pakaianku. Sesudah itu, kulakukan pemerkosaan itu. (halaman 78)

Lumang mengidap kelainan homoseksual.

Dengan memperkosa laki-laki, aku juga merasa bahwa aku menjadi lebih laki-laki lagi. Aku merasa lebih jantan. (halaman 108)

Penyimpangan seksual yang dilakukan oleh Lumang adalah mengalihkan fungsi yang seharusnya dimainkan oleh organ kelamin kepada organ lain dan bagian tubuh lain.
… . Sebab dari korban pertamaku, walaupun aku harus bersusah payah menaklukkan dirinya, tapi kenikmatan yang kudapat sangat jauh berbeda dari kaum perempuan. Saat aku mengambil kesimpulan bahwa lubang belakang jauh lebih nikmat dari lubang depan. Lubang itu lebih terasa mengilukan parang dagingku. (halaman 108)

3.2 Bentuk-Bentuk Agresivitas Lumang
Lumang memiliki agresivitas yang tinggi bahkan sangat tinggi. Agresivitas Lumang terkait dengan seksualitasnya. Agresi diri Lumang meliputi dua tingkat, yaitu (1) agresi yang diarahkan keluar dan (2) agresi yang diarahkan ke dalam (masokhis)

A. Agresi Yang Diarahkan Keluar
Agresi yang diarahkan ke luar atau ke objek-objek substitusi diwujudkan dalam bentuk perkosaan terhadap Lastri, ibunya, perempuan di toilet, perempuan dalam semak-semak, Bu Tuti, perempuan di kawasan Jembatan merah, ibu-ibu dan nenek-nenek, perawan-perawan, para cacat mental, sesama lelaki, dan terakhir kepada Bono teman sesama anak jalanan.
Tindakan agresi Lumang tersebut di atas dilakukan secara sadistik karena diikuti perasaan senang.
Mata Lastri kubiarkan melotot sekuatnya. Aku tak takut dengan itu. Malah mata jenis itu kian menambah rangsangan yang sudah menari liar. (halaman 75)
Saat itu bagiku surga tidak lagi berada di bawah telapak kaki ibu. Kini surga ada di liang ibu. (halaman 79)
… . Aku hanya mengerti sejauh dua mangsaku merintih, sejauh itu kucapai kenikmatanku. (halaman 82)
Aku tertawa dalam hati. Puas rasanya aku menuntaskan segala dendam yang kusimpan selama ini. (halaman 84)
Puas sekali aku dengan pertunjukan ini, sebab aku benar-benar tampil sebagai penguasa gila yang adil. Puas juga aku dalam pemerkosaan ini sebab aku bisa bermain dalam waktu pas 1 jam. (halaman 85)
Aku menjerit bahagia. Sendalu pemerkosaan telah berhasil kuhembuskan di atas bumi. (halaman 85)

Sifat agresi Lumang tidak hanya sadistik tetapi juga destruktif, yaitu membunuh. Setelah memperkosa beberapa korbannya ia bunuh.
Tapi percuma! Bono telah mati di tanganku! (halaman 112)

B. Agresi Yang Diarahkan ke dalam (Mashokis)
Tingkah laku agresi Lumang tidak hanya diarahkan kepada orang lain tetapi juga pada dirinya sendiri. Tingkah laku seperti ini di dalam teori psikoanalisis disebut masokhis. Di akhir cerita, ia mengakhiri hidupnya dengan memotong alat kelaminnya.

1 Januari 2002, pukul 12 siang, aku memotong alat kelaminku dengan sebilah pisau, tepat di bawah Tugu Pancoran. (halaman 117)

C. Agresivitas Fisik
Bentuk-bentuk agresivitas fisik yang dilakukan Lumang adalah membekap, membanting, manampar, melempar tubuh, memukul, mengikat, menyeret, menginjak dan menendang kepala.

Lastri kubekap erat. Kubanting tubuh Lastri ke atas kasur. Kuancam dia. Kutampar wajahnya berkali-kali … (halaman 75)

Mulut ibu cepat kubekap dengan tanganku. (halaman 78)

… . Kutampar wajahnya agar ia tak menunjukkan sikap malasnya itu di hadapanku. Kumasukkan ia ke dalam rumahku. Kutarik tangannya. Kulepaskan spre penutup tubuhnya. Kulempar tubuh Lastri ke atas kasur. (halaman 81)

Kupukul bagian tengkuk leher Bapak yang membuatnya pingsan seketika. Langsung kuikat kedua tangan dan kakinya dengan tali yang sudah kusiapkan. … . Kuikat kedua tangan dan kakinya, kututup mulutnya, lalu kuseret tubuhnya ke hadapan ibu dan Lastri. (halaman 83)

… . Kuinjak-injak kepala mereka. Kutendang-tendang kepala mereka. (halaman 84)


D. Agresivitas Verbal
Agresivitas verbal yang dilakukan Lumang yaitu mengancam. Sebelum memperkosa korbannya terlebih dahulu ia mengancam.
Kemudian kubisiki seribu ancaman agar Ibu tidak berteriak dan menuruti saja apa yang kumau. (halaman 78)


3.3. Mekanisme Pertahanan Diri (Defense Mechanism) Lumang
Mekanisme pertahanan diri dibahas dibahas karena alat inilah yang dipakai oleh Lumang untuk meredam agresivitasnya hingga ia mengakhiri agresivitas tersebut.
Defense Mechanism adalah mekanisme psikis untuk pertahanan diri. Defense Mechanism menjadi aktif setelah manusia dilahirkan, yaitu menyusul aktivitas insting mati. Fungsi utama defense mechanism adalah untuk mempertahankan diri dalam menghadapi realitas eksternal yang penuh tantangan (Arif, 2006: 19).

A. Undoing
Undoing adalah upaya simbolik untuk membatalkan suatu impuls yang telah terwujud menjadi tingkah laku, biasanya dengan cara melakukan ritual-ritual tertentu. Undoing ini termasuk defense mechanism yang tergolong tidak matang (immature) (Arif, 2006:35).
Lumang menggunakan undoing berupa ritual mandi dan onani ketika ia tidak lagi mampu menahan hasrat cintanya kepada Lastri. Ritual ini terjadi berulang kali dan bahkan menjadi tindakan yang kompulsif.
Begitulah aku merasakan acara mandi sebagai acara eksekusi. Tak bisa aku menolak untuk tidak mandi. (halaman 66)

Onani boleh-boleh saja. Siapa pula yang melarang? Melarang onani hanya akan melahirkan onani itu sendiri. (halaman 68)

B. Manic Defense
Setiap orang memiliki dua posisi mental. Yang pertama adalah paranoid-schizoid position, yaitu saat seseorang merasa terpisah dari orang lain, tidak dapat menghargai sepenuhnya keberadaan orang lain, memandang orang lain sebagai objek—bukan subjek, memandang orang lain sebagai ancaman bagi diri atau sebagai sarana pemuas kebutuhan semata. Yang kedua adalah depressive position, yaitu ketika seseorang menyadari sepenuhnya keberadaan orang lain, kebutuhan dan ketergantungan dirinya pada orang lain, memandang orang lain sebagai subjek yang juga memiliki perasaan dan pengalaman-pengalaman manusiawi yang serupa (Arif, 2006:42). Manic defense ini tergolong mekanisme pertahanan diri yang primitive.
Pada saat ia berada dalam posisi mental yang pertama seringkali ia menyakiti atau merugikan orang lain. Pada saat ia berada dalam posisi mental yang kedua ia menyadari betapa ia telah merugikan atau menyakiti orang lain.
Kedua posisi mental ini dimiliki oleh Lumang. Pada posisi yang pertama ia menganggap korban-korban perkosaannya adalah objek pemuas nafsunya. Ia juga memandang Burhan dan bapaknya adalah ancaman atau musuhnya. Pada posisi mental yang kedua ia menyadari semua tindakannya bahwa ia telah menyakiti atau merugikan orang lain.
Aku berperang melawan diri sendiri. Aku ingin kembali melihat manusia sebagai manusia. Manusia adalah sahabat kehidupanku, bukan mangsaku. (halaman 117)

“Bapak … Ibu … maafkan segala kesalahanku. Aku bukan lagi sekadar anak terapit bangkai, tapi aku adalah anak yang paling durhaka bagi umat manusia dan Tuhan. Maafkan segala dosa-dosaku. Sampaikan juga maafku pada orang-orang yang telah menjadi korban kebiadabanku. (halaman 119)

Kesadaran pada posisi depressive position akan mengarah pada perasaan depresi. Puncak parasaan depresi Lumang yaitu ketika ia memutuskan untuk berpisah dengan alat kelaminnya sebagai wujud penyesalannya dan perpisahannya dengan masa lalunya. Ia menyadari bahwa alat kelaminnya itulah yang menyebabkan ia melakukan agresivitas-agresivitasnya.
… . Biarlah kupotong alat kelaminku sebagai bukti bahwa aku ingin memotong masa laluku yang penuh kegelapan. Aku ingin pikiran sehatku kembali. (halaman 117)


Perpisahan Lumang dengan alat kelaminnya inilah yang betul-betul mengakhiri segala agresivitas Lumang. Ia sudah tidak dapat lagi melakukan agresivitas-agresivitasnya karena Lumang akhirnya menghembuskan nafasny yang terakhir.
“Tapi aku harus pulang. Sudah ada yang menjemputku!” kataku dengan tenang. Sangat tenang.

Lalu … nafas terakhirku terbang melayang.

Sungguh tragis nasib Lumang. Setragis korban-korbannya.
BAB IV
SIMPULAN

Demikianlah ulasan mengenai agresivitas perwatakan tokoh Lumang dalam novel Sendalu dengan teori psikoanalisis. Ulasan tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Faktor-faktor penyebab agresivitas Lumang adalah
a. Rentannya kepribadian Lumang
b. Upaya memenuhi hasrat karena faktor eksitasi
c. Trauma
d. Kepribadian yang terganggu
e. Dendam kepada bapaknya akibat cemburu
f. Penyimpangan seksual.

2. Bentuk-bentuk agresivitas Lumang
Lumang memiliki agresivitas yang sangat tinggi. Segala bentuk agresivitas ia lakukan dari agresivitas yang diarahkan ke luar yaitu memperkosa dan menyakiti orang lain sampai yang diarahkan ke dalam /masokhis yaitu berusaaha menyakiti diri sendiri. Agresivitasnya berupa fisik maupun verbal dari tingkat yang sadistik saampai ke tingkat destruktif.

3. Bentuk-bentuk mekanisme pertahanan diri yang dilakukan oleh Lumang untuk menekan agresivitasnya tergolong tidak matang dan primitive, yaitu undoing dan manic defense.













DAFTAR PUSTAKA

Arif, Iman Setiadi. 2006. Dinamika Kepribadian Gangguan dan Terapinya. Bandung: Refika Aditama.
Bailery, Ronald H. 1988. Kekerasan dan Agresi. Jakarta: Tira Pustaka.
Berkowitz, Leonard. 1955. Agresi. Jakarta: Binama Perssindo.
Bertens, K. 1993. Etika. Jakarta: Gramedia.
Freud, Sigmund. 1980. Memperkenalkan Psikoanalisis (terjemahan K. Bertens). Jakarta:PT Gramedia.
--------------------. 1983. Sekelumit Sejarah Psikoanalisis (terjemahan K. Bertens). Jakarta: PT Gramedia.
--------------------. 2002. Psikoanalisis Sigmund Freud (terjemahan Ira Puspitorini). Yogyakarta: Ikon Teralitera.
--------------------. 2009. Pengantar Umum Psikoanalisis (terjemahan Haris Setiowati). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fromm, Erick. 2000. Akar kekerasan (terjemahan Imam Muttaqin). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Goleman, Danil dan Speth, kethleen. 1993. Essensial Psikoterapi. Semarang: Dahara Prize.
Hall, Calvin S. 1995. Freud: Seks, Obsesi, Trauma, dan Katarsis (terjemahan Dudi Misky). Jakarta: Delapratasa.
-----------------. 1959. Pengantar ke dalam Ilmu Jiwa Sigmund Freud (terjemahan S. Tasrif). Jakarta: Pembangunan.
Hall, Calvin S dan Lindzey Gardner. 1993. Teori-Teori Psikodinamik. Yogyakarta: Kanisius.
Koswara,E. 1986. Teori-Teori Kepribadian. Bandung:Eresco.
Milner, max. 1992. Freud dan Interpretasi Sastra (diterjemahkan oleh Apsanti Ds.). Jakarta: Intermasa.
Rahardjo, Paulus Budi (ed). 1997. Mengenal Teori-Teori Kepribadian Mutakhir. Yogyakarta: Kanisius.
Sarlito, W.S. 1978. Berkenalan dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi. Jakarta: Bulan Bintang.
Syaifullah, Chavchay. 2006. Sendalu. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Karakteristik Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

Karakteristik Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

Oleh: Risa Rahayu
PROGRAM PASCASARJANA S-2
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURABAYA
2010



A. Prinsip Pembelajaran Bahasa Secara Umum

Pada prinsipnya, pembelajaran bahasa harus menekankan kepada pembelajaran berbahasa bukan pembelajaran bahasa. Hal ini didasarkan kepada hakikat bahasa yang berfungsi sebagai sarana komunikasi. Hal ini ditegaskan dalam Kurikulum 1994 (Depdikbud 1994) dan tetap dipertahankan pada Kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (Depdikbas, 2004), serta pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (kurikulum 2006).
Karena fungsi bahasa yang utama adalah sebagai sarana komunikasi, pedekatan pembelajaran bahasa menekankan aspek kinerja dan atau kemahiran berbahasa dan fungsi bahasa adalah pendekatan komunikatif (Kurikulum 2004).
Dengan demikian, pembelajaran bahasa tidak lagi belajar tentang sistem bahasa, melainkan berpikir bagaimana menggunakan bahasa secara benar sesuai dengan sistem itu. Jadi, secara pragmatis bahasa lebih merupakan suatu bentuk kinerja dan performansi daripada sebuah sistem ilmu. Pandangan ini membawa konsekuensi bahwa pembelajaran bahasa haruslah lebih menekankan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi daripada pembelajaran tentang sistem bahasa.
Yulianto (2008:2) mengemukakan bahwa ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan oleh guru dalam mengelola pembelajaran bahasa Indonesia di kelas. Pertama, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk lebih banyak memberikan porsi kepada pelatihan berbahasa secara nyata. Pelatihan ini diimplementasikan ke dalam empat aspek keterampilan berbahasa, yaitu membaca, menyimak, menulis, dan berbicara. Bahasa yang dipakai adalah yang sesui dengan situasi berbahasa, baik secara resmi maupun tak resmi. Dalam situasi resmi menggunakan bahasa yang normatif, sedangkan dalam situasi tak resmi kaidah-kaidah kebahasaan tertentu boleh dilanggar.
Kedua, aspek kebahasaan diajarkan hanya untuk membetulkan kesalahan ujaran siswa. Ketika dalam praktik berbahasa, siswa melakukan kesalahan ketatabahasaan, guru ‘menyadarkan’ siswa tentang yang diperbuat. Dengan demikian, porsi ketatabahasaan bukan menjadi yang utama.
Ketiga, keterampilan berbahasa nyata yang menjadi tujuan utama. Untuk mewujudkan hal ini, guru dapat memberikan tugas di luar kelas untuk menjangkau kegiatan berbahasa yang memang memerlukan situasi di luar kelas.
Keempat, membaca sebagai alat untuk belajar. Pelajaran membaca harus dapat menumbuhkan minat siswa untuk menyenangi kegiatan membaca.
Kelima, menulis dan berbicara sebagai alat bereksprsi dan menyampaikan gagasan.
Keenam, kelas menjadi tempat berlatih menulis, membaca, dan berbicara dalam bahasa. Untuk menghadirkan situasi yang senyata-nyatanya di kelas, perlu dilkukan kegiatan bermain peran. Dalam bermain peran inilah, kelas menjadi pusat kegiatan berbahasa.
Ketujuh, penekankan pengajaran sastra pada membaca sebanyak-banyaknya karya sastra. Kegiatan membaca karya sastra harus menjadi bagian kehidupan siswa.
Kedelapan, pengajaran kosa kata harus diarahkan untuk menambah kosa kata siswa. Penambahan kosa kata harus memperhatikan gradasi. Artinya, baik jumlah maupun tingkat kesulitannya harus meningkat.. Pengajaran kosa kata ini dapat diintegrasikan dalam keterampilan berbahasa seperti yang dimaksud dalam kurikulum.

B. Prinsip Pembalajaran Kebahasaan
Kebahasaan diajarkan untuk membetulkan kesalahan ujaran siswa. Dengan demikian, porsi kebahasaan bukan menjadi yang utama.
Yulianto (2008:5) mengemukakan beberapa prinsip pembelajaran kebahasaan. Pertama, pembelajaran komponen kebahasaan merupakan pelatihan pemahaman dan penggunaan bahasa yang bermakna sesuai dengan keperluan komunikasi. Kedua, pembelajaran komponen kebahasaan terintegrasi ke dalam pembelajaran keterampilan berbahasa. Ketiga, pembelajaran komponen kebahasaan tidak menganut tahap-tahap pembelajaran secara linguistik. Pembelajaran sintaksis harus dilakukan secara terpadu berdasarkan wacana yang kontekstual, fungsional, bermakna, dan bermanfaat, bagi siswa maupun lingkungannya.

C. Pembelajaran sastra
Sastra adalah suatu bentuk tanda seni yang bermediakan bahasa. Sastra hadir untuk dibaca dan dipahami serta selanjutnya dimanfaatkan, antara lain untuk mengembangkan wawasan kehidupan. Jadi pembelajaran sastra seharusnya ditekankan pada kenyataan bahwa sastra merupakan salah satu bentuk seni yang dapat diapresiasi. Oleh karena itu, pembelajaran sastra haruslah bersifat apresiatif (Kurikulum 2004 SMA, Pedoman Khusus Silabus dan Penilaian, Mata Pelajaran Bahasa dan sastra Indonesia).
Dari maksud pembelajaran sastra di atas, dapat diketahui bahwa muara akhir pengajaran sastra adalah terbinanya apresiasi dan kegemaran terhadap sastra yang didasari oleh pengetahuan dan keterampilan di bidang sastra.
S. Effendi (dalam Aminudin, 2004:35) mengatakan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga menumbuhkan pengertian penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra. Dari pendapat tersebut dpat disimpulkan bahwa kegiatan apresiasi dapat tumbuh dengan baik apabila pembaca mampu menumbuhkan rasa akrab dengan teks sastra yang diapresiasinya, menumbuhkan sikap sungguh-sungguh serta melaksanakan kegiatan apresiasi itu sebagai bagian dari hidupnya.
Pembelajaran apresiasi sastra merupakan bagian integral dari pembelajaran komponen pemahaman bahasa. Artinya, pembelajaran sastra terpusat pada pemahaman, penghayatan, dan penikmatan atas karya sastra. Prinsip-prinsip pembelajaran apresiasi sastra yang perlu diperhatikan sebagai berikut.
1. Pembelajaran sastra dapat meningkatkan kepekaan rasa terhadap budaya bangsa, khususnya bidang keseniaan.
2. Pembelajaran sastra memberikan kepuasan batin dan keterampilan pengajaran karya estetis melalui bahasa.
3. Pembelajaran sastra bukan merupakan pengajaran sejarah sastra, aliran, dan teori tentang sastra.
4. Pembelajaran sastra merupakan pembelajaran untuk memahami nilai kemanusiaan dari karya-karya tersebut.

Pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa mengapresiasi karya sastra. Kegiatan mengapresiasikan karya sastra berkaitan erat dengan pelatihan mempertajam perasaan, penalaran, dan daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup.





Daftar Pustaka

Aminudin. 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar baru Algesindo.
Depdikbud. 1994. Kurikulum 1994: GBPP SMU Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta.
Depdiknas, Dirjen Pendasmen. 2004. Kurikulum 2004 SMA Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia.
Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan: Standar isi. Jakarta.

Suyatno. 2004. Teknik Pembelajaraan Bahasa dan Sastra. Surabaya:SIC.
Yulianto, Bambang. 2008. Aspek Kebahasaan dan Pembelajarannya. Surabaya:Unesa University Press.

DUALISME ASAS PENULISAN UNSUR SERAPAN DALAM TATA BAHASA BAKU BAHASA INDONESIA

DUALISME ASAS PENULISAN UNSUR SERAPAN DALAM TATA BAHASA BAKU BAHASA INDONESIA
Oleh: Risa Rahayu

Ragam Bahasa Baku
Dalam bahasa Indonesia ditemukan sejumlah ragam bahasa. Ragam bahasa merupakan salah satu dari sejumlah variasi yang terdapat dalam pemakaian bahasa. Variasi itu muncul karena pemakai bahasa memerlukan alat komunikasi yang sesuai dengan situasi dan kondisi.
Berdasarkan media atau sasarannya, ditemukan ragam lisan dan ragam tulis (Sugono, 1989:10). Halim (1986:5) berpendapat bahwa di dalam ragam tulis ditemukan ragam baku dan ragam tidak baku. Dalam hal ini, yang dimaksud ragam baku ialah ragam baku nasional. Terkait dengan ragam baku ini, ada beberapa pengertian tentang bahasa baku.
1. Bahasa baku atau bahasa standar ialah ragam bahasa yang berkekuatan sanksi sosial dan yang diterima masyarakat bahasa sebagai acuan atau model (Moeliono, 1989:43).
2. Bahasa Indonesia baku ialah ragam bahasa yang mengikuti kaidah bahasa Indonesia, baik yang menyangkut ejaan, lafal, bentuk kata, struktur kalimat, maupun penggunaan bahasa (Junaiyah, 1991:18).
3. Bahasa baku ialah suatu bentuk pemakaian bahasa yang menjadi model yang dapat dicontoh oleh setiap pemakai bahasa yang hendak berbahasa secara baik dan benar (Moeljono, 1989:23).
4. Bahasa baku atau bahasa standar ialah ragam bahasa atau dialek yang diterima untuk dipakai dalam situasi resmi, seperti dalam perundang-undangan, surat-menyurat resmi, dan berbicara di depan umum ( Krisdalaksana, 1982:221).
Dari keempat rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa (1) bahasa baku merupakan sebuah ragam bahasa; (2) dalam ragam bahasa baku harus tecermin penggunaan kaidah yang benar; (3) bahasa baku dijadikan acuan atau model oleh masyarakat pemakai bahasa; dan (4) ragam baku digunakan dalam situasi resmi.

Unsur Serapan dalam Bahasa Indonesia
Kita menyadari bahwa tidak setiap penutur bahasa Indonesia berkesempatan yang cukup untuk mempelajari bahasa mereka. Akibatnya, ditemukan banyak kesalahan (ketidakbakuan) dalam praktik kebahasaan mereka. Hal ini juga terjadi dalam pemakaian atau penulisan unsur serapan. Kekacauan penulisan unsur serapan disebabkan sebagian besar pemakai bahasa Indonesia kurang, bahkan tidak memperhatikan kaidah penyerapan ketika hendak menggunakan unsur asing.
Penyerapan unsur asing dalam pemakaian bahasa Indonesia dibenarkan apabila konsep yang terdapat dalam unsur asing itu tidak ada dalam bahasa Indonesia, atau unsur asing itu merupakan istilah teknis sehingga tidak atau kurang tepat apabila dipakai unsur Indonesianya. Sebaliknya, apabila dalam bahasa Indonesia sudah ada unsur yang mewakili konsepnya, penyerapan unsur asing tidak dibenarkan (Muslich, 2009:146). Dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (1988: 422) dijelaskan bahwa sumber istilah ada tiga.
1. Kosa Kata bahasa Indonesia
Kata Indonesia yang dapat dijadikan bahan istilah ialah kata umum, baik yang lazim, yang memenuhi salah satu syarat atau lebih berikut ini.
a. Kata yang dengan tepat mengungkapkan konsep, proses, keadaan atau sifat yang dimaksudkan, seperti tunak (steady) yang bermakna tidak henti-hentinya (bekerja dan sebagainya) atau tetap patuh atau betah (KBBI 2001:1223).
b. Kata yang lebih singkat daripada yang lain yang berujukan sama, seperti gulma jika dibandingkan dengan tumbuhan pengganggu.
c. Kata yang tidak bernilai rasa (konotasi) buruk dan yang sedap didengar (eufonik), seperti pramuria jika dibandingkan dengan hostes.
2. Kosa kata Bahasa Serumpun
Jika di dalam bahasa Indonesia tidak ditemukan istilah yang dengan tepat dapat mengungkapkan konsep, proses, keadaan, atau sifat yang dimaksudkan, istilah dicari dalam bahasa serumpun baik yang lazim maupun yang tidak lazim yang memenuhi ketiga syarat yang disebutkan pada poin 1 di atas, misalnya gambut (dari bahasa Banjar) untuk menerjemahkan peat (bahasa Inggris).
3. Kosa kata bahasa asing
Jika dalam bahasa Indonesia maupun bahasa serumpun tidak ditemukan istilah yang tepat, bahasa asing dapat dijadikan sumber peristilahan Indonesia. Istilah baru dapat dibentuk dengan jalan menerjemahkan, menyerap, dan menyerap sekaligus menerjemahkan.
Penyerapan itu tidak menunjukkan bahwa bahasa Indonesia miskin kata. Penyerapan unsur asing merupakan fenomena biasa bagi setiap bahasa. Hal ini terjadi karena setiap bahasa mendukung kebudayaan pemakainya; sedangkan kebudayaan pemakai bahasa satu dengan yang lain tidak sama. Pada suatu saat, karena masyarakat pemakai bahasa yang satu dengan yang lain berkomunikasi maka timbullah akulturasi, yaitu saling berpengaruhnya kebudayaan satu dengan yang lain. Salah satu wujud dari akulturasi itu adalah saling menyerap konsep.
Dalam buku Ejaan Yang Disempurnakan (2009:51) dikemukakan bahwa proses penyerapan istilah asing dapat dipertimbangkan jika salah satu syarat atau lebih beberapa hal di bawah ini dapat dipenuhi.
1. Istilah serapan yang dipilih lebih cocok karena konotasinya.
2. Istilah serapan yang dipilih lebih singkat jika dibandingkan dengan terjemahan Indonesianya.
3. Istilah serapan yang dipilih dapat mempermudah tercapainya kesepakatan jika istilah Indonesia terlalu banyak sinonimnya.

Dualisme Asas Penyerapan
Jika kita mengamati kata serapan dalam bahasa Indonesia dengan seksama, ditemukan asas penyerapan yang mendua, yaitu (1) penyerapan yang cenderung berdasarkan bentuk, dan (2) penyerapan yang cenderung berdasarkan ucapan.
1. Penyerapan yang Cenderung Berdasarkan Bentuk
Ciri utama kata serapan yang cenderung berdasarkan bentuk ialah bahwa bentuknya tidak jauh berbeda dengan bentuk kata sumber, penyerapannya bersistem, dan sistemnya cukup jelas ( Sabariyanto, 1999:249). Kata serapan yang cenderung berdasarkan bentuk dapat dipilah menjadi dua, yaitu (1) penyerapan secara utuh, dan (2) penyerapan dengan perubahan yang sistematis.
a. Penyerapan secara utuh
Ada beberapa sumber bahasa asing yang menjadi sumber kata serapan, misalnya bahasa Arab, bahasa Inggris, bahasa Belanda, dan bahasa Jawa.
Contoh serapan dari bahasa Arab abad, dan abjad.
Contoh serapan dari bahasa Inggris investor dan atom.
Contoh serapan dari bahasa Belanda afdruk.
Contoh serapan dari bahasa Jawa bungkuk dan macet.
b. Penyerapan dengan perubahan yang sistematis
Kata serapan yang proses penyerapannya dengan perubahan yang sistematis cukup banyak, misalnya di bawah ini.
1) Dalam bahasa Inggris kosa katanya diakhiri dengan konsonan, dalam bahasa Indonesianya diakhiri dengan huruf vocal a.
Contoh:
Kata bahasa Inggris Kata bahasa Indonesia
act akta
legend legenda
2) Bunyi –ief dalam bahasa Belanda atau –ive dalam bahasa Inggris, berubah menjadi if setelah kata asing itu diserap ke dalam bahasa Indonesia.
Contoh:
Kata asing Kata bahasa Indonesia
actief/active aktif
defensief/defensive defensive
3) Bunyi –teit dalam bahasa Belanda atau –ty dalam bahasa Inggris berubah menjadi tas setelah kata asing itu diserap ke dalam bahasa Indonesia.
Contoh:
Kata asing Kata bahasa Indonesia
activiteit/activity aktivitas
imuniteit/imunity imunitas
4) Huruf vokal e akhir kata pada sejumlah bahasa Inggris menjadi huruf
Vokal a setelah kata itu diserap ke dalam bahasa Indonesia.
Contoh:
Kata asing Kata bahasa Indonesia
adjective adjektiva
curve kurva
5) Dalam bahasa Arab suku pertama berhuruf vokal a, dalam bahasa Indonesia suku pertama berhuruf vokal e.
Contoh:
Kata bahasa Arab Kata bahasa Indonesia
jamaah jemaah
janazah jenazah

2. Penyerapan yang Berdasarkan Ucapan
Kata serapan yang penyerapannya berdasarkan ucapan dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu (1) penyerapan yang kurang sistematis, dan (2) penyerapan yang sistematis. Ciri utama kata serapan yang penyerapannya kurang bersistem ialah bahwa bentuknya cukup jauh berbeda dengan kata sumber atau kata asingnya. Ciri kata serapan yang bersistem ialah bentuk kata serapan agak mirip dengan kata sumber, tetapi ada bunyi atau huruf yang membedakannya dengan kata sumber atau kata asingnya ( Sabariyanto, 1999: 252).
a. Penyerapan yang kurang sistematis
Contoh:
Kata asing Kata serapan
beefsteak bistik
gouverneur gubernur
b. Penyerapan yang sistematis
Contoh:
Kata asing Kata serapan
accu aki
imagination imajinasi
Sebagai adanya dua asas penyerapan di atas, timbullah sejumlah kata baku yang penyerapannya ’tidak taat asas’, misalnya seperti berikut.
1. Huruf konsonan g pada sejumlah kata bahasa Inggris ada yang tetap g, ada yang menjadi huruf konsonan j dan s setelah kata itu diserap ke dalam bahasa Indonesia.
a. Huruf konsonan g yang tetap
Contoh:
Kata bahasa Inggris Kata bahasa Indonesia
detergent detergen
dirigent dirigen
energy energi
ideologi ideologi
b. Huruf konsonan g berubah menjadi j dan s
Contoh:
Kata bahasa Inggris Kata bahasa Indonesia
imagination imajinasi
camouflage kamuflase
2. Huruf konsonan j pada sejumlah kata bahasa Inggris ada yang tetap j ada yang menjadi huruf y setelah kata itu diserap ke dalam bahasa Indonesia.
a. Huruf konsonan j yang tetap
Contoh:
Kata bahasa Inggris Kata bahasa Indonesia
adjective adjektiva
object objek
b. Huruf konsonan j berubah menjadi y
Contoh:
Kata bahasa Inggris Kata bahasa Indonesia
juridical yuridis
jurist yuris
Adanya dualisme asas penyerapan dan banyaknya aturan/ kaidah penyerapn dari bahasa asing ke bahasa Indonesia inilah yang menimbulkan kebingungan para pemakai bahasa Indonesia. Akibatnya timbullah kekacauan penyerapan yang berdampak pada munculnya bentuk-bentuk tak baku dalam praktik kebahasaan ketika harus menggunakan ragam bahasa Indonesia baku. Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa tidak setiap penutur bahasa Indonesia berkesempatan yang cukup untuk mempelajari bahasa mereka. Hal ini pulalah yang menyebabkan timbulnya ketidakbakuan unsur serapan ke dalam bahasa Indonesia.














DAFTAR PUSTAKA

Sungguh, As’ad (penyunting). 2009. Ejaan yang Disempurnakan. Jakarta: Bumi Aksara.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga). Jakarta: Balai Pustaka.
Halim, Amran. 1986. “Pembinaan Bahasa Indonesia: dalam majalah Widyaparwa Nomor 28, Tahun 1986. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa.
Junaiyah, H.J. 1991. Masalah Bahasa yang Patut Anda Ketahui I. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Moeljono, St. 1989. Bahasa Indonesia dan Problematikanya. Madiun: Widya Mandala.
Muslich, Masnur. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Sabariyanto, Dirgo. 1999. Mengapa Disebut Bentuk Baku dan Tidak Baku? (Kosa Kata) Untuk Anda yang Ingin Berbahasa Indonesia dengan Baik dan Benar. Jakarta: Mitra Gama Widya.
Sugono, Dendy. 1989. Berbahasa Indonesia dengan Benar. Jakarta: Priastu.

Benarkah Kita Bersungguh-Sungguh Hendak “Mengentas Kemiskinan”?



Benarkah Kita Bersungguh-Sungguh Hendak
“Mengentas Kemiskinan”?

“Mengentas Kemiskinan” menjadi sebuah slogan pemerintah. Slogan ini merupakan komitmen bangsa kita untuk meningkatkan kesejahteraan hidup atau dengan kata lain keluar dari kemiskinan. Akan tetapi, benarkah “mengentas kemiskinan” memiliki makna yang benar-benar sesuai dengan yang dimaksud dalam komitmen tersebut?
“Mengentas kemiskinan’ berasal dari dua kata, yaitu mengentas dan kemiskinan. Mengentas berasal dari kata entas yang merupakan bentuk verba. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengentas (bentuk verba) memiliki makna sebagai berikut: 1) mengangkat ( dari suatu tempat ke tempat lain); (2) mengeluarkan dari lingkungan cairan; (3) menyadarkan; memperbaiki nasib. Adapun kemiskinan merupakan bentuk nomina yang bermakna keadaan miskin.
Jika kita telaah lebih jauh dengan merujuk kepada makna tersebebut dalam kamus, ”mengentas kemiskinan” dapat bermakna: 1) mengangkat kemiskinan dari suatu tempat ke tempat lain, atau: (2) mengeluarkan kemiskinan dari suatu lingkungan, atau; (3) menyadarkan/memperbaiki nasib kemiskinan. Masalahnya sekarang, benarkah yang hendak kita angkat atau kita keluarkan atau kita sadarkan adalah kemiskinan? Mengapa kemiskinan hendak kita angkat atau kita keluarkan atau kita sadarkan? Tentunya ini bukan merupakan hal yang logis karena apapun yang kita lakukan dengan cara mengangkat, mengeluarkan, ataupun menyadarkan/memperbaiki nasib, yang namanya kemiskinan tetaplah kemiskinan. Dalam kamus, arti kata miskin adalah tidak berharta atau serba kekurangan. Dapatkah kemiskinan kita ubah nasibnya dengan cara mengentas seperti yang termaktub dalam makna mengentas di atas?
Yang dapat diubah nasibnya bukanlah kemiskinan, melainkan orangnya yaitu orang miskin. Dengan logika lain bahwa yang memiliki nasib adalah manusia atau orang, bukan kemiskinan. Oleh karena itu bentukan yang benar adalah “ mengentas orang dari kemiskinan” atau “mengentas rakyat dari kemiskinan”. Bentukan tersebut lebih tepat dan logis karena mengandung makna bahwa yang hendak dientas adalah orang atau rakyat. Dientas dari apa, maka jawabannnya adalah dari kemiskinan. Tentunya bentukan ini lebih tepat dan logis jika dibandingkan dengan “mengentas kemiskinan”.
Pantaslah kiranya bahwa bangsa Indonesia sangat sulit keluar dari kemiskinan karena slogan yang kita buat memang tidak bermaksud untuk memperbaiki nasib rakyat miskin tetapi memperbaiki kemiskinan yang tentunya hal ini sangatlah mustahil. Semoga kita berbahasa dengan baik dan benar karena bahasa merupakan bagian dari doa. Apa yang kita ucapkan, itulah sebuah doa. Mudah-mudahan hal ini dapat meluruskan kesalahan tersebut.



Minggu, 25 April 2010

Cerpan "Pertemuan Rahasia"

Cerpen
Pertemuan Rahasia
Karya Risa Rahayu
Guru SMAN 3 Surabaya


Senja selepas shalat ashar, aku menunggu kedatangan suamiku di teras. Mbok Ijah, rewangku, sedang mengajak Rino dan Rina berjalan-jalan. Dua bocah kakak beradik yang menjadi biji mataku.
Suara mobil tepat berhenti di depan pagar rumah. Keasyikanku membaca majalah kesayanganku buyar. Kupikir itu mobil suamiku. Aku bergegas menyambutnya. Kuintip lewat pintu pagar. Ternyata, bukan mobil suamiku. Tanpa melihat yang ada di mobil, aku segera membalikkan tubuh.
Baru empat langkah aku berjalan, terdengar suara tapak sepatu menuju ke arah pagar rumahku. Seketika itu kuurungkan niatku masuk rumah. Aku berbalik lagi. Aku berpikir, si empunya sepatu tentu pengendara mobil putih yang berhenti di depan pagar rumahku.
Dugaanku tak meleset. Sosok laki-laki bertubuh tegap, berpakaian rapi, dan berkaca mata hitam berdiri di depanku. Ia tersenyum dan berkata, “Selamat sore.”
“Selamat sore,” jawabku singkat sambil membukakan pintu pagar.
“Apakah benar ini rumah Nyonya Joko Pramono?”
“Ya, silakan masuk!”
Aku sedikit penasaran. Siapa laki-laki ini? Kulirik ia yang sedang berjalan di sampingku. Kaca mata hitamnya tak juga dilepas. Tiba-tiba aku merasa khawatir. Jangan-jangan …. Mengapa aku langsung menyuruhnya masuk, ya? Aku menyesal dengan keputusanku untuk langsung menyuruhnya masuk. Kuhentikaan langkahku dan kutanya maksud kedatangannya.
“Maaf, Anda siapa, ya?” tanyaku sambil menghentikan langkah.
“Saya teman kost Nyonya ketika di Jalan Mawar.”
Kuamati wajah itu sambil mengingat masa laluku. Tapi, tidak ada tanda kenanganku di gurat wajahnya.
“Boleh saya duduk, Nyonya?” tanyanya seolah-olah tahu gelisah hatiku.
“Silakan duduk!” kataku dengan hormat ketika sampai di teras.
Laki-laki itu pun duduk tepat di depanku. Saat itulah ia membuka kaca mata hitamnya. Seketika itu darahku berdesir. Jantungku berdegup cepat. Wajah itu mengingatkanku peristiwa sepuluh tahun yang lalu.
Apakah laki-laki yang duduk di depanku sekarang adalah…, ah tidak. Tidak mungkin bahwa itu … . Aku segera menguasai diriku.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku untuk menyembunyikan kegelisahanku
“Saya yakin kau mengenalku, Ayu?”
Ayu, … dia memanggil namaku. Sebuah panggilan lama yang sudah lama tak pernah kudengar. Hanya seorang yang memanggil “Ayu”. Ya, hanya seorang. Dia pasti …
“Bram”. Tanpa kusadari, apa yang tersimpan di hatiku keluar lewat mulut.
“Benar, kau Bram?” tanyaku untuk menepis ragu.
“Ya, aku Bramana Adicahya”, tegasnya . Ia tertawa senang menyambut ingatanku.
Sebersit ragu masih berkelebat di hatiku. Kuselidiki wajah itu. Mengapa banyak berubah? Apakah waktu sepuluh tahun mampu merubah wajah seseorang hingga aku tak mengenalinya sama sekali? Seharusnya, aku pasti mengingatnya. Bukankah ia …. Ah, aku tak mau mengingat hal itu lagi.
Aku mencoba mencari tanda khusus di badannya. Aha, aku ingat! Di punggung tangan kanannya, ada tahi lalat besar, nyaris seperti tompel. Pas sekali! Punggung tangan kanan itu, kebetulan menghadap aku. Tangan kanannya memegang dengkulnya. Di punggung telapak tangan itu, masih ada tahi lalat yang mirip tompel. Kini aku yakin. Ia betul-betul Bram.
“Ah, kenapa tidak dari tadi kau katakan, Bram. Kau membuat aku penasaran. Panggil nyonya segala.”
“Bagaimana kabarmu?”
“Baik, seperti yang kau lihat.”
“Ya, kau tampak bugar.Rupanya kau bahagia.”
“Oh, so pasti “ jawabku agak sombong.
“Mulai dari pintu pagar, aku sudah tertawa dalam hati. Aku yakin, kau pasti lupa.”
“Ya, kau banyak berubah. Perutmu agak buncit,” kataku sambil memandang perutnya. “Sekarang, kau berkumis, tidak seperti dulu.” “Sebagian wajahmu berubah,” kataku sambil membetulkan letak kaca mata minusku. Kemudian, lanjutku “Dari mana kau tahu aku tinggal di sini? Dari mana pula kau tahu kalau namaku sekarang Nyonya Joko Pramono?”
Ia hanya tersenyum menanggapi pertanyaanku. “Kok sepi rumah ini? Kau belum punya anak?”
“Anakku dua. Yang sulung laki-laki. Adiknya perempuan. Mereka sedang jalan-jalan dengan pembantuku.”



“Suamimu?”
“Dia dinas ke luar kota, ke Pasuruan.”
“Jadi, kau sendirian sekarang?”
“Ya, begitulah”, kataku sambil beranjak dari tempat dudukku. “Sebentar, aku buatkan minum”.
Aku betul-betul penasaran dengan kedatangan Bram yang tiba-tiba. Kenapa dia datang? Apakah dia ingin …
Peristiwa itu terjadi sepuluh tahun yang lalu. Sekarang aku sudah punya suami dan anak.
“Sebaiknya, aku merahasiakan hal ini kepada, Bram,” kataku dalam hati ketika mengingat peristiwa lama itu. Dia tidak boleh tahu.
“Bagaimana kabar istrimu, Asri?” tanyaku ketika meletakkan sirup di meja.
Dia tidak segera menjawab. Tapi, menatapku dengan pandangan sedih.
“Dia sudah meninggal”, jawabnya pendek.
Aku terkejut dengan jawabannya. “Maafkan aku, Bram. Aku ikut berduka,” kataku berempati.
“Tak apa, terima kasih.”
Rona wajahnya berubah cerah ketika melihat perubahan wajahku yang seperti orang bersalah. Lalu kami terdiam beberapa detik.
“Minum, Bram!”
“Ya, terima kasih.”
Tiba-tiba aku merasakan suasana kaku. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Sementara, hatiku berkecamuk rasa gelisah, khawatir, dan entah apa lagi. Mungkin rasa penasaran.
“Oh ya, ada berita duka untukmu.”
“Berita duka?” Dahiku berkerut. “Berita duka apa?” tanyaku serius.
“Tantri meninggal dunia.”
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Kapan dan mengapa dia meninggal?” tanyaku kaget.
“Dua minggu yang lalu. Tepatnya hari Rabu 7 Februari, jam empat pagi di rumah sakit Saiful Anwar, Malang.” Ia menelan ludah sambil mengangkat kaki kirinya kemudian meletakkan di atas paha kanaannya.”
Tantri Rusnawati, sahabat lamaku meninggal. Ia teman satu kamar ketika kami masih kuliah dulu. Dia wanita yang baik, cantik, dan berbudi pekerti. Kami satu fakultas, yaitu fakultas ekonomi. Hanya beda jurusan, Tantri jurusan management dan aku akuntansi. Dialah teman dalam suka dan duka
Oh Tantri, hanya kau yang mengerti tentang diriku dan penderitaanku waktu itu. Tanpa kusadari, mataku mulai berkaca-kaca. Aku ingat kebaikannya ketika aku mengalami masa-masa sulit dahulu. Aku menyesal, mengapa baru tahu berita duka ini. Sahabat macam apa aku ini. Sahabat yang belum bisa membalas kebaikannya.
“Kenapa dia meninggal?” tanyaku sambil menyesali kebodohanku.
“Karena kanker. Kanker leher rahim.”
“Kanker leher rahim?” tanyaku heran.
Dua tahun yang lalu, aku bertemu dia. Tantri tampak bugar dan sehat. Bahkan berencana menikah tiga bulan yang akan datang. Ia berjanji akan mengundang aku dan suamiku. Kutunggu-tunggu undangannya tak juga datang.
“Kau tak bercanda, Bram?” tanyaku memastikan.
“Aku serius, Yu. Bahkan aku ikut menangani operasinya.”
Aku bertambah heran. “Dua tahun yang lalu, aku bertemu Tantri. Katanya, kau dinas di Bandung.”
“Ya, itu dulu. Tapi. Sejak dua tahun lalu, aku dipindahkan di Malang. Tantri sendiri tidak tahu kalau aku ada di Malang.”
“Apakah dia sudah menikah?”
“Sudah.”
“Kapan?”
“Kapan ya? Aku lupa. Dia pernah kok bercerita.”
“Dengan siapa?”
“Orang Malang. Tebak, siapa dia?”
“Aku nggak tahu,” kataku karena malas mikir.
“Kau pasti terkejut. Ingat enggak, laki-laki yang kost di depan rumah kost-kostanmu?”
“Ya, ingat. Tapi yang mana? Yang kost kan banyak, Bram.”
“Yang paling tinggi, berkumis, dan bervespa.”
“Rudi Sutopo.”
“Ya, betul. Mulanya, aku tak percaya kalau dia menikah dengan Rudi. Aku baru percaya ketika bertemu Rudi di rumah sakit. Di rumah sakit itulah kami bereuni.”
“Kankernya stadium berapa, Bram”
“Stadium dua. Sudah beberapa kali dikemoterapi. Hasilnya sudah mengering. Kemudian, dia menjalani operasi pengangkatan rahim. Ia meninggal satu hari setelah menjalani operasi.”
“Dia sudah punya anak?”
“Belum. Dia sebenarnya ingin punya anak secepatnya. Tapi sayang, kinginannya tidak terkabul..”
Bram lalu menghela nafas panjang. Ia mengeluarkan sebungkus rokok dan korek api. Merk rokok yang sama dengan sepuluh tahun yang lalu. Rupanya, rokok favorit Bram masih sama dengan sepuluh tahun yang lalu. Ia menyalakan sebatang rokok. Dihisapnya rokok itu dalam-dalam. Kemudian, dikeluarkannya pelan-pelan.
“Kamu masih merokok, Bram?” lanjutku “Aku kira, setelah menjadi dokter kebiasaan tidak sehatmu itu akan pulih.”
“Dunia ini memang aneh,” katanya seolah tidak perduli dengan omonganku tadi. “Di satu sisi, ada orang yang sangat mendambakan anak. Di sisi lain, ada orang yang justru tidak menginginkan kehadiran anak yang dikandungnya,” katanya dengan mata menerawang jauh.
Blak! Kata-kata Bram seperti menampar mukaku. Hatiku juga terasa perih seperti tertusuk belati tajam.
“Apa maksudmu?” tanyaku ketus. Aku sangat tersinggung dengan kata-kata Bram.
“Ayu, aku datang ke sini untuk memenuhi pesan Tantri sebelum meninggal.. Ia menginginkan agar aku menemuimu. Ia juga memberikan buku harianmu padaku.”
Aku kaget. Tak kuduga Bram berkata demikian. Dalam buku harian itu, terdapat rahasia yang selama ini kusimpan. Kalau toh ada orang yang tahu, hanya Tantrilah.
Tak kusangka bahwa Tantri benar-benar memenuhi janjinya padaku sepuluh tahun yang lalu. Demi aku, dia akan mencari Bram. Dia akan memberikan buku harianku kepada Bram.
Buku harianku yang diminta Tantri sebelum aku meninggalkan kost-kostanku. Kini, ada di tangan Bram. Tantri memenuhi janjinya. Hingga detik akhir usianya, ia masih ingat janji itu. Betapa tulus dan setianya Tantri. Diam-diam aku berkirim doa sebagai ucapan terima kasihku kepada Tantri.
Kutatap wajah Bram. Laki-laki yang pernah aku cintai. Laki-laki yang pernah kuharapkan menjadi pendamping hidupku. Laki-laki yang pernah memberikan cinta dan harapan padaku. Sunggguh perih hati ini jika mengingat itu semua.
“Kenapa kau tidak mengatakan semua itu padaku, Ayu? Kenapa? Bukankah aku orang yang paling berhak mengetahui?”
“Berhak katamu?” tanyaku dengan nada marah.
Tiba-tiba bibirku bergetar dan tumpahlah air mataku. Air mata yang sama, sepuluh tahun yang lalu. Bedanya, Dulu aku menangis di hadapan Tantri. Sekarang, aku menangis di hadapan Bram.
Segala rasa berkecamuk di hatiku. Perasaan marah, kecewa, terhina, dibodohi, penyesalan, dan kegagalan serta rasa berdosa berbaur jadi satu. Perasaan yang sama seperti sepuluh tahun yang lalu.

“Kau memang laki-laki pengecut. Laki-laki tak bertanggung jawab!” tatapku nanar pada Bram.
Meskipun masih terisak, aku bermaksud mendamprat laki-laki itu habis-habisan.
“Aku tidak tahu kalau kau hamil, Ayu!” belanya.
“Bodoh sekali kau, Bram. Kau tak pantas menjadi dokter. Kehamilan itu selalu menjadi resiko bagi pasangan yang melakukan hubungan intim,” tegasku.
“Lalu kemana saja kau setelah semua yang pernah kita lakukan? Kau anggap apa aku ini? Pelacur?”
“Ayu!” sela Bram. Aku tidak pernah menganggapmu demikian. Aku sangat mencintai dan menyanyangimu. Kau ingat, hubungan yang kita lakukan atas dasar cinta. Kau waktu itu adalah kekasihku.”
“Kekasih dalam tipuan” kataku dengan sengit.
“Tidak, Ayu.”
“Kalau aku kekasihmu, seharusnya kau memenuhi janjimu untuk segera melamarku. Tapi, kau justru menghilang. Tidak ada kabar sama sekali. Kau meninggalkanku dan membiarkan aku menanggung dosa dan penyesalan. Terlebih-lebih, menanggung malu.”
Bram terdiam. Ada gurat penyesalan di kerut keningnya. Aku melihat matanya berkaca-kaca. Ia segera menyeka air mata itu sebelum bergulir di pipinya.
“Di mana anakku sekarang, Ayu?”
“Kuangkat wajahku demi mendengar pertanyaan Bram. Sekali lagi kutatap tajam wajah itu. Wajah laki-laki yang telah menebarkan benih dalam rahimku sepuluh tahun yang lalu.
Bram berdiri dan beranjak duduk di sampingku. Tiba-tiba aku merasa jijik dengan laki-laki itu. Di mana perasaanku yang dulu kepada Bram? Apakah sudah hilang? Hilang digerus rasa sakit hatiku padanya.
Diam-diam, aku membandingkan parasaanku ini terhadap Mas Pram, suamiku. Sungguh bertolak belakang. Aku merasa bahwa Mas Pram satu-satunya lelaki sejati untukku.
“Di mana anakku, Ayu?” tanyanya membuyarkan pikiranku.
“Anakmu?” nadaku mencemooh. “Baru sadar kau, Bram kalau punya anak.”
“Ayu, aku minta maaf. Aku bersalah. Aku mengakui semua itu kesalahanku.”
“Sepuluh tahun yang lalu, kau meninggalkan aku, Bram. Kau meninggalkan aku dalam keadaan hamil. Kau pikir, aku sanggup menanggung itu semua sendiri?”
Sebuah kemarahanku yang sudah basi. Kemarahan yang kusimpan selama sepuluh tahun.
“Ayu, aku ingin menebus kesalahanku. Aku ingin hidup dengan anakku.” Ia berucap dengan nada memelas.
“Kau tidak lagi dapat memiliki anak itu. Ada yang lebih berhak untuk memilikinya.” Aku berkata dengan nada tinggi.
“Apakah anakku ada di antara kedua anak yang kausebutkan tadi?” tanya Bram penuh selidik.
Aku tidak segera menjawab. Kubiarkan dia dengan segala pikiran-pikirannya. Biarkan saja dia berpikir dan bertanya-tanya. Itu semua sebagai hukuman bagi kepengecutannya.
“Ayu, betulkah dugaanku?”
“Dia kini sudah berumur sembilan tahun, Bram,” jawabku mempermainkan pikirannya. “Kau tebak sendiri jenis kelaminnya. Kau bayangkan sendiri wajahnya dan sosok tubuhnya. Yang jelas, dia tidak mirip kamu. Apalagi berjiwa pengecut sepertimu,” cemoohku padanya.
Aku sudah tidak peduli lagi dengan sopan santun dan tata krama. Setiap ada kesempatan untuk mendamprat Bram, aku ambil kesempatan itu. Kudamprat dia dengan semauku. Sesukaku dan semau kata loncat dari mulutku.
Bram tertunduk lesu. Seolah pesakitan yang divonis hukuman mati. Tidak ada pembelaan apapun. Ia menyerahkan nasibnya pada aku, jaksa penuntut umum.
“Ijinkan aku, mengenal anakku?” pintanya sekali lagi.
“ Mintalah ijin kepada Allah,” jawabku sambil berkacak pinggang.
Setelah mengucapkan kata-kata itu, ada perasaan kehilangan yang amat dalam di hatiku. Ketakutan yang kini selalu menghantuiku. Ketidaksanggupanku berpisah dengan anakku.
Aku merasakan geletar kehilangan itu lagi. Geletar itu menyeruak keluar dari dalam dada hingga hanya tangis yang sanggup kulakukan. Aku menangis untuk hal yang sama. Sepuluh tahun yang lalu, aku menangis di hadapan dokter kandungan. Sakit perutku ketika dikuret masih bisa kutahan. Tapi, sedih hatiku kehilangan anakku tidak dapat kutahan lagi. Tidak ada kesedihan yang melebihi kesedihan seorang ibu kehilangan anaknya.
Sebuah tangisan panjang yang harus kusimpan sendiri selama sepuluh tahun. Kini tangisan itu tumpah lagi di hadapan ayah janin itu.
“Dia meninggal dalam kandungan,” kataku terisak. Isak penyesalan karena kecerobohanku yang tidak bisa menjaga titipan Allah di perutku. Tapi di akal sehatku, aku merasa bersyukur bahwa akhirnya Allah berkenan untuk mengambil jabang bayi yang hendak dititipkan-Nya padaku. Allah lebih tahu, apa yang terbaik bagiku dan bagi anakku. Aku juga bersyukur bahwa Allah memberiku kesempatan untuk bertobat dan membangun hidupku kembali.
“Kau gugurkan?” tanya Bram.
“Aku bukan pengecut sepertimu,” jawabku tersinggung.

Terbayang dalam ingatanku sepuluh tahun yang lalu. Meskipun semua itu berat bagiku, aku tetap bertekad mempertahankan janin itu. Bahkan aku bermaksud akan menjadi single parent jika bayi itu lahir. Tidak pernah terlintas di benakku untuk menggugurkannya. Aku akan melakukan dosa yang kedua jika menggugurkan janin itu, pikirku waktu itu. Aku bahkan sudah menyiapkan skenario jika keluarga besarku tahu. Aku akan tetap hidup bersama anakku tanpa membebani keluarga besarku. Aku siap menanggung resiko kesalahanku, tekadku waktu itu.
“Aku mengalami keguguran ketika janin berusia tiga bulan. Aku kecapaian. Di tengah cobaan berat yang aku alami, aku tetap berusaha menyelesaikan skripsiku. Aku tidak ingin mengecewakan keluargaku untuk yang kedua kalinya. Aku bertekad harus lulus tepat waktu. Tapi aku juga harus bekerja untuk membiayai persalinanku. Aku tidak ingin keluargaku tahu kalau aku hamil di luar nikah. Aku tidak memberitahukan keluargaku. Aku bekerja siang hingga malam. Aku bekerja menjadi guru privat di tiga keluarga. Aku memberikan les privat semua pelajaran untuk siswa SD. Setiap hari aku mendatangi tiga keluarga tersebut secara bergiliran. Jarak rumah ketiga keluarga itu berjauhan. Aku tempuh dengan sepeda motor. Aku kecapaian. Tidak hanya capai fisik, tapi juga pikiran karena harus konsentrasi ke skripsi. Mentalku juga capai, Bram.”
Bram meneteskan air mata mendengar ceritaku. Tapi aku tidak peduli dengan air mata itu. Kuanggap dia yang telah menyebabkan aku kehilangan janin itu.
“Aku menglami pendarahan hebat sepulang memberikan les privat. Malam hari, jam sepuluh, ibu kost membawaku ke rumah sakit. Dokter mengatakan, janin itu tidak dapat dipertahankan. tidak ada pilihan lain, aku harus dikuret.”
“Andai kau memenuhi janjimu untuk segera menikahiku, aku tidak akan bekerja keras sendiri. Aku dan kamu tidak akan kehilangan bayi itu,” kataku dengan suara parau. Kemudian lanjutku, “Tapi, mungkin bayi itu sadar bahwa kelak jika lahir dia tidak akan berbapak.”
“Oh, …aku bapaknya, Ayu.”
“Bapak yang telah memilih menikah dengan wanita pilihan keluarganya? Bapak yang tidak punya pendirian? Bapak yang tidak punya nyali untuk mempertahankan cintanya kepada keluarganya?” Pertanyan bertubi-tubi yang kuderumkan pada Bram.
“Ayu, …”
“Bram, dengar baik-baik,” kataku sambil berdiri lalu bersandar pada jendela.
“Saat kutahu bahwa aku hamil, aku berkali-kali menghubungimu dengan datang ke rumahmu. Tapi, seluruh keluargamu selalu mengatakan bahwa kau tidak ada. Hingga Tantri mengabarkan padaku bahwa kau telah menikah dengan Asri, wanita pilihan ibumu, yang pernah kau ceritakan padaku.”

Bram menghela nafas panjang. Dari raut wajahnya kutahu bahwa dia sangat menyesal dan bersalah.
“ Maafkan aku, Ayu. Itu semua kesalahannku. Aku tidak punya nyali untuk memutuskanmu. Terlebih-lebih mengabarkan hal itu kepadamu.”
“Kau tidak hanya tidak punya nyali untukku. Tapi, juga tak bernyali berhadapan dengan ibumu sebagai tanggung jawab perbuatanmu, “ selaku.
“Aku mendapat tuntutan dari keluarga besar ibuku. Antara aku dan Asri, masih ada hubungan keluarga. Orang tua Asri dan orang tuaku telah menjodohkan kami. Aku tidak bisa mengelak karena ibuku sakit jantung dan komplikasi penyakit yang lain. Nyawa ibuku di ujung tanduk ketika menikahkanku.”
Aku masih tidak bisa menerima pembelaan Bram. Tapi aku juga merasa bahwa segalanya telah berlalu. Tidak ada gunanya diungkit lagi. Toh antara aku dan Bram sudah punya jalan hidup sendiri-sendiri.
“Bertahun-tahun aku mendambakan anak. Anak yang lahir dari benihku sendiri. Perkawinanku dengan Asri hampir retak gara-gara kami tidak punya anak. Dua tahun yang lalu, Asri minta cerai dengan alasan ia tidak bisa memberikan anak padaku. Dokter telah memvonis istriku bahwa rahimnya harus diangkat untuk menyelamatkan nyawanya akibat kecelakaan.”
“Kecelakaan?” tanyaku datar tanpa ekspresi. Aku jadi heran.
“Ya, kecelakaan yang mengakibatkan pendarahan yang sulit dihentikan. Pendarahan itu berasal dari sobeknya rahim Asri. Tidak hanya Asri yang menjadi korban , aku juga harus menjalani operasi plastik di wajahku.”
“Pantas aku tidak mengenalmu tadi, Bram” kataku di dalam hati.
Aku tidak lagi perduli dengan kehidupan Bram. Terlebih-lebih dengan nasib Asri. Aku tidak menaruh dendam dan sakit hati dengan wanita itu. Tapi, aku juga tidak merasa kasihan dan tidak perduli dengan nasib buruk yang dialaminya. Bagiku itu sudah lakon hidupnya. Toh aku juga pernah melakoni nasib buruk.
Bram tersenyum kecut, lalu ia melanjutkan.
“Satu tahun yang lalu, Asri meninggal dunia. Ia sangat menderita karena menyadari bahwa ia bukanlah wanita yang sempurna.”
Bram menghampiriku,” Aku dan Asri sudah menanggung semua kesalahanku padamu, maafkan aku, Ayu.”
Aku berpikir: bukankah karma telah menentukan jalannya sendiri. Ia telah menghunuskan pedangnya di hati orang yang ingin ia lukai.
“Sudahlah, Bram. Aku sudah menjelaskan kepadamu tentang anak kita. Kini, tidak ada lagi kenangan yang tersisa di antara kita. Kau tahu, aku sudah menemukan hidupku di antara Mas Pram dan kedua anak kami” kataku sambil melihat jam tangan di pergelangan kiriku.
“Maafkan aku jika aku harus menyuruhmu pulang. Sebentar lagi, anak-anakku dan suamiku pulang. Aku tidak ingin mereka mengenal kau. Aku juga tidak ingin, mereka mengenal aku seperti sepuluh tahun yang lalu.”
“Ayu, aku sungguh minta maaf padamu,” tegas Bram.
Jawabanku adalah melangkah menuju pagar dan membuka pagar lebar-lebar. Bram mengikuti langkahku. Ketika sampai di pintu pagar, aku berkata kepada Bram,” Bakar buku harianku itu Bram. Jangan pernah kembali untuk menemuiku lagi. Dan, jangan katakan apapun kepada anak dan suamiku,” kataku mantap.
Bram tidak menjawab dan segera membuka pintu mobil. Dengan cepat ia menyalakan mesinnya. Mobil itu pun melaju tanpa mengucapkan salam padaku.
Ketika mobil Bram menghilang di tikungan jalan, Rino dan Rina berlari menghampiriku. “Maama… teriak mereka berbarengan. Aku pun membuka kedua tanganku hendak memeluk mereka. Mereka berlomba memelukku. Kuraih erat dalam pelukanku. Kuciumi kedua bocah kesayanganku dan Mas Pram itu. Dalam hati aku berkata, aku tidak akan mengulang kesalahanku untuk yang kedua kalinya. Rumah tanggaku adalah sorgaku. Aku, suamiku, dan anakku adalah penghuni sorga nan indah itu. Aku akan menjaganya selamanya.
Pagar kututup. Aku berdoa semoga suami dan anak-anakku tidak pernah mengenal Bram dan mengetahui masa laluku sepuluh tahun yang lalu. Ini sebuah rahasiaku.