Minggu, 10 Oktober 2010

Agresivitas Perwatakan Lumang: Kajian Psikoanalis Tokoh Utama Novel Sendalu

Disusun Oleh: Risa Rahayu

Tugas Mata Kuliah Ilmu Sastra
Dosen: DR. Endah Harumi, M.Pd.



PROGRAM PASCASARJANA S-2
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURABAYA
2009











KATA PENGANTAR


Alhamdulillaahirabbil ’Alamin. Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah S.W.T yang telah melimpahkan segala rahmat-Nya sehingga penulisan makalah ini dapat terselesaikan.
Ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini, terutama kepada Dosen Pembina Mata Kuliah Ilmu Sastra .
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, segala saran dan kritik motivatif konstruktif demi perbaikan makalah ini kami harapkan. Dengan segala kekurangan yang terdapat dalam makalah ini pun, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan kontribusi yang positif kepada kita semua. Amin.




Surabaya, 23 Januari 2010 Penulis


Risa Rahayu










BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendapat Aristoteles tentang seni “Ars Imitatur Naturam”, yaitu seni adalah miniatur kehidupan. Terkait dengan hal tersebut, sastra bagian dari seni, bolehlah dikatakan bahwa karya sastra merupakan miniatur kehidupan. Pendapat Aristoteles tersebut sejalan dengan paham yang menyatakan bahwa sastra merupakan “imitation of reality” atau “reflection reality”. Sastra merupakan imitasi sebuah realita hidup. Sastra juga dikatakan cermin kenyataan hidup.
Sejalan dengan hal tersebut di atas, Lucian Goldman mengatakan bahwa sastra merupakan sebuah fakta kemanusiaan, fakta kejiwaan, dan fakta kesadaran kolektif sosiokultural yang muncul sebagai produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang selalu ada dalam masyarakat.
Karena berangkat dari fakta kemanusiaan itulah, A.Teew menegaskan bahwa sastra tak pernah berangkat dari kekosongan. Karya sastra tak jatuh dari langit begitu saja, namun lahir sebagai sebuah refleksi dari realitas sosial dan refleksi kesejarahan.
Jadi dengan meneliti karya sastra pada hakikatnya kita meneliti fenomena kehidupan kemanusiaan kita sendiri.
Karena sastra adalah cermin fakta kehidupan, dalam meneliti karya sastra dibutuhkan teori-teosi di luar sastra untuk menginterpretasikan sebuah karya sastra. Teori-teori di luar sastra itu, misalnya psikologi. Salah satu alasan mengapa psikologi masuk ke dalam studi sastra adalah untuk mengetahui perilaku dan motivasi para tokoh dalam karya sastra yang langsung maupun tidak langsung mencerminkan perilaku dan motivasi manusia. Beberapa psikolog, misalnya Freud melahirkan teori psikoanalisa dengan cara banyak menggali persoalan jiwa manusia dari karya-karya sastra, antara lain dari novel pengarang Rusia abad ke-19 Fyodor Dostoevsky. Psikolog Carl Gustav Jung yang melahirkan teori psikologi arkitipal dan avatisme juga menggunakan karya sastra sebagai rujukannya, yaitu novel pengarang Amerika abad ke-19 Herman Melville, Moby Dick.
Makalah ini akan mengkaji aspek agresivitas perwatakan tokoh utama dalam novel Sendalu karya Chavchay Syaifullah dengan menggunakan teori psikoanalisa.
Pemilihan kajian terhadap novel Sendalu ini dilakukan karena novel tersebut merupakan novel fenomenal. Novel ini mengangkat fenomena pemerkosaan dari dekat versi negara kita, dengan bahasa dan alur cerita yang menohok getir serta memburu kejujuran cara mengada seks kita. Novel ini juga menjadi godam hitam bagi dinding tabu yang dibangun orang-orang tak melek kenyataan. Kajian terhadap novel ini dapat pula dimaknai sebagai upaya untuk membuat suatu kajian terhadap novel yang mengangkat fenomenal serupa dengan novel Sendalu.
Aspek yang dikaji dalam novel ini adalah agresivitas tokoh utama karena aspek inilah yang mendominasi perilaku tokoh utama dalam isi cerita, terutama dengan agresivitas seksual yang dilakukannya.

1.2 Batasan Masalah
Kajian tentang agresivitas perwatakan tokoh Lumang dalam novel Sendalu ini dibatasi pada;
1. Penyebab agresivitas Lumang
2. Bentuk-bentuk agresivitas Lumang
3. Mekanisme pertahanan diri Lumang /Defense Mechanism Lumang

1.2 Metode Pembahasan
Metode yang dipakai dalam mengkaji novel Sendalu ini adalah metode studi pustaka dan metode analisis. Teori yang dipakai dalam menganalisis menggunakan teori psikoanalisa, berdasarkan pandangan tokoh psikologi yaitu Sigmund Freud.



















BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Pandangan Psikoanalis Mengenai Agresivitas
Pada umumnya ‘agresi’ diartikan sebagai perilaku menyerang atau merusak benda hidup maupun benda mati. Agresi dapat dibedakan menurut sifat fisiknya, seperti memukul, menendang, atau yang bersifat verbal, seperti mengumpat, memaki, atau mengancam. Agresivitas sendiri dijelaskan oleh Leonard Berkowitz sebagai keinginan atau kecenderungan yang relatif tetap untuk menjadi agresif dalam berbagai situasi yang berbeda. Orang yang memiliki agresivitas tinggi dalam artian ini, tidak lantas berarti ia selalu marah. Karena orang itu mungkin tidak mempunyai perasaan marah yang tampak pada saat mereka bertindak agresif.
Agresivitas telah dipelajari dengan dua pendekatan utama, yakni pendekatan belajar (behaviorisme) dan pendekatan biologis (naluriah). Tulisan ini akan menyandarkan diri pada pandangan tokoh psikoanalis, yakni Sigmund Freud. Dalam hal ini, meskipun Freud tokoh dalam pendekatan biologis, namun dirinya tidak menyangkal adanya pengaruh stimulus eksternal dalam kondisi tertentu. Misalnya, perlakuan traumatis pada tahap perkembangan individu (tahap psikoseksual) dapat berakibat buruk dan berperan pula dalam pembentukan perwatakan seseorang.
Freud dalam psikoanalisisnya berusaha memberikan penjelasan bersistem mengenai agresi sebagai bentuk naluriah tingkah laku. Psikoanalisis dirumuskan oleh Freud sebagai ilmu jiwa yang menekankan dinamika kepribadian pada psoses yang lebih banyak bersifat tak sadar. Freud menganggap bahwa kesadaran hanya merupakan sebagian kecil saja daripada seluruh kehidupan psikis. Freud memisalkan psikis itu sebagai gunung es di tengah lautan. Yang ada di permukaan laut itu menggambarkan kesadaran, sedangkan yang di bawah permukaan air laut itu – yang merupakan bagian terbesar – menggambarkan ketidaksadaran. Di dalam ketidaksadaran itulah terdapat kekuatan-kekuatan dasar yang mendorong pribadi.
Ketaksadaran adalah kawasan terbesar dari kehidupan psikis yang di dalamnya terdapat suatu unsur-unsur atau sistem yang berisikan naluri-naluri. Menurut Freud, sebagian tingkah laku manusia diatur oleh naluri dan disebabkan oleh kebutuhan fisik yang memotivasi orang untuk memuaskannya, sehingga proses fisik itu mencapai keseimbangan. Dalam hal ini, karena naluri dapat berubah, maka objek naluri pun dapat berpindah dari satu objek ke objek lain, dalam usahanya meraih kenikmatan atau menghilangkan ketegangan.
Freud mengklasifikasikan naluri ke dalam dua kelompok, yakni naluri kehidupan (libido atau eros) dan naluri kematian (thanatos). Pengungkapan naluri kematian tidak lain adalah agresi diri. Pada tingkat yang parah, agresi diri bila diarahkan ke dalam menjadi tingkah laku masokhis, yakni berusaha untuk menyakiti diri, atau bahkan membunuh diri sendiri. Sedangkan bila diarahkan keluar, atau ke objek-objek substitusi, akan menjadi tindakan agresi. Tindakan agresi yang diikuti perasaan senang disebut sadistik, sedangkan bila agresi menjadi perilaku yang merusak atau menghancurkan disebut destruktif.
Pada dasarnya tiap individu memiliki keinginan untuk mengekspresikan naluri kematian dalam bentuk impuls agresi. Akan tetapi, masyarakat melarangnya, bahkan akan menghukumnya jika ia tidak patuh. Dalam hal ini, tiap individu berusaha memecahkan konflik diri dan sosial tersebut dengan jalan realistis untuk memuaskan kebutuhannya. Ini berarti, individu harus mengikuti aturan tingkah laku yang telah digariskan oleh masyarakat dalam pendidikan moral. Jika individu tidak dapat mengekspresikan dorongan naluriahnya maka ia akan mengalami frustasi.
Frustasi dijelaskan oleh Freud sebagai sesuatu yang menghalangi bekerjanya “prinsip kesenangan”. Selain karena tidak tersalurkannya dorongan naluri serta dikarenakan kecemasan, frustasi dapat disebabkan pula akibat adanya beberapa hal antara lain: pengurangan (jika benda yang merupakan tujuan tidak ditemukan), penghilangan ( jika benda yang merupakan tujuan disembunyikan atau diambil), pertentangan (jika ada suatu tenaga penentang dalam diri yang mencegah untuk mencapai kepuasan), kekurangan pribadi (jika orang itu kurang memiliki kecakapan yang diperlukan, pengertian, intelegensi atau pengalaman untuk mengadakan penyesuaian yang memuaskan).
Cara seseorang menghadapi dan mengatasi atau menyesuaikan diri terhadap penyebab frustasi, membentuk ciri khas kepribadian atau perwatakan. Cara tersebut disebut alat-alat kepribadian. Ada beberapa alat kepribadian yang disodorkan oleh Freud dan para pengikutnya. Namun, untuk keperluan kajian ini yang diajukan hanya tiga, yakni identifikasi, pemindahan, dan mekanisme pertahanan ego.
Identifikasi adalah metode yang dipergunakan orang dalam mengahadapi orang lain dan membuatnya menjadi bagian kepribadiannya (Suryabrata, 1983: 168). Penyatuan dari sifat-sifat objek luar. Biasanya dimiliki oleh orang lain ke dalam kepribadian seseorang. Identifikasi ada empat macam. Pertama identifikasi narsisisme. Kedua identifikasi ke arah tujuan atau penyatuan individu dengan seseorang yang telah mencapai tujuan individu. Ketiga, identifikasi objek yang hilang atau penyatuan individu dengan objek kesukaan yang telah hilang. Kemudian keempat, identifikasi dengan penyerang, penyatuan, atau penghayatan individu terhadap larangan-larangan yang didesakkan oleh orang lain (otoritas) yang berkuasa atas diri individu.
Pemindahan adalah proses penyaluran energi rohani dari suatu objek ke lain objek tanpa mengubah sumber dan tujuan suatu naluri. Jadi, yang berubah hanyalah objek yang menjadi tujuan. Misalnya, pemindahan yang terjadi dalam pemuasan mulut yang diawali dengan menggigit, kemudian setelah dewasa menjadi pengejek atau orang yang ketus. Sublimasi sendiri dijelaskan sebagai bentuk pemindahan, namun objek penggantinya merupakan tujuan kultural yang lebih tinggi. Seorang yang memilih untuk menjadi penegak hukum, pengacara, politikus adalah contoh dari sublimasi ini.
Mekanisme pertahanan ego adalah cara irasional untuk menghadapi kecemasan dengan tindakan menyangkal kecemasan (represi). Sungguh aku tidak pernah tahu, apakah aku harus merangkul mengeluarkan kecemasan diri dengan menimpakannya ke objek luar diri (proyeksi), menyembunyikan kecemasan dengan menggunakan emosi yang berlawanan (pembentukan reaksi), serta menjadi tertahan pada suatu tahap perkembangan psikologis (fiksasi) atau penyurutan diri ke tahap perkembangan psikologis sebelumnya (regresi).
Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa meskipun agresi diakui oleh para psikoanalis sebagai suatu bawaan, namun dalam perkembangannya (tahap psikoseksual) individu tidak terlepas dari faktor eksternal yang mengelilinginya. Seseorang yang terjebak dalam keagresifan (misalnya karena pengalaman traumatis), bila ia gagal dalam mengungkapkan, memindahkan atau menyublimasikan keagresifannya maka ia dapat mengalami neurosis, psikosomatis bahkan skizofrenia. Gangguan kejiwaan sendiri diterangkan sebagai bentuk dari frustasi yang parah ketika seseorang tidak mampu menghadapinya. Dalam hal ini, agresivitas perwatakan individu dapat dipahami melalui alat-alat kepribadian yang bekerja untuk mengatasi frustasi dan juga membentuk khas perwatakan.

















BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Penyebab Agresivitas Tokoh Utama Lumang
A. Rentannya Kepribadian Tokoh Lumang
Kepribadian Lumang yang rentan/rapuh terbentuk karena ketika masih kecil ia melihat realitas eksternal persetubuhan orang tuanya. Realitas eksternal dalam bentuk persetubuhan kedua orang tuanya ini sering dilihat oleh Lumang.
Pernah suatu hari aku pulang dari sekolah, aku langsung menuju kamar. Begitu kubuka pintu kamarku tiba-tiba aku melihat Bapak dan Ibu sedang dalam keadaan bugil dan bergumul seperti sepasang kucing yang pernah kulihat. Tapi Bapak dan Ibu tidak marah kepadaku yang telah memergoki mereka tanpa busana itu. Mereka seperti layaknya pasangan yang angat senang bila permainannya disaksikan oleh anaknya sendiri. Sambil tersenyum simpul melihat aku yang terbengong-brngong di bibir pintu, mereka pun terus saja melanjutkan permainannya itu sampai tuntas setuntas-tuntasnya (halaman 18).

Realitas eksternal yang sering ia lihat itu menimbulkan perasaan yang yang tidak menyenangkan dalam diri Lumang. Ia menolak realitas eksternal tersebut.
Perasaan-perasaa menolak realitas eksternal itu dalam bentuk:
1. sikap serba salah;
2. penderitaan batin;
3. keinginan untuk protes/berontak tetapi tidak tersampaikan;
4. gelisah;
5. kecewa dan kesal dalam diri sendiri.

Entah apa yang diinginkan dengan perlakuan orangtuaku seperti itu. Aku selalu dibuat serba salah dengan peristiwa adu daging kedua orang tuaku. Aku benar-benar menjadi orang yang serba salah! ( halaman 18).

... . Uh, betapa menderitanya aku dibuat oleh persetubuhan Bapak dan ibu. (halaman 18)

Kadangkala ada juga keinginanku untuk protes, agar kedua orang tuaku tidak usah mendesah kuat-kuat di saat bersetubuh. (halaman 19)

... . Aku yang semula di kamar cemas dengan cekcok mulut itu, dibuat gelisah dengan desahan dan rintihan Bapak dan Ibu yang bercumbu mesra. (halaman 21)

... . Aku melihat ibu sedang berada dalam posisi di atas sambil menggoyang-goyangkan pinggulnya. Aku jadi kecewa. Aku jadi kesal pada diri sendiri. (halaman 23)

Realitas eksternal yang dilihat dan didengar Lumang betul-betul ia akui sebagai penyiksan batin.
... . Mungkin karena mereka ingin mencoba medan pergumulan yang baru. Lubang telingaku bagai diserang mesin kereta. Batinku bagai dilindas palu baja. Khayalku melayang ke negeri yang sangat jauh. Aku menderita kembali. (halaman 34)

Lebih parah lagi, Lumang tidak memiliki tempat untuk berbagi rasa terhadap perasaan-perasaan yang menyiksa batinnya tersebut.
Inilah bagian cerita kamarku. Memiliki kamar sempit, setelah diri ini mengetahui tak mungkin memiliki seorang adik untuk berbagi rasa, memang mengharukan hati. (halaman 19)

B. Upaya memenuhi hasrat karena dorongan faktor eksitasi
Eksitasi adalah sesuatu yang membuat keadaan kepribadian yang semula equilibrium (seimbang) menjadi disequilibrium (tidak seimbang). Eksitasi akan memunculkan hasrat (Arif 2006:9).
Munculnya hasrat perkosaan pertama dalam diri Lumang adalah adanya faktor eksitasi dari luar. Ingatannya kepada Lastri dan pengalaman yang tidak ia sengaja melihat persetubuhan Lastri dan Burhan di lubang dinding kamarnya membangkitkan hasrat untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya. Pada puncak hasrat itu, ia mengintip Lastri yang telanjang lewat lubang dinding kamarnya.
Aku langsung teringat Lastri. Kuhampiri lubang tempat aku biasa mengintip Lastri. Mataku kudempetkan pada papan yang membatasi rumah kami.
Oh, alangkah terkejutnya diriku. Ternyata Lastri tidak sedang mengenakan sepotong pakaian pun. Ia baru saja selesai mandi. Ia seperti sedang mencari baju yang akan ia kenakan.
Aku terus mengamaati tubuh indah Lastri. Tubuhku bergetar. Jantungku berdebar. Tiba-tiba aku berpikir untuk tidak lagi kalah dalam pertarungan ini. Tak kuasa aku menahan bentuk kekalahan ini. Aku tak ingin lagi menjadi manusia kalah. Kinilah saatnya Lumang menang.
Dalam seketikaa, aku langsung bergerak. Keberingasan telah menutup wajah hatiku. Aku bergegas menuju rumah sebelah. Kubuka pintu rumah Lastri yang rapat namun tidak terkunci. Kututup kembali pintu itu dan cepat kukunci. Aku langsung menuju Lastri.(halaman 74-75)

Berdasarkan cuplikan-cuplikan di atas juga dapat disimpulkan bahwa pemenuhan hasrat tersebut melalui mekanisme secondary process. Secondary process adalah upaya individu untuk memenuhi hasratnya setelah ia mengenal realitas eksternal. Prinsip yang menggerakkannya adalah reality principle. Caranya adalah sebagai berikut: bilamana ia menginginkan sesuatu, ia akan melakukan penilaian tentang ketersediaan dan keterjangkauan objek tersebut dalam realitas eksternal. Bilamana objek tersebut memang tersedia dan dapat dijangkaunya, maka ia akan melanjutkan upayanya dengan melakukan tindakan nyata untuk memperoleh objek tersebut (Arif 2006:11).

C. Trauma
Trauma terjadi manakala individu menerima eksitasi yang jauh melampaui kapasitasnya untuk mengatasinya, sehingga sebagai akibatnya, individu “terlempar” jauh, menjauhi kondisi equilibrium (seimbang). Individu mengalami disequilibrium (tidak seimbang) yang sangat besar, dan ia menghayati anxiety yang sangat tinggi. Trauma akan semakin besar dampaknya bilamana eksitasi yang besar tersebut dialami oleh pribadi yang masih rentan (misalnya: anak-anak atau pribadi yang belum matang) dan terjadinya secara mendadak (Arif 2006:27).
Trauma yang dialami Lumang karena ia menerima eksitasi yang tidak enak dan tidak menyenangkan baginya ketika ia masih rentan (masih anak-anak dan pribadinya belum matang). Eksitasi yang membuat trauma itu seperti tampak dalam cuplikan berikut.
Entah apa yang diinginkan dengan perlakuan orang tuaku seperti itu. Aku selalu dibuat serba salah dengan peristiwa adu daging kedua orang tuaku. (halaman 18)
Belum lagi dengan rumah yang semi permanen yang semakin membuatku tak bisa lari dari baying-bayang persetubuhan Bapak dan Ibu. (halaman 18)

Kadangkala ada juga keinginanku untuk protes, agar kedua orang tuaku tidak usah mendesah kuat-kuat di saat bnersetubuh. (halaman 19)

… . Aku yang semula di kamar cemas dengan cekcok mulut itu, dibuat gelisah dengan desahan dan rintihan Bapak dan Ibu yang bercumbu mesra. (halaman 21)

… . Aku melihat ibu sedang berada dalam posisi di atas sambil menggoyang-goyangkan pinggulnya. Aku jadi kecewa. Aku jadi kesal pada diri sendiri. (halaman 23)

Dari cuplikan di atas tampak bahwa Lumang tidak sanggup menerima eksitasi eksternal, yaitu melihat persetubuhan kedua orang tuanya. Eksitasi yang tidak menyenangkan itu terlalu sering dilihat Lumang sehingga melampaui kapasitasnya untuk mengatasinya. Lumang betul-betul berada dalam kondisi disequilibrium yang terjadi dalam sistem kepribadiannya. Dampak dari keguncangan itu adalah kepribadian Lumang mengalami kerusakan yang tidak kecil. Dampaknya terlihat kemudian hari ketika Lumang berkenalan dengan Lastri dan timbul rasa cintanya kepada Lastri.

D. Kepribadian Yang Terganggu
Akibat trauma di masa kecil Lumang, kepribadiannya mengalami gangguan. Dalam teori psikoanalisis (Arif 2006:23) kepribadian yang terganggu mengalami kesulitan untuk dapat mencapai keinginan secara memuaskan. Dalam mencapai keinginan ia perlu “membayar jauh lebih mahal” berupa konflik yang menimbulkan kecemasan-kecemasan.
Kesulitan untuk mencapai keinginan secara memuaskan tampak pada diri Lumang. Walaupun ia sudah memperkosa Lastri dan ibunya, ia tetap belum merasa tuntas kepuasannya. Oleh karena itu, timbul keinginan barunya untuk menikmati Lastri dan ibunya sekaligus.
… . Yang terbetik malah keinginanku untuk membandingkan kenikmatan yang kudapati dari ibu dan dari Lastri. Alangkah indahnya bila dapat kubandingkan secara detail. Pikiranku mengatur siasat agar dapat menuntaskan keinginan baruku ini. (halaman 81)

Setelah menikmati Lastri dan ibunya sekaligus, timbul keinginan barunya yaitu membalas dendan kepada Burhan dan bapaknya.
Lalu muncul keinginan baruku, yaitu keinginan membalas dendamku pada Burhan dan Bapak. (halaman 82)

Hasrat untuk mengulangi perkosaan terus berkecamuk dalam diri Lumang seolah-olah ia tak pernah puas dengan apa yang telah dilakukannya.

Tapi perkosaan itu telah menjadi sendalu di hatiku. Kini keinginan untuk mengulangi perkosaan it uterus berkecamuk hebat di dadaku. Aku kian sesak. Aku tak bisa lari dari keinginanku itu, sebab mencona lari sama halnya membinih diri sendiri. (halaman 87-88)

Sementara itu aku pun belum bisa meninggalkan pemerkosaan sebagai baagian dari kenikmatan yang harus kutuntaskandemi hidupku. Aku tang sanggup membayangkan hari-hari tanpa pemerkosaan. (halaman 107-108)

E. Dendam kepada Bapaknya Akibat Cemburu
Seorang anak laki-laki sejak kecil sudah mulai membangun rasa sayang terhadap ibunya yang dilihatnya sebagai salah satu miliknya dan menganggap ayahnya sebagai pesaing yang berusaha merebut atau berbagi kepemilikan. Hubungan seperti ini disebut Oedipus Complex, berdasarkan kisah mitos Oedipus yang mempunyai dua keinginan yang sangat ekstrem, yaitu membunuh ayahnya dan menikahi ibunya (Freud 200:227-228).
Ada benih kebencian yang tumbuh menjadi dendam pada diri Lumang kepada Bapaknya.
Benih kebencian yang tumbuh menjadi dendam tersebut dikarenakan dia mencintai ibunya dan tidak rela jika ibunya disakiti oleh Bapaknya.
Aku pikir saat itu Ibu dibuat kesakitan oleh Bapak. Ingin rasanya kudobrak dinding yang membatasi antara kamarku dan kamar kedua orang tuaku, dan sekaliaan kuhajar Bapak yang tak tahu diri itu. Namun setelah kuintip dari lubang kamarku, ternyata rintihan itu adalah rintihan yang lahir dari mulut ibu yang sedang semangat merambah titik-titik kenikmatannya. Aku melihat ibu sedang berada dalam posisi di atas sambil menggoyang-goyangkan pinggulnya. Aku jadi kecewa. Aku jadi kesal pada diri sendiri. (halaman 23)

Lumang ternyata juga mengidap Oedipus Complex. Akibat seringnya melihat persetubuhan orang tuanya, ia jatuh cinta kepada ibunya dan menganggap Bapaknya sebagai pesaingnya. Freud (2009:229) mengatakan bahwa terkait dengan hasrat seksual, seorang anak sudah menampakkan kehidupan seksual yang kaya, meski berbeda dengan saat mencapai kehidupan dewasa yang dianggap sebagai kondisi normal bila mempunyai kehidupan seksual.
Hasrat seksual semasa kanak-kanak sudah tumbuh dalam diri Lumang akibat faktor eksitasi melihat persetubuhan orang tuanya. Hasrat seksual itu juga melahirkan inses yaitu keinginan berhubungan seksual dengan orang tua. Menurut Freud (2009:231) inses adalah cinta pertama dan bisa terjadi pada semua orang dan pada perkembangan selanjutnya barulah muncul usaha menentang keterwujudan cinta seperti itu.

F. Penyimpangan Seksual
Penyebab agresivitas Lumang, salah satunya karena ia mengidap penyimpangan seksual. Freud (2009:229) mengkondisikan kehidupan seksualitas sebagai penyimpangan dari normal apabila: (1) mengabaikan batas antarspesies (perbedaan antara manusia dan binatang); (2) ketidakpedulian terhadap batas-batas itu berusaha untuk menyamarkan; (3) pelanggaran batas-batas inses (larangan memenuhi kepuasan seksual dengan orang yang mempunyai hubungan darah dekat); (4) homoseksualitas; (5) mengalihkan fungsi yang seharusnya dimainkan oleh organ kelamin kepada organ lain dan bagian tubuh lain.
Kelima kondisi penyimpangan seksualitas yang dikemukakan oleh Feud di atas terdapat dalam diri Lumang. Penyimpangan pertama dan kedua, ia menganggap korban perkosaannya tidak lagi sebagai manusia tetapi binatang. Hal itu berarti ia telah mengabaikan batas-abatas antarspesies (perbedaan binatang dan manusia) serta menyamarkannya.

Lastri pun menangis. Itulah yang kutunggu-tunggu, Oh, binatangku sudah pasrah! (halaman 75)

“Selamat tinggal, wahai binatang-binatang burukku!” (halaman 85)

Tak perlu banyak waktuku menemukan calon binatangku. (halaman 91)

Uh, lucu sekali. Kini perempuan dan laki-laki sama saja di mataku, semuanya hanyalah binatang santapanku.
Binatang! (halaman 109)

Lumang tidak hanya menganggap korbannya binatang tetapi ketika memperkosa ia juga menganggap dirinya binatang.

Oh, aku menjelma sebagai kucing lapar! (halaman 78)

Uh, aku melebihi kebuasan srigala! (halaman 81)

Penyimpangan yang berikutnya adalah inses, yaitu jatuh cinta kepada ibunya bahkan kemudian ia memperkosa ibunya.
Tubuh ibu habis kulumat. Kujilati seluruh kebeningan itu, sambil kulepaskan seluruh pakaianku. Sesudah itu, kulakukan pemerkosaan itu. (halaman 78)

Lumang mengidap kelainan homoseksual.

Dengan memperkosa laki-laki, aku juga merasa bahwa aku menjadi lebih laki-laki lagi. Aku merasa lebih jantan. (halaman 108)

Penyimpangan seksual yang dilakukan oleh Lumang adalah mengalihkan fungsi yang seharusnya dimainkan oleh organ kelamin kepada organ lain dan bagian tubuh lain.
… . Sebab dari korban pertamaku, walaupun aku harus bersusah payah menaklukkan dirinya, tapi kenikmatan yang kudapat sangat jauh berbeda dari kaum perempuan. Saat aku mengambil kesimpulan bahwa lubang belakang jauh lebih nikmat dari lubang depan. Lubang itu lebih terasa mengilukan parang dagingku. (halaman 108)

3.2 Bentuk-Bentuk Agresivitas Lumang
Lumang memiliki agresivitas yang tinggi bahkan sangat tinggi. Agresivitas Lumang terkait dengan seksualitasnya. Agresi diri Lumang meliputi dua tingkat, yaitu (1) agresi yang diarahkan keluar dan (2) agresi yang diarahkan ke dalam (masokhis)

A. Agresi Yang Diarahkan Keluar
Agresi yang diarahkan ke luar atau ke objek-objek substitusi diwujudkan dalam bentuk perkosaan terhadap Lastri, ibunya, perempuan di toilet, perempuan dalam semak-semak, Bu Tuti, perempuan di kawasan Jembatan merah, ibu-ibu dan nenek-nenek, perawan-perawan, para cacat mental, sesama lelaki, dan terakhir kepada Bono teman sesama anak jalanan.
Tindakan agresi Lumang tersebut di atas dilakukan secara sadistik karena diikuti perasaan senang.
Mata Lastri kubiarkan melotot sekuatnya. Aku tak takut dengan itu. Malah mata jenis itu kian menambah rangsangan yang sudah menari liar. (halaman 75)
Saat itu bagiku surga tidak lagi berada di bawah telapak kaki ibu. Kini surga ada di liang ibu. (halaman 79)
… . Aku hanya mengerti sejauh dua mangsaku merintih, sejauh itu kucapai kenikmatanku. (halaman 82)
Aku tertawa dalam hati. Puas rasanya aku menuntaskan segala dendam yang kusimpan selama ini. (halaman 84)
Puas sekali aku dengan pertunjukan ini, sebab aku benar-benar tampil sebagai penguasa gila yang adil. Puas juga aku dalam pemerkosaan ini sebab aku bisa bermain dalam waktu pas 1 jam. (halaman 85)
Aku menjerit bahagia. Sendalu pemerkosaan telah berhasil kuhembuskan di atas bumi. (halaman 85)

Sifat agresi Lumang tidak hanya sadistik tetapi juga destruktif, yaitu membunuh. Setelah memperkosa beberapa korbannya ia bunuh.
Tapi percuma! Bono telah mati di tanganku! (halaman 112)

B. Agresi Yang Diarahkan ke dalam (Mashokis)
Tingkah laku agresi Lumang tidak hanya diarahkan kepada orang lain tetapi juga pada dirinya sendiri. Tingkah laku seperti ini di dalam teori psikoanalisis disebut masokhis. Di akhir cerita, ia mengakhiri hidupnya dengan memotong alat kelaminnya.

1 Januari 2002, pukul 12 siang, aku memotong alat kelaminku dengan sebilah pisau, tepat di bawah Tugu Pancoran. (halaman 117)

C. Agresivitas Fisik
Bentuk-bentuk agresivitas fisik yang dilakukan Lumang adalah membekap, membanting, manampar, melempar tubuh, memukul, mengikat, menyeret, menginjak dan menendang kepala.

Lastri kubekap erat. Kubanting tubuh Lastri ke atas kasur. Kuancam dia. Kutampar wajahnya berkali-kali … (halaman 75)

Mulut ibu cepat kubekap dengan tanganku. (halaman 78)

… . Kutampar wajahnya agar ia tak menunjukkan sikap malasnya itu di hadapanku. Kumasukkan ia ke dalam rumahku. Kutarik tangannya. Kulepaskan spre penutup tubuhnya. Kulempar tubuh Lastri ke atas kasur. (halaman 81)

Kupukul bagian tengkuk leher Bapak yang membuatnya pingsan seketika. Langsung kuikat kedua tangan dan kakinya dengan tali yang sudah kusiapkan. … . Kuikat kedua tangan dan kakinya, kututup mulutnya, lalu kuseret tubuhnya ke hadapan ibu dan Lastri. (halaman 83)

… . Kuinjak-injak kepala mereka. Kutendang-tendang kepala mereka. (halaman 84)


D. Agresivitas Verbal
Agresivitas verbal yang dilakukan Lumang yaitu mengancam. Sebelum memperkosa korbannya terlebih dahulu ia mengancam.
Kemudian kubisiki seribu ancaman agar Ibu tidak berteriak dan menuruti saja apa yang kumau. (halaman 78)


3.3. Mekanisme Pertahanan Diri (Defense Mechanism) Lumang
Mekanisme pertahanan diri dibahas dibahas karena alat inilah yang dipakai oleh Lumang untuk meredam agresivitasnya hingga ia mengakhiri agresivitas tersebut.
Defense Mechanism adalah mekanisme psikis untuk pertahanan diri. Defense Mechanism menjadi aktif setelah manusia dilahirkan, yaitu menyusul aktivitas insting mati. Fungsi utama defense mechanism adalah untuk mempertahankan diri dalam menghadapi realitas eksternal yang penuh tantangan (Arif, 2006: 19).

A. Undoing
Undoing adalah upaya simbolik untuk membatalkan suatu impuls yang telah terwujud menjadi tingkah laku, biasanya dengan cara melakukan ritual-ritual tertentu. Undoing ini termasuk defense mechanism yang tergolong tidak matang (immature) (Arif, 2006:35).
Lumang menggunakan undoing berupa ritual mandi dan onani ketika ia tidak lagi mampu menahan hasrat cintanya kepada Lastri. Ritual ini terjadi berulang kali dan bahkan menjadi tindakan yang kompulsif.
Begitulah aku merasakan acara mandi sebagai acara eksekusi. Tak bisa aku menolak untuk tidak mandi. (halaman 66)

Onani boleh-boleh saja. Siapa pula yang melarang? Melarang onani hanya akan melahirkan onani itu sendiri. (halaman 68)

B. Manic Defense
Setiap orang memiliki dua posisi mental. Yang pertama adalah paranoid-schizoid position, yaitu saat seseorang merasa terpisah dari orang lain, tidak dapat menghargai sepenuhnya keberadaan orang lain, memandang orang lain sebagai objek—bukan subjek, memandang orang lain sebagai ancaman bagi diri atau sebagai sarana pemuas kebutuhan semata. Yang kedua adalah depressive position, yaitu ketika seseorang menyadari sepenuhnya keberadaan orang lain, kebutuhan dan ketergantungan dirinya pada orang lain, memandang orang lain sebagai subjek yang juga memiliki perasaan dan pengalaman-pengalaman manusiawi yang serupa (Arif, 2006:42). Manic defense ini tergolong mekanisme pertahanan diri yang primitive.
Pada saat ia berada dalam posisi mental yang pertama seringkali ia menyakiti atau merugikan orang lain. Pada saat ia berada dalam posisi mental yang kedua ia menyadari betapa ia telah merugikan atau menyakiti orang lain.
Kedua posisi mental ini dimiliki oleh Lumang. Pada posisi yang pertama ia menganggap korban-korban perkosaannya adalah objek pemuas nafsunya. Ia juga memandang Burhan dan bapaknya adalah ancaman atau musuhnya. Pada posisi mental yang kedua ia menyadari semua tindakannya bahwa ia telah menyakiti atau merugikan orang lain.
Aku berperang melawan diri sendiri. Aku ingin kembali melihat manusia sebagai manusia. Manusia adalah sahabat kehidupanku, bukan mangsaku. (halaman 117)

“Bapak … Ibu … maafkan segala kesalahanku. Aku bukan lagi sekadar anak terapit bangkai, tapi aku adalah anak yang paling durhaka bagi umat manusia dan Tuhan. Maafkan segala dosa-dosaku. Sampaikan juga maafku pada orang-orang yang telah menjadi korban kebiadabanku. (halaman 119)

Kesadaran pada posisi depressive position akan mengarah pada perasaan depresi. Puncak parasaan depresi Lumang yaitu ketika ia memutuskan untuk berpisah dengan alat kelaminnya sebagai wujud penyesalannya dan perpisahannya dengan masa lalunya. Ia menyadari bahwa alat kelaminnya itulah yang menyebabkan ia melakukan agresivitas-agresivitasnya.
… . Biarlah kupotong alat kelaminku sebagai bukti bahwa aku ingin memotong masa laluku yang penuh kegelapan. Aku ingin pikiran sehatku kembali. (halaman 117)


Perpisahan Lumang dengan alat kelaminnya inilah yang betul-betul mengakhiri segala agresivitas Lumang. Ia sudah tidak dapat lagi melakukan agresivitas-agresivitasnya karena Lumang akhirnya menghembuskan nafasny yang terakhir.
“Tapi aku harus pulang. Sudah ada yang menjemputku!” kataku dengan tenang. Sangat tenang.

Lalu … nafas terakhirku terbang melayang.

Sungguh tragis nasib Lumang. Setragis korban-korbannya.
BAB IV
SIMPULAN

Demikianlah ulasan mengenai agresivitas perwatakan tokoh Lumang dalam novel Sendalu dengan teori psikoanalisis. Ulasan tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Faktor-faktor penyebab agresivitas Lumang adalah
a. Rentannya kepribadian Lumang
b. Upaya memenuhi hasrat karena faktor eksitasi
c. Trauma
d. Kepribadian yang terganggu
e. Dendam kepada bapaknya akibat cemburu
f. Penyimpangan seksual.

2. Bentuk-bentuk agresivitas Lumang
Lumang memiliki agresivitas yang sangat tinggi. Segala bentuk agresivitas ia lakukan dari agresivitas yang diarahkan ke luar yaitu memperkosa dan menyakiti orang lain sampai yang diarahkan ke dalam /masokhis yaitu berusaaha menyakiti diri sendiri. Agresivitasnya berupa fisik maupun verbal dari tingkat yang sadistik saampai ke tingkat destruktif.

3. Bentuk-bentuk mekanisme pertahanan diri yang dilakukan oleh Lumang untuk menekan agresivitasnya tergolong tidak matang dan primitive, yaitu undoing dan manic defense.













DAFTAR PUSTAKA

Arif, Iman Setiadi. 2006. Dinamika Kepribadian Gangguan dan Terapinya. Bandung: Refika Aditama.
Bailery, Ronald H. 1988. Kekerasan dan Agresi. Jakarta: Tira Pustaka.
Berkowitz, Leonard. 1955. Agresi. Jakarta: Binama Perssindo.
Bertens, K. 1993. Etika. Jakarta: Gramedia.
Freud, Sigmund. 1980. Memperkenalkan Psikoanalisis (terjemahan K. Bertens). Jakarta:PT Gramedia.
--------------------. 1983. Sekelumit Sejarah Psikoanalisis (terjemahan K. Bertens). Jakarta: PT Gramedia.
--------------------. 2002. Psikoanalisis Sigmund Freud (terjemahan Ira Puspitorini). Yogyakarta: Ikon Teralitera.
--------------------. 2009. Pengantar Umum Psikoanalisis (terjemahan Haris Setiowati). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fromm, Erick. 2000. Akar kekerasan (terjemahan Imam Muttaqin). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Goleman, Danil dan Speth, kethleen. 1993. Essensial Psikoterapi. Semarang: Dahara Prize.
Hall, Calvin S. 1995. Freud: Seks, Obsesi, Trauma, dan Katarsis (terjemahan Dudi Misky). Jakarta: Delapratasa.
-----------------. 1959. Pengantar ke dalam Ilmu Jiwa Sigmund Freud (terjemahan S. Tasrif). Jakarta: Pembangunan.
Hall, Calvin S dan Lindzey Gardner. 1993. Teori-Teori Psikodinamik. Yogyakarta: Kanisius.
Koswara,E. 1986. Teori-Teori Kepribadian. Bandung:Eresco.
Milner, max. 1992. Freud dan Interpretasi Sastra (diterjemahkan oleh Apsanti Ds.). Jakarta: Intermasa.
Rahardjo, Paulus Budi (ed). 1997. Mengenal Teori-Teori Kepribadian Mutakhir. Yogyakarta: Kanisius.
Sarlito, W.S. 1978. Berkenalan dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi. Jakarta: Bulan Bintang.
Syaifullah, Chavchay. 2006. Sendalu. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar