Minggu, 25 April 2010

Sastra Sebuah Tinjauan

SASTRA SEBUAH TINJAUAN
Oleh : Risa Rahayu
S-2 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UNMUH Surabaya


1. SOSIOLOGI

Pendapat Aristoteles tentang seni “Ars Imitatur Naturam”, yaitu seni adalah miniatur kehidupan. Terkait dengan hal tersebut, sastra bagian dari seni, bolehlah dikatakan bahwa karya sastra merupakan miniatur kehidupan.
Tinjauan sastra secara sosiologis berpijak pada teori Aristoteles tersebut di atas dan paham bahwa sastra merupakan “imitation of reality” atau “reflection reality”. Sastra merupakan imitasi sebuah realita hidup. Sastra juga dikatakan cermin kenyataan hidup.
Sejalan dengan hal tersebut di atas, Lucian Goldman (2002:189) mengatakan bahwa sastra merupakan sebuah fakta kemanusiaan, fakta kejiwaan, dan fakta kesadaran kolektif sosiokultural yang muncul sebagai produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang selalu ada dalam masyarakat
Karena berangkat dari fakta kemanusiaan itulah, A.Teew (2002:189) menegaskan bahwa sastra tak pernah berangkat dari kekosongan. Karya sastra tak jatuh dari langit begitu saja, namun lahir sebagai sebuah refleksi dari realitas sosial dan refleksi kesejarahan. Senada dengan pendapat di atas, Rolnad Tanaka mengatakan bahwa karya sastra tidak mungkin hadir dengan tiba-tiba tanpa peranan faktor-faktor di luar sastra. Sistem sastra berjalan erat sekali dengan sistem sosial budaya sehingga baik eksplisit maupun implisit, sastra selalu menggambarkan konstruksi realitas sosial budaya yang sedang terjadi.
Sastra sebagai refleksi dari kenyataan hidup di masyarakat, sulit diingkari kebenarannya. Hal ini dikarenakan hal-hal berikut.
a. Sastra lebih mudah mengeksplorasi, memotret, dan memindahkan kenyataan sosial ke dalam kenyataan imajinatif sastra.
b. Sastrawan tidak mungkin hidup terasing dari masyarakat. Ia hidup dalam sebuah realitas sosial. Ia mengalami pergulatan-pergulatan dengan realitas sosial tersebut. Semua pergulatan-pergulatan yang dialaminya itu menjadi bahan inspirasi yang menarik bagi sastrawan. Bentuk sastra yang absurd sekali pun merupakan hasil pergulatan pergulatan sastrawan dengan realitas sosial yang dihadapinya.
Sebagai lahan persemaian bagi kelahiran karya sastra, masyarakat menyediakan berbagai ragam kehidupan. Dari kehidupan yang profan hingga kehidupan yang penuh kemuliaan; dari kehidupan di kampung kumuh hingga meropolitan. Di mana pun sastrawan dapat memilih angle kehidupan masyarakat yang menarik perhatiannya
Bukti bahwa karya sastra merupakan refleksi dari kenyataan hidup dapat ditemukan dalam berbagai karya sastra. Novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer dan Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari merupakan contoh karya sastra yang merefleksikan kehidupan masyarakat tempat/lingkungan sosial pengarang hidup.
Kedua novel tersebut menjadi “reflection reality” nasib wanita Indonesia pada zamannya (zaman dibuatnya karya sastra tersebut). Mariane Katopo (dalam Hutomo, 1993:240) mengatakaan sebagai berikut:
“Adalah kenyataan bahwa lebih dari lima puluh persn penduduk Indonesia adalah perempuan, dan lebih dari sembilan puluh persen hidup dalam lingkungan pertanian. Yang hidup dalam lingkungan perkotaan pada umumnya hidup dalam keadaan yang kurang menggembirakan. Sejauh mana derita dan juang manusia seperti ini, apalagi yang perempuan, diungkapkan dalam sastra kita? Suatu sumber yang amat kaya, yang belum cukup ditimba. Gadis Pantai (Pramudya Ananta Toer), atau Pariyem (Linus) cukup membuktikannya”.
Yang dikatakan oleh Mariane Katopo adalah benar. Nasib yang menimpa Gadis Pantai , nama simbolik gadis nelayan di daerah Rembang (dari lingkungan abangan Jawa), sama nasibnya dengan Pariyem (dari lingkungan Kristen Jawa). Gadis Pantai menjadi selir piaraan Bupati Rembang. Pariyem menjadi selir piaraan bangsawan Yogyakarta. Kedua novel ini merupakan refleksi hidup di lingkungan bangsawan Jawa pada umumnya laki-laki memiliki istri lebih dari satu. Istri-istri kedua, ketiga, dan seterusnya merupakan selir, yang kedudukannya tentunya tidak sederajat dengan istri pertama. Baik Gadis Pantai maupun Pariyem, keduanya mengalami nasib yang sama. Mereka mengalami hidup yang tidak berbahagia. Hal ini tentunya sama dengan kenyataan hidup yang ada. Selir-selir bangsawan memang mendapat materi yang cukup dan bahkan bagi sebagian wanita, ketika pertama kali dijadikan selir oleh sang bangsawan adalah kebanggaan. Mereka merasa naik derajat atau status sosial. Tetapi ketika menjalani kenyataan hidup bahtera berumah tangga, barulah mereka sadar, bahwa mereka hanyalah wanita kesekian dari suaminya. Terlebih-lebih, mereka tidak memiliki derajat dan status sosial yang sama dengan istri pertama. Di lingkungan keraton, istri pertama merupakan permaisuri, sedangkan selir tetaplah selir. Materi bukan segala-galanya untuk menjamin kebahagiaan hidup. Hal inilah yang tentunya dirasakan oleh para wanita yang menjadi selir. Hal seperti ini terefleksi dalam diri tokoh Gadis Pantai dan Pariyem.
Di dalam Ronggeng Dukuh Paruk, realitas sosial dan adat istiadat Jawa, terutama di desa juga terekflesi dalam diri tokoh Srintil, sang ronggeng. Peri hidup Srintil adalah cermin hidup wanita desa yang diterkam adat istiadat untuk menjadi ronggeng. Ronggeng adalah jenis pekerjaan di desa. Ronggeng adalah penari tradisional, dilengkapi dengan selendang di leher sebagai kelengkapan menari. Yang menjadi ronggeng adalah wanita. Selain mendapatkan upah dari pihak yang menyewa , ronggeng juga mendapatkan bonus uang dari laki-laki yang ingin menari berpasangan bersama ronggeng. Peri hidup ronggeng dalam realitas sosial terefleksi dalam diri tokoh Srintil Ronggeng Dukuh Paruk.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa karya sastra merupakan refleksi kenyataan hidup di masyarakat. Akan tetapi, walaupun begitu, pendirian bahwa karya sastra adalah “dunis rekaan” tetap menjadi bahan pertimbangan kita dalam menangkap realitas sosial yang tercermin dalam karya sastra. Hutama (1993:243) mengatakan bahwa kebenaran karya sastra harus dicocokkan dengan kenyataan di lapangan, dengan data konkret hasil penelitian.

2. BUDAYA
Kebudayaan ialah hasil kegiatan dan pencitaan budi atau akal manusia, seperti kepercayaan, ilmu pengetahuan, adat istiadat, kesenian, dan sebagainya. Jadi, kesenian ialah cabang kebudayaan sehingga dapat dikatakan pula bahwa kesusastraan itu cabang kebudayaan.
Namun demikian, orang cenderung menyebut seni dan sastra sebagai dua fenomena budaya yang terpisah. Secara intuitif orang akan maklum bahwa sastra bukan sepenuhnya seni, atau mungkin lebih tepat dikatakan bahwa sastra adalah seni tetapi juga lebih dari seni. Sastra adalah suatu kecakapan menggunakan kata-kata berbentuk dan bernilai seni.
Terkait antara sastra dan budaya, khususnya Indonesia, Mursal Esten (dalam Sastrawardoyo, 1992:71) mengatakan bahwa sastrawan Indonesia hidup dalam dua dunia, yaitu dunia budaya etnis dan dunia budaya Indonesia. Kreativitas sastrawan adalah dunia yang kompleks yang menyangkut lingkungan sosio-kultural.
Dalam kaitan sosio-budaya ada dua jalur perkembangan sastra Indonesia. Jalur pertama berorientasi pada kebudayaan Barat, yang diwakili oleh Sutan Takdir Alisyahbana dan Surat Kepercayaan Gelanggang. Kesusastraan dalam jalur ini memperlihatkan penolakan terhadap konvensi-konvensi sastra yang dikenal sebelumnya. Kesusastraan dalam jalur ini dinamakan “sastra kota”
Sedang pada jalur sastra yang kedua terdapat bentuk sastra yang lahir melalui pertemuan dan konsensus antarbudaya etnis dengan budaya lain ( seperti budaya agama) dan bahkan dengan budaya Barat. Bentuk sastra ini berbicara tentang masyarakat yang “di bawah” dibandingkan dengan bentuk sastra pada jalur pertama.
Proses perkembangan kesusastraan Indonesia pada jalur kedua ini dimulai pada tahun 1960 setelah generasi yang tadinya beroleh pendidikan Barat diganti oleh generasi baru, yang penghayatan terhadap nilai-nilai budaya tradisional masih cukup mendalam.
Mursal esten juga mengatakan bahwa sastrawan dalam proses kreatifnya dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya tradisional. Nilai budaya yang terdapat dalam karya sastra adalah warna, yang tidak hanya pada kulit tetapi pada hal yang menyangkut esensi sastra.
Beberapa karya sastra yang menunjukkan adanya perpaduan budaya etnis dan budaya lain, misalnya sajak-sajak karya Sutardji Calzoum Bachri yang bertolak pada mantra, Ibrahim Sattah dan Hamid Jabbar dari dzikir, sajak-sajak Husni Djamaludin yang tertolak dari konvensi sastra Toraja, Rusli A, Malem dari sastra Aceh dan sebagainya.
Aspek budaya yang yang terdapat dalam karya sastra tampak dalam pemakaian bahasa, cara berpakaian dan tingkah laku tokoh, adat istiadat para tokoh, cara berpikir para tokoh, lingkungan hidup, kepercayaan tokoh, sejarah, cerita rakyat dan kepercayaan yang khas bagi suatu daerah.
Seperti Atheis yang kisahnya berlaku di Bandung, maka gejala kehidupan masyarakat Sunda di kota itu memberikan warna budaya dalam novel tersebut. Tidak hanya gejala kehidupan masyarakat Sunda tetapi juga pemakaian bahasa/ kata-kata Sunda yang juga banyak diselipkan dalam penuturan kisahnya. Demikian juga, Burung-Burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya yang menampilkan budaya Jawa Tengah pada cara hidup dan perilaku tokoh-tokoh seperti Larasati, terutama kata-kata yang khas yang dipakai pada daerah tersebut. Adanya pemakaian bahasa daerah memang disengaja oleh pengarang untuk membangkitkan jagad khas budaya daerah dengan segala segi dan suasana budayanya.

3. PSIKOLOGI
Ada beberapa alasan pokok mengapa psikologi masuk ke dalam studi sastra.
1. Untuk mengetahui perilaku dan motivasi para tokoh dalam karya sastra yang langsung maupun tidak langsung mencerminkan perilaku dan motivasi manusia. Psikolog Freud melahirkan teori psikoanalisa dengn cara banyak menggali persoalan jiwa manusia dari karya-karya sastra, antara lain dari novel pengarang Rusia abad ke-19 Fyodor Dostoevsky. Psikolog Carl Gustav Jung yang melahirkan teori psikologi arkitipal dan avatisme juga menggunakan karya sastra sebagai rujukannya, yaitu novel pengarang Amerika abad ke-19 Herman Melville, Moby Dick.
2. Untuk mengetahui proses kreatif pengarang. Pengarang pada dasarnya memang awam dalam hal psikologi, tetapi mereka memiliki intuisi yang tajam mengenai psikologi dan filsafat. Oleh karena itu, karya-karya pengarang dapat memberikan inspirasi kepada para psikolog untuk melahirkan teori-teori mereka dan untuk melakukan diagnose serta terapi kejiwan.
3. Untuk mengetahui berapa jauh pembaca menangkap karya sastra dan bagaimana sikap serta reaksi psikologis pembaca terhadap karya sastra.

Sastra sebagai refleksi dari kehidupan, secara langsung atau tidak langsung dapat berperan sebagai foto bagi fenomena kemanusiaan. Perilaku tokoh-tokoh dalam karya sastra merupakan refleksi dari perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari. Novel Burung-Burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya adalah salah satu contoh novel yang merefleksikan kondisi psikologis manusia , yaitu agresivitas, yang tercermin dalam tokoh utamanya, Setadewa.
Bentuk agresivitas tokoh Setadewa (Teto) dalam novel-novel Burung Manyar dapat ditinjau secara psikoanalisa teori Freud. Sejak masa kanak-kanak, Setadewa telah mengakui bahwa dirinya mirip dengan maminya. Namun, karena lingkungan “anak kolong” di tangsi Magelang yang terkenal dengan keagresifannya, dan papinya yang seorang tentaralah hingga menyebabkan Setadewa menolak identifikasi sepenuhnya dengan maminya. Lalu pengalaman hidup yang ditinggalkan oleh maminya yang dijadikan gundik Jepang serta papinya yang juga ditangkap oleh Jepang, telah memotivasi dan membuat Setadewa tetap dan terus menerus dihantui oleh frustasi dan kecemasan. Akibat adanya hal-hal itu maka Setadewa akhirnya berusaha menggunakan alat kepribadian pemindahan dan alat kepribadian mekanismee pertahanan ego.
Kemudian, menjelang akhir cerita Setadewa menggunakan alat kepribadian sublimasi sebagai usaha untuk menebus kesalahan dan rasa bersalah yang ditekankan oleh kata hatinya. Cerita pun berakhir melalui penerimaan Setadewa pada identifikasi sepenuhnya terhadap maminya, yang sekaligus pula telah meredakan agresivitas diri dan berhentinya penggunaan mekanisme pertahanan ego pembentukan reaksi yang sempat mengkristal dalam perwatakan tokoh.
Terkait dengan alasan kedua dan ketiga bahwa psikologi masuk ke dalam kajian sastra adalah bukti adanya psychopoetry. Psychopoetry diterapkan dalam kelompok-kelompok yang bergerak di bawah ahli jiwa di tengah masyarakat. Tujuannya adalah mengusahakan penyembuhan lewat puisi kepada angota-anggotanya yang terganggu kehidupan jiwanya.
Di tengah kelompok itu puisi atau sajak menjadi sarana untuk penyehatan jiwa, suatu usaha penyembuhan atau terapi. Terapi seperti ini sudah dilakukan di Amerika.
Di dalam kelompok terapi puisi, yang menjadi bahan perbincangan antaranggota adalah sajak-sajak yang diakarang oleh ahli jiwa atau terapis, atau sajak-sajak oleh pengarang-pengarang yang terkenal, atau yang dibuat oleh si penderita penyakit sendiri. Dengan sajak-sajak jenis pertama, si sakit dapat menyadari bahwa orang lain pun, bahkan yang memimpin kelompok pun, memenuhi kesulitan dan harus bergulat untuk mengekspresikan diri. Dalam mendengar dan menghapalkan sajak-sajak penyair terkenal, pasien dapat mengidentifikasikan dirinya dengan keadaan jiwa yang dialami juga olehnya; kesamaan nasib dapat mengembalikan semangat hidup kepadanya. Ia mungkin malahan akan berusaha meniru mengucapkan dirinya seperti penyair besar itu dalam sajak. Karya-karya puisi yang dikarang oleh penderita sakit lebih efektif lagi dalam menghilangkan gangguan jiwanya. Kemampuan dalam mengekspresikan dirinya dan menciptakan sesuatu terbukti membangkitkan kembali kepercayaan pada dirinya dan kesadaran bahwa dirinya punya harga dan kehormatan.
Gangguan jiwa yang menjelma dalam kecenderungan lekas marah, sedih, terhina, kecewa, bingung, ragu-ragu, tegang, tertekan, ingin menyendiri, merasa disalahkan selalu, lambat laun hilang lewat penulisan puisi.
Selain itu, bagi pembaca umum, sastra memiliki kegunaan. Kegunaan membaca karya sastra selain sebagai media informasi/pengetahuan, sastra juga sebagai hiburan. Hal ini berarti sastra dapat memenuhi kebutuhan psikis dan emosi pembaca. Segala bentuk perasaan akan mampu dibangkitkan sastra ketika pembaca membaca sebuah karya sastra. Perasaan senang/gembira, sedih, takjub, marah atau geram dan sebagainya merupakan bentuk pemenuhan kebutuhan psikologis manusia. Lewat sastra pula naluri kemanusiaan seseorang dapat terasah dengan baik. Sastra mengajarkan kepada pembacanya untuk lebih peka terhadap bentuk nilai-nilai kemanusiaan.


DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. 2002. Tegak Lurus Dengan Langit Potret Keterasingan Manusia
Modern.
Harumi, Endah. “Handout Kritik Sastra Baru (New Criticism)”.
Hutomo, Suripan Sadi. 1993. Merambah Matahari Sastra dalam Perbandingan.
Surabaya: Gaya Masa.
Sastrowardoyo, Subagio. 1992. Sekilas Soal Sastra dan Budaya. Jakarta: Balai
Pustaka.
Surana. 2001. Pengantar Sastra Indonesia. Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar